Cari Blog Ini

Jumat, 31 Oktober 2014


Mudhorot Belajar Islam dari Barat (Bagian 1)

ArtikelSelasa, 21 Oktober 2014 - 02:10 WIB
Oleh: Muhammad Saad*

Dalam Islam ilmu adalah agama, maka mencari ilmu harap diperhatikan dari siapa seorang mendapatkannya. Hal ini diwanti-wanti oleh Rasulullah Saw dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan ibn sirrin dan al-daylami, “al-ilmu dinun fandhzuru ‘an man ta’khudzuuna dinakum”. Oleh karenanya wajib bagi seorang pelajar muslim berhati-hati dalam mengambil ilmu, lebih-lebih diakhir zaman ini.

Syaikh Hasyim asy’ari dalam kitab Risalah ahlusunnah mengingatkan agar berhati-hati dalam mencari ilmu. Tentunya yang dimaksud ilmu dalam hal ini adalah ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah syar’iyah, yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam, semisal ilmu aqidah, akhlaq dan fiqh. Sebab akhir zaman banyak manusia-manusia pendusta yang mengajarkan ilmu tidak sesuai dengan kebenarannya. Orang demikian ini diqiyaskan oleh Rasul Saw sebagai dajjal-dajjal, karena dahsyatnya kedustaan mereka dalam menginformasikan berita. (Syaikh Hayim Asyari, Risalah Ahlussunah wal jamaah, hal. 18)

Namun patut disayangkan pada saat ini banyak pelajar Muslim yang belajar ilmu agama ke Barat. Alih-alih system dan metodologi pengkajian ilmu di Barat sangat baik, berbondong-bondong pelajar Islam belajar ke Barat. Menurut Dr. Hamid Fahmi zarkasyi, jika belajar ilmu agama di Barat tidak faham dengan metodolgi ilmu Barat, maka ia tidak bisa bersikap kritis, hasilnya bukan mendapatkan ilmu Islam, justru merusak ajaran Islam. (Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, hal. 119).

“Mungkin ada yang berpendapat, “mengapa tidak ?”, bukankah Rasul Saw menyuruh kaum muslimin mengambil hikmah dari manapun sumbernya?. Namun persoalannya menurut Dr. Syamsuddin Arif, harus bisa membedakan antara emas dan besi berkarat, antara shampo dan oli, atau antara yang bermanfaat dan merusak. Jangan karena tertarik dengan iklan oli, lalu kemudian digunakan cuci rambut”. (Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, hal. 174 ).

Meski Barat terbukti unggul dalam system dan metodologi keilmuannya, namun belum tentu cocok untuk mengkaji ilmu dan belajar Islam. Sebab framework atau manhaj Barat beda dengan Islam. Barat dalam mengakji Islam bukan untuk ibadah atau diimani. Islam dikaji sebagai ilmu, dan ilmu dalam pandangan Barat harus rasional dan empiris. Sebagai contoh, dalam bidang syariah, Barat tidak bisa mengaitkan dengan aqidah, sebab aqidah bagi Barat tidak ada epistemologinya karena bahasannya adalah metafisik tidak empiris. Padahal dalam Islam ilmu syariah tidak bisa dilepaskan dengan aqidah. (Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, hal. 119)

Inilah yang kemudian merambah kedunia pendidikan Islam di Indonesia. Setelah pengiriman dosen-dosen IAIN ke pusat studi belajar Islam di Barat yang dipimpin oleh Porf. Dr. Harun Nasution, dunia pendidikan Islam tertinggi mengalami liberalisasi pendidikan. Perguruan Islam mengajarkan paham Islam Rasional, liberal, atau progresif.

Penistaan Tuhan dengan pernyataan “Selamat datang di area bebas tuhan” kemudian diteruskan dengan teriakkan “anjing hu akbar” oleh mahasiswa jurusan aqidahdi IAIN Sunan Gunung Jati pada tahun 2004, atau spanduk “Tuhan Membusuk” oleh anak-anak fakultas ushuluddin di UIN Sunan Ampel Surabaya baru-baru ini, adalah dua dari sekian banyak kasus dari hasil liberalisasi pendidikan dalam belajar Islam.

Padahal, idealnya sebuah lembaga pendidikan tertinggi Islam harus menghasilkan ilmuan yang dapat mengitegrasikan ilmu agama dan ilmu sains. Menurut Dr. Adian Husaini, dari namanya saja pendidikan tertinggi dinamakan universitas dan kegiatan belajar mengajarnya dinamakan kulliyah yang diambil dari bahasa arab kulli yang berarti integral. (Adian Husaini, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam Isla, hal. 29).

Disebut universitas sebab ilmu yang diajarkan universal, tidak memahami ilmu dengan spesialisasi sempit. Sebab memahami ilmu special bidang tertentu dan membutakan bidang lain akan melahirkan manusia biadab baru, sebab cenderung melatih manusia seperti hewan. Sedangkan disebut kulli karena mempelajari ilmu dengan integral, tidak mendekotomi antara satu ilmu dengan ilmu lain, lebih-lebih antara ilmu fardhu ‘ain dengan ilmu fardhu kifayah ghoyru syar’iah (sains).

Jika dalam universitas Islam dapat mewujudkan tujuan pokok di atas, maka akan menghasilkan sarjana muslim yang beradab. Yaitu menjadi manusia yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah. Menjadi sarjana yang mengenal Tuhannya, mengenal dan mencintai Nabinya, dengan menjadikan beliau sebagai uswah hasanah. Menghormati ulama’ sebagai pewaris Nabi dan guru sebagai sarana meraih ilmu juga memahami ilmu antara ilmu fardhu ain dan kifayah, membedakan ilmu mahmudah dan madzmumah (tercela). Wallahu a'lam bi shawwab

Jumat, 13 April 2012

Imperialisme Budaya dalam Korean Style


 Oleh: Muhammad Saad*

Di era globalisasi, idolisasi dan mitosisasi terus dibangun untuk berbagai tujuan dan kepentingan. Arus besar Idolisasi dan mitosisasi Barat yang mengandung unsur-unsur “narkotikisme”, telah melibas nurani dan akal sehat, membuai banyak manusia dengan hiburan. (Dr. Adian Husaini)

Hadirnya artis Korea dalam blantika hiburan benar-benar telah membius dan menghipnotis sebagaian besar masyarakat Indonesia, terutama para remajanya. Mulai dari sinetron, lagu, bahkan pakaian dengan aksisorisnya menjadi kiblat bagi remaja yang mengidolakan. Inilah bentuk penjajahan model baru.

Hampir semua remaja kini menggandrungi dan cenderung mengikuti trend artis Korea. Mulai potongan rambut disasak tanpa aturan, mode busana ala  K-Pop Boy and Girl Band, sampai bahasa-pun, kian digandrungi. Bahkan yang ironis, karena saking inginnya untuk perfect dalam berbahasa Korea, seorang gadis fans berat Korean Style dari Inggris benama Rhiannon Brooksbank-Jones mengoprasi lidahnya.

Memang, ternyata ‘virus’ demam artis korea dengan K-pop-nya tidak hanya menyebar di Indonesia tapi telah menjalar ke Negara Eropa. Sebagimana yang telah dilansir VIVAnews, bahwasannya kesuksesan artis Korea terlebih dalam dunia tarik suara, tidak saja membooming di Asia, namun sudah menembus di Eropa. Hal ini terbukti dengan suksesnya konser lima band asal Korea Selatan di Le Zenith de Paris Concert Hall, Paris, Prancis yang digelar 10 Juni lalu.

Hegemoni Barat

Barat, bukan menunjukkan geografis, tapi peradaban. Korea, meski secara geografis berada di Timur, tapi budaya dan gaya hidup orang-orangnya meniru Barat. Maka, budaya mereka dapat disebut budaya Barat. Bicara tentang keberhasilan dunia intertainment Korea, tentunya yang dimaksud adalah Korea Selatan yang negaranya sangat pro Amerika. Tentulah tidak mengherankan jika yang mencuat, dan sedang naik daun dalam dunia intertainment adalah Korea Selatan, bukan Korea Utara. Media Barat, dalam hal ini AS, sangat berjasa dalam memboomingkan artis-artis Negri Ginseng tersebut.

Bukan tanpa maksud, media Barat telah mendesain untuk mempopulerkan artis Korea dengan K-Pop, sinetron dan fashionnya. Tidak ada makan siang geratis bagi Barat dalam setiap memberikan bantuan jasa kepada negara lain. Ada misi tertentu yang bisa menghasilkan keuntungan bagi peradaban Barat dan Amerika pada khususnya. Penulis tidak bermaksud membahas keuntungan apa yang diperoleh Barat terhadap Gelombang Korean Style, namun lebih menfokuskan kepada bahaya apa yang dibawa fenomena ini.

Menurut Dr Adian Husaini, peneliti INSIST, maraknya idolasisasi terhadap hiburan import ( dalam hal ini Korea), merupakan sebuah bukti bahwa betapa kuat arus globalisasi dalam bidang hiburan, yang mana globalisasi mengarah pada “imperialisme Budaya” Barat terhadap budaya lain.

Inilah yang kemudian disebut dengan hegemoni Barat. Hegemoni adalah mengendalikan negara bawahannya melalui  imperialisme budaya, misalnya bahasa (lingua franca penguasa) dan birokrasi (sosial, ekonomi, pendidikan, pemerintahan), untuk memformalkan dominasinya. Hal ini membuat kekuasaan tidak bergantung pada seseorang, melainkan pada aturan tindakan.

Menurut Antonio Gramsci bahwa dominasi Barat terhadap budaya di negara-negara berkembang, bertujuan untuk memaksa negara berkembang agar terpaksa mengadopsi budaya Barat. Sedangkan bagi Dr. Adian, salah satu misi dari hegemoni Barat terutama Amerika ialah mengekspor moderintas dan memprogandakan konsumerisme.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan hegemoni Barat terhadap bangsa lain adalah untuk melanggenkan dominasi peradabannya.

Budaya yang Merusak

Demam Korean style merupakan ancaman bagi generasi muslim. Karena, Korean style, mengajarkan budaya materialisme, hedonis dan jauh dari agama. Sehingga, hal ini bisa merusak sendi-sendi akhlak dan melalaikan prinsip-prinsip Agama.

Korean style sebagai produk Globalisasi dalam bidang Fun atau hiburan, telah mengikis akhlak umat Islam. Kehidupan borjuistis ala musik K-Pop, semangat hedonis dan matrealistis dalam alur cerita sinetronnya, serta pakian minim dalam model busananya, menggeser pola-pikir para penikmatnya. Hal itu kemudian menjadi gelombang trend besar-besaran seluruh masyarakat.

Tengok saja remaja muslim sekarang, dari penampilan sampai mindset, pelan tapi pasti telah berubah ala Korean style. Seolah tersihir dengan performance artis Korea, setiap hal baru yang datang dari mereka dianggap positif dan selalu up to date. Bahkan Minuman Wine (bir) beras khas Korea yang jelas-jelas haram, dikatakan baik dan menyehatkan meski agak memabukkan.

Jika dikaji dalam perspektif hukum Islam, gelombang Korean Style tidak saja mengikis akhlak umat Islam, tapi juga bisa telah mendekonstruksi keimanan. Hal ini disebabkan karena menjadikan idola artis Korea yang notabenenya adalah non-muslim bisa menyebabkan seorang muslim menjadi munafik.
Sebuah peringatan keras dalam al-Qur’an bagi mereka yang menjadikan idola selain orang Islam akan dibangsakan sebagai orang munafik. Firman Allah:
   

Artinya: Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.

Menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan lafadz “auliya’” itu bermakna penolong, kekasih, teman akrab, pemimpin dan idola.  Adanya rasa simpatik dan empatik dalam hati karena menjadikan penolong, kekasih, teman akrab, pemimpin dan idola ghairul muslim, bisa menyebabkan lunturnya iman seseorang dan bisa mengkonversi dari mukmin menjadi munafiq.

Kelompok munafik adalah sejelek-jeleknya umat. Mereka lebih hina daripada orang kafir. Siksaan bagi munafikin-pun lebih pedih, bahkan mereka ditaruh di dasar neraka (inna al-munaafiqina fi al-darki al-asfal mi al-naar).

Oleh karenanya dalam QS. an-Nisaa’ 144, Allah melarang orang-orang beriman untuk mengidolakan orang-orang kafir. Karena hal itu sama saja dengan mengundang kemurkaan Allah yang siap dengan siksaan-Nya.  Firman Allah:

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (Q.S. Al-Nisaa’. 144).

Ternyata virus gelombang Korean style bukan permasalahan sepele, bukan sekedar gandrung menikmati musik dan sinetronya semata. Disamping produk hegemoni Barat, lebih dari itu, gelombang Korean style telah membawah menjadi problem yang  serius bagi umat Islam. Yaitu problem yang menyebabkan dekadensi akhlak dan dekonsrtuksi aqidah.

Segenap kaum muslimin, mari kita rapatkan barisan, guna membentengi umat dari serangan ‘virus’ yang lahir dari globalisasi-modernisasi Barat. ‘Virus’ ini merupakan bentuk imperialisme budaya. Tradisi keislaman hendak diserang dengan budaya hedonis-sekular. Yang tanpa sadar, keberedaannya dapat menghapus nilai-nilai ajaran Agama. Serta memalingkan pengikutnya dan tidak akan kembali, bak anak panah terlepar dari busurnya. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.

*Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto.



Senin, 13 Februari 2012

Jangan Karena Valentine’s Day, Amal Kita Lenyap!


 Muhammad Saad,*

ولا تعجبك أموالهم وأولادهم إنما يريد الله أن يعذبهم بها في الدنيا وتزهق أنفسهم وهم كافرون َ

MARAKNYA peringatan hari Valentine’ Day (disingkat V-Day) bukan monopoli masyarakat kota saja, kini  semua kalangan telah mengenal dan merayakannya.  Fenomena V-Day mentradisi seluruh dunia bersamaan dengan santernya arus globalisasi yang tak terbendungkan. Sebagaian masyarakat beranggapannya sebuah keniscayaan yang tidak perlu diteliti asal-usul dan dampaknya.  

Di sisi lain, pergaulan remaja semakin hari semakin tidak bisa dibatasi. Seks bebas (free sex) dan hidup serumah tanpa diikat tali pernikahan (semen leven) adalah pemandangan yang tidak tabu lagi. Mereka menganggap hal itu adalah sebuah kewajaran dalam hal percintaan. Dari sisi ini,  V-Day ikut memberi  sumbangsih yang signifikan dalam kerusakan moral remaja Muslim. Keberadaan V-Day  memberikan legalitas pada kemakshiatan dan ajaran khurafat mitologi.

Alih-alih sebagai alasan mengekspresikan rasa sayang pada momen tersebut, V-Day telah menjadi legalisasi perzinahan. Tak ayal, momen tiap 14 Februari ini menjadikan daerah-daerah wisata yang menyediakan tempat penginapan sebagai ajang lokalisasi sesaat.

Ironisnya, pemandangan yang memprihatinkan ini tidak mendapat perhatian khusus dari orangtua pada. Entah karena minimnya pengetahauan atau ketidak mau-tahuannya terhadap prilaku anak. Sehingga prilaku remaja seperti ini seoalah menjadi kewajaran di mata orangtua.

Data hasil survey KPAI, sebanyak 32 % remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia pernah berhubungan seks. [laporan KPAI: http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/beritakpai/119-32-persen-remaja-indonesia-pernah-berhubungan-seks.html].  Sungguh mencengangkan, Indonesia mayoritas pemeluk agama Islam yang mengahramkan perzinahan, malah memberikan kontribusi  nilai fantastis dalam kemaksiatan.

Derasnya arus media yang menyuguhkan informasi tentang hedonistis valentine, telah menjadikannya sebagai live style kehidupan masyarakat  modern saat ini. V-Day dijejalkan dalam otak anak-anak muslim, seakan-akan sebagai keharusan dalam mengekspresikan kasih-sayang.

Belum lagi peran artis yang beralih fungsi sebagai tauladan, menambah justifikasi keabsahan ritual perayaan V-Day. Benarlah kiranya bahwa diakhir zaman bid’ah akan menjadi ajaran, sedangkan agama akan sekedar hiburan. Tuntunan menjadi tontonan dan tontonan menjadi tuntunan. Sehingga apa yang dilakukan para artis seolah tuntunan yang wajib dilaksanakan.

Tasyabbuh dan Meniru-Niru

Selain melegalkan perzinahan,V-Day juga berdampak pada hal-hal yang prinsipil terhadap keyakinan muslim, seperti meniru prilaku budaya kuffar (tasyabbuh) yang menjerumuskan pada bagian kelompok mereka. 

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah memagari umat dengan sabdanya, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” (HR. Tirmidzi). Juga bersifat munafik karena menjadikan idola selain umat Islam (basyiral munafiqina bi anna lahum ‘adzaaban aalima. alladzina yattakhidzuna al-kafirina aulyaan min duni al-mukminin).  

Valentine’s bukan tradisi Islam yang didalamnya tidak dapat diambil ibrah sama sekali. Justru sebaliknya, perayaan V-Day hanya membawa mudharat  bagi moral dan aqidah generasi rabbany.

Gencarnya V-Day merupakan banyak kepentingan dibaliknya. Selain produk ‘baratisasi’, juga merupakan misi orientalis merubah cara pandang kaum Muslimin dari ajarannya.

“Misi Utama Kita bukanlah menjadikan kaum Muslimin beralih agama menjadi kristen atau yahudi, tapi cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam....kita jadikan mereka sebagai generasi muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja keras, suka berfoya-foya, senang dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup, dan orientasi hidupnya semata utk memuaskan hawa nafsunya..". Ucapan ini disampaikan Zwemmer, tokoh Yahudi di tahun 1935 dalam Konfrensi Missi di Yerusalem. 

Dalam al-Quran sudah jelas, Yahudi dan Nashara tidak pernah rela terhadap eksistensi Islam di kancah peradaban (Q.S. al-Baqarah:120). 

Jangan Pangku Tangan

Bagaimanapun, prilaku degradasi akidah dan akhlak remaja adalah tanggung jawab orangtua. Sebab baik-buruknya prilaku anak sebagaian besar dipengaruhi latar belakang keluarga. 

Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) menegaskan bahwa semua anak  terlahir dalam keadaan suci, kedua orangtuanya-lah yang menjadikan Yahudi, Nashra atau Majusi. 

Jika keluarga yang berbasic agama saja anak masih bisa lolos dalam peraturan, apalagi keluarga yang tidak memiliki tradisi beragama. Tentunya akan sangat mudah ditebak bagaimana prilaku anak tersebut.

Seharusnya orangtua pandai membaca situasi seperti ini. Siapa teman anak kita? kemana dia bermain? apa yang akan dilakukan jika Valentine's? Bukan malah terkesan membiarkan dan acuh pada fenomena yang terjadi. 

Sikap sensitive dan pro-aktif  seharusnya dilakukan sejak dini. Terutama melindungi anak dan remaja kita dari budaya-budaya pergaulan bebas dan dekonstruksi akidah yang tersembunyi dibalik perayaan seperti Valentine’s.

Kewajiban para orangtua bukan hanya memberikan nafkah materi semata. Namun lebih dari itu, orangtua dituntut untuk memproteksi diri  dan keluarganya dari hal-hal yang dapat menghatarkanya masuk dalam neraka.

Al-Quran mengatakan;


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim [66] : 6). 

Jika orangtua tak melakukan atau mengabaikan masalah ini, Allah sudah jauh hari mengingatkan akan adanya fitnah.

وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” [QS. Al Anfar: 28]

Jika itu yang terjadi maka, kelak kita akan termasuk orang yang menurut Allah Subhanahu Wata’ala sebagai orangtua yang merugi  di akherat.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS; Al Munafiqun: 9] 

Memberikan nafkah yang halal, memberi pendidikan yang layak (sesuai dengan ketentuan Syar’i) dan mengarahkan anak di jalan yang diridhohi Allah Subhanahu Wa ta’ala adalah cara kita agar menjadi orang yang tak merugi dari peringatan Allah.  Oleh karena itu yang terpenting dari semua adalah selain mendampinginya, juga mendoakan anak dan menyerahkan segalanya kepada-Nya.  

Mari kita jadikan tanggal 14 Februari atau peringatan apapun yang taka da perintahnya dalam budaya Islam sebagi bekal kita untuk mendidik dan menghantarkan anak-anak ke dalam naungan Islam.

Sekali lagi, mari lindungi anak-anak kita dari virus membahayakan dalam bentuk budaya asing, seperti V-Day. Jangan sampai kita kecele di kemudian hari. Kita mengira pahala yang kita kumpulkan selama ini di dunia telah cukup. Padahal, ketika kita menghadap Sang Khaliq, Allah mengabarkan bahwa semua pahala itu telah habis karena terhapus akibat kurangnya tanggung jawab kita sebagai orangtua kepada anak-anak kita.  Wallahu ‘A’lam bi shawwab.

*Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto