Cari Blog Ini

Sabtu, 26 November 2011

DUA FALSAFAH HIDUP SEBAGAI LANDASAN KEBAHAGIAAN HAKIKI (Wasiat Abuya Ahmad Ilham Masduqie Untuk Santrinya)



Oleh: Muhammad Saad
Dalam setiap kesempatan dakwahnya, Abuya Ahmad Ilham Masduqie selalu berwasiat kepada kaum muslimin, lebih-lebih kepada para santrinya untuk senantiasa melakukan dan menjaga dua hal yang menurut beliau adalah sebagai landasan dasar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dua point tersebut menurut hemat penulis lebih merupakan falsafah hidup Islami yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu muslim guna cita-cita yang didambakan oleh setiap insan muslim. Sebagimana yang beliau sampaikan di depan para Alumni dalam pertemuan Santri Alumni pesantren yang beliau bina PP Aqdaam al-Ulamaa’ pada tanggal 13-11-2011.
Tulisan ini akan mengulas sedikit tentang dua point pemikiran Abuya, yang menjadi podasi azas dalam berkehidupan guna meraih kebahagiaan dunia dan Akhirat secara syar’i.
Makna Bahagia
Kebahagiaan seorang muslim bukan diukur dari kekayaan melimpah yang mereka miliki atau kesuksesan dalam membina rumah tangga. Kebahagiaan dunia merupakan cobaan dari Allah bagi anak manusia QS. Ali 'Imran : 185, kebahagiaan dunia bagi Allah adalah kesenangan yang amat sedikit QS. Yunus: 98, dan tidak pernah memberi kepuasan pada pemiliknya disebabkan keterbatasan dalam menikmati[1].
Kebahagiaan menurut konsep Islam adalah sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa bahagia merupakan buah dari Iman dan takwa. Kebahagaiaan dalam Islam merupakan manifestasi dari bias kenikmatan Sorga di dunia yang didambakan kekal di akhirat nanti.

QS. Ar-Ra'd [13] : ayat 29
Artinya: Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.

QS. Az-Zumar [39] : ayat 73
Artinya: Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".

Dua Point Landasan Hidup
Dalam menggapai kebahagiaan hakiki tersebut, menurut Abuya sapaan K.H Ahamad Ilham Masduqie pengasuh P.P. Aqdaam al-Ulama’, terletak pada kuncinya dua point. Pertama, senantiasa berbuat baik kepada orang tua atau birr al-walidain, Ini merupakan kunci utama seorang hamba untuk mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana telah banyak disinyalir dalam dua sumber ajaran, baik al-Qur’an maupun al-hadits tentang bagaimana keutamaan jika seseorang birr al-walidain. Pun pula sebaliknya, apa akibat yang akan ditanggung seseorang jika berani terhadap orang tua.
Kewajiban birr al-walidain adalah harga mati yang tidak bisa ditawar dalam Islam. Kewajiban berbuat baik kepada orang tua, memiliki urutan utama setelah seorang hamba berkwajiban mentauhidkan Allah.
Allah SWT berfirman dalam QS. Annisaa’: 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
.
QS. Al-Israa:23
Artinya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam kedua surat baik surat Annisaa’ maupun  dalam surat al-Israa’ perintah bertauhid selalu diiringi perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dalam koteks Islam, mentauhidkan Allah Robb al-Izzati adalah kewajiban utama yang harus dilakukan setiap hambah-Nya. Tidak satu-pun ulama’ yang berpendapat toleransi terhadap permasalahan Tauhid. Konsekwensi dosa yang ditangung bagi orang yang berbuat syirik adalah dosanya tidak bisa diampuni bila tidak bertaubat.
Jika dosa syirik adalah dosa Akbar nomor wahid, maka dosa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar nomor dua setelah dosa syirik. Tidak menutup kemungkinan orang yang durhaka kepada orang tua bisa menggiring si pelaku dosa kepada dosa besar yang lain dan kemudian menjerembabkan dia pada perbuatan syirik atau murtad.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ?. Rosulullah Saw bersabda bahwa ridhlo Allah adalah terletak pada ridhlo  orang tua, sedangkan murka Allah terletak pada murka orang tua. Jika seorang hambah berprilaku baik kepada orang tuanya, maka niscaya Allah meridhloi semua amal perbuatannya. Oleh karenanya, setiap yang ia lakukan selalu dituntun oleh Allah kepada hal-hal kebajikan yang diridhloi Allah SWT yang kemudian menghantarkan hamba ini kepada kebahagiaan sorgawi baik di dunia terlebih di Akhirat.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim, (kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.” Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”[2]
Pun pula sebaliknya, jika seseorang durhaka kepada orang tua, maka ia akan menanggung akibat buruknya. Tidak tanggung-tanggung, dosa durhaka kepada orang tua akan dibalas oleh Allah langsung di dunia. Jika melihat banyaknya bencana yang diturunkan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak anak manusia yang berbuat durhaka kepada orang tuanya. Mulai dari negri ini, setiap diberi pemimpin selalu pemimpin yang dholim, bencana alam seperti gempa, kekeringan yang panjang di musing kemarau, banjir yang tidak kunjung larut di musim penghujan sampai wabah penyakit yang tidak kunjung berhenti. Belum lagi fitnah yang datang dari ranah Agama berupa maraknya aliran sesat bak jamur  yang tumbuh dimusim hujan, adalah sebuah sinyal bahwa umat ini telah banyak yang berbuat dosa durhaka kepada orang tua.
Bukan tanpa Alasan Allah SWT menurunkan adzab dan fitnah  kepada kita, jika kita tidak berbuat dzholim durhaka kepad orang tua.  Fenomena ini di atas telah disinyalir Rosul Saw yang diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. beliau bersabda:
Artinya: “Setiap dosa akan Allah tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena) durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”
Oleh karenanya, sedini mungkin kita berintrospeksi diri dalam kehidupan sehari-hari atas prilaku kita terhadap orang tua, baik orang tua yang masih hidup ataupun yang sudah meinggal. Apakah kita selama ini sudah berbakti kepada mereka berdua, atau justru selalu membuat batinnya sakit dan menderita menjadikan Allah murka. Karena Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba, itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah itu sampai kedua orang tuanya ridha.
Dengan berbakti kepada orang tua, akan  memberikan manfaat besar bagi kehidupan kita. Allah akan Senantiasa menaungi kita dengan ridhlo-Nya. Dengan demikian kebahagiaan akan datang selaras dengan ridhlo Allah. Ini-lah anugerah yang sangat agung yang didamba oleh setiap hamba yang mengharapkan kebahagiaan haikiki.
Adapun point kedua adalah urgent-nya menegakkan sholat sesuai dengan syar’i yang ada. Maksud dari menegakkan sholat sesuai syar’i ialah menjalankan ibadah sholat sesuai syarat dan rukunya, serta memperhatikan kekhusyu’an baik lahiriyah terlebih-lebih bathiniyah[3]. Untuk menghasilkan khusyu’, pertama, hendaklah seorang mushollin ketika sholat menganggap dirinya sedang menghadap Allah Yang  Maha mengetahui segala rahasia dan Maha Kuasa. Dengan Dzat yang Maha berkuasalah orang yang shalat bermunajah secara rahasia.
Kedua, mengetahui makna yang sedang dibaca, karena maknalah yang dimaksudkan, bukan semata-mata membaca lafadz. Mengetahui makna tentunya tidak cukup menjadikan seseorang bisa melaksanakan sholat dengan khusyu’, maka, Ketiga, menghadirkan hati dalam memahami arti setiap bacaan.[4]Artinya setiap bacaan baik yang  wajib dan yang sunnah dipahami dengan sungguh-sungguh apa hakikat makna bacaan tersebut. Terlebih-lebih ketika membaca surat al-fatihah yang menjadi rukun qouli yang wajib dibaca.
Menurut Abuya, dari sekian rukun yang wajib dibaca hanya al-fatihah yang paling banyak dibaca. Ambillah contoh; bacaan takbir yang diwajibkan hanya satu kali pada waktu takbirotul ihram. Tasyahud, shalawat dan salam hanya satu kali yang diwajibkan pada tahiyyat akhir. Namun bacaan al-Fatihah wajib dibaca pada setiap raka’at. Hal ini mengindikasikan ada sesuatu yang paling urgent dengan diwajibkan membaca al-Fatihah pada setiap raka’at. Bila dihitung sesuai dengan raka’at sholat wajib, maka jumlah surat al-Fatihah yang wajib dibaca ada 17 bacaan.
Al-fatihah adalah induk dari al-Qur’an, semua kandungan al-Qur’an tertera pada setiap kalimat yang ada. Diawali dengan disunnahkan membaca ta’awudz, memberi pemahan bahwa setiap gerak langkah kita selalu mohon perlindungan kepada Sang khaliq dari godaan dan perbuatan syaithoniyah. Kita hanya hambah lemah yang selalu membutuhkan perlindungan dari kejahatan musuh-musuh kita yang selalu menginginkan kita terjerembab ke dalam kesesatan.
Singkatnya, surat al-Fatihah, mulai dari ayat pertama “Basmalah” hingga ayat ke empat “maaliki yaumi al-ddin” adalah pujian kepada Sang Khalik atas anugrah Kasih-sayang-Nya serta kekuasaan yang dimiliki-Nya. Barulah ketika menginjak pada ayat ke lima, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain”, adalah kemurnian dan kesempurnaan cinta, taat, takut dan tunduk kepada Allah Robb sekalian alam. Serta tiada tempat meminta pertolongan, kecuali hanya kepada-Nya.
Permintaan pertolongan yang utama ialah terusan ayat selanjutnya. Ihdinash shiratal mustaqim, yang artinya “tunjukkan-lah kami jalan yang lurus”. Ini-lah sesungguhnya penekanan dalam setiap permintaan kita kepada Allah. Hidayah atau petunjuk adalah hal yang paling urgent bagi hidup kaum muslim. Saking urgent-nya sehingga Allah mewajibkan al-Fatihah sebagai rukun dalam setiap raka’at sholat.
Adapun yang dimaksud dengan “Shiratal mustaqim” atau jalan yang lurus ialah, sebagaimana penjelasan ayat selanjutnya, “shiratalladzina an’amta ‘alaihim”. Artinya “jalan orang-orang yang Kau beri nikmat kepada mereka”. Siapa yang dimaksud “mereka”, ialah para Nabi, para sahabat, syuhada’, dan orang-rang yang senantiasa berama shaleh. Bukan jalan oarng yang dimurkai pun pula bukan jalan orang-orang tersesat “ghoiril-maghdhluubi ‘Alaihim walaadhlolliin”.
Dengan senantiasa sungguh-sungguh memohon akan perlindungan, serta meminta hidayah dalam setiap roka’at sholat dapat dipastikan Allah akan menerima do’a hamba tersebut QS, al-Baqarah:186. Sehingga dalam setiap kehidupan seseorang hambah yang senantiasa mendapat perlindungan dan limpahan karuniah rahmat dan hidayah akan merasakan ketenagan, ketentraman serta kebaghagiaan yang hakiki di dunia hingga nanti pada batasnya. Dan kemudian berlanjut di akhirat dengan menerima imbalan sorga atas apa yang diperbuat di dunia.

Penutup
Islam memiliki segudang solusi untuk menyelesaikan masalah baik dunia maupun akhirat. Menurut Abuya Ahmad Ilham Masduqie bahwa kunci utama untuk meraih kebahagiaan dunia dan Akhirat terletak pada dua point. Berbakti kepada kedua orang tua dan penekanan kekhusyu’an dalam sholat terlebih pada  bacaan al-Fatihah, adalah dua faktor penting yang dimaksud, yang harus dilakukan oleh setiap individu muslim guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hakiki baik di dunia terlebih di akhirat. Wallahu ‘A’lam Bi shawwab




[1] Masduqie, Abuya Ahmad Ilham, Buletin “Memelihara Iman Vol 1”, (Pandaan, )
[3] ZS. Nainggolan, Inilah Islam, Filsafat dan Keesaan Allah (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm, 229.
[4] Ibid, 231-232.