Cari Blog Ini

Selasa, 13 September 2011

URGENSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN

URGENSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN
Oleh:
Muhammad Saad

Pendahuluan.
Ilmu pengetahuan modern disamping membawa manfaat yang cukup signifikan, yaitu dengan membantu kebutuhan hajat hidup manusia. Ternyata di sisih lain telah menimbulkan problem yang krusial. Problem yang mendasar pada umumnya terdapat pada epistemologi dan  metodologi.  Problem tersebut berdampak pada permasalahan teologis. Berangkat dari titik ini, maka bagi penulis Islamisai Ilmu pengetahuan sangat urgent diperlukan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan berbagai keterbatasan mencoba menjelaskan, pertama, problem ilmu modern menurut Mulyadi Karta Negara dan Syaid Naquib al-Attas. Kedua, dampak ilmu modern. Ketiga, Islamisasi Ilmu Pengetahuan modern.

Problem Ilmu Modern (Mulyadi Karta Negara)
Perlunya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan oleh intelektual muslim di tengah-tengah perkembangan ilmu modern, adalah perihal yang urgent. Menurut Mulyadi karta Negara guru besar filsafat Islam, urgentnya islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan pandangan ilmu modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius, terutama pada sudut pandang teologi. Jika dipandang secara umum, seolah-olah tidak ada titik temu yang menjadi problem dalam sudut pandang akidah (teologi) Islam. Namun bila lakukan kajian lebih intensif  malalui ruang lingkup dan metodologi ilmu modern, maka akan terlihat perbedaan fundamental yang terjadi dalam sistem epistemologi antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang kemudian berdampak kepada aspek teologi sebagai konskensi logisnya.
Pertama, kajian kita terfokus kepada ruang lingkup ilmu modern. Sebagaimana yang sudah  mafhum, bahwa ilmu pengetahuan modern lahir dari ilmuwan-ilmuwan Barat yang hanya berorientasi pada obyek indrawi. Hal ini dapat dilihat dari definisi ilmu itu sendiri, yaitu “ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris”. Artinya bahan atau sudut tinjauan sasaran pembicaraan dan penelitian ilmu pengetahuan modern berkutat pada hal-hal yang bisa dirasakan oleh pengalaman panca indra. Misalnya: manusia, ekonomi, alam, dan hukum. Dengan demikian, obyek ilmu modern telah menafikan diri dari permasalahan nonempiris atau metafisika. Pembatasan lingkup ilmu modern terhadap indrawi sebagai satu-satunya realitas yang ada, seperti tercermin dari paham positivisme, matrealisme, dan sekularisme.
Bila obyek pengetahuan dalam ilmu modern adalah empirik, maka metodologi untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah menggunakan metode observasi. Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi. Di sini pendekatan rasional digabungkan pedekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Tujuan dari pengolaborasian pendekatan tersebut ialah: pertama untuk menyusun pengetahuan secara konsisten dan akumulatif, dan kedua untuk memisahkan antara pengetahuan yang fakta dan tidak. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwasannya indrawi yang menjadi satu-satu sumber otoritas  pengetahuan, sedangkan rasio hanya sebagai penyusun dan pengumpul data pengetahuan. Sehingga hal ini menjadi penyebab utama penegasian terhadap realitas obyek yang ghaib.
Pembatasan ruang lingkup dan metodologi inilah yang telah memberikan sinyal bahwa ternyata dunia keilmuan Barat modern membawa problem serius bagi Islam, meskipun di sisi  teknologi menghasilkan penemuan-penemuan mutakhir, seperti teknologi modern di dalam berbagai bidang, dan masih banyak yang lainnya. Bagi Barat, pertanyaan-pertanyaan metafisis tidak memiliki akar nilai epistemologis. Sebagimana pernyataan Immanual Kant yang dikutip oleh Adnin Armas peneliti INSIST, bahwa bagimanapun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berdasarkan panca indra. Menurut Kant, metafisika tidak memuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori seperti yang wujud dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Epistologis yang cenderung mengarah ke sekular bahkan Atheis inilah yang kemudian menjadi perbedaan fundamental dengan konstruk epistemologi di dalam Islam.

Problem ilmu modern (Syaid Naquib al-Attas)
Syaid Naquib al-Attas menyebut gejala ilmu pengetahuan modern sebagai westernisasi ilmu. Menurut al-Attas westernisasi ilmu pengetahuan adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westwernisasi ilmu telah mengangkat dugaan dan keraguan sebagai metodologi ilmiah, kemudian menjadikan keraguan sebagai satu-satunya epistemologi  dalam mencari kebenaran, menolak wahyu dan agama dalam ruang lingkup keilmuan, serta menjadikan filsafat sekular dan Humanisme-antroposentris sebagai alternatif basis keilmuan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Akibat dari metodologi yang dibangun atas dasar keraguan, maka hasil yang mereka capai adalah tidak bersifat final, terus berkembang, dan selalu mengalami perubahan. Hal demikian dikatakan oleh Dr. Syamsuddin Arif (peneliti INSIST) sebagai ‘’kangker Epistemologi’’.  Pengidap ‘’Kangker Epistemologi’’, menunjukan gejala-gejala sebagai berikut : (1), Skeptis terhadap segala hal, dari soal sepele hingga ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Bagi mereka qath’i dan bayyin adalah sama dan patut diperdebatkan. (2). Relativistik,  pengidap relativisme tersebut menganggap semua kebenaran bersifat relatif (termasuk Agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebaginya). Jika para skeptis menolak semua kebenaran, maka para relativisme menganggap semua adalah benar. (3). Gejala lain dari pengidap kangker ialah mereka mengalami kekacauan ilmu (cognitive confusion). Mereka tidak mampu membendakan benar dan salah, hak dan bathil.
Penolakan terhadap realitas (Tuhan) atas nama ilmu dapat dilihat pada Carles Darwin (w. 1882 M), seorang ahli biologi yang terkenal dengan teori evolusinya. Penulis buku the origin of species ini berasusmsi bahwa teori kejadian makhluk berawal dari sekitar 3.5 milyar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu “berevolusi” menghasilkan aneragam species baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru yang bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. Dalam otobografinya, dia menyatakan :
Argumen desain yang selama ini dirasakan sangat meyakinkan, ternyata telah gagal. Kini hukum seleksi ilmiah telah ditemukan. Sekarang ini kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa engsel kerang indah, misalnya, harus merupakan hasil perbuatan suatu Wujud yangcerdas (Tuhan), sebagaimana engsel pintu hasil perbuatan manusia.
Dari penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelumnya Darwin adalah seorang yang percaya akan eksistensi Tuhan (theis). Akibat terpengaruh oleh pandangan ilmiahnya, ia menjadi Atheis. Inilah bukti kongkrit bahwa perspektif ilmu modern bisa menjadikan seseorang Atheis atau paling tidak sekularis.  

Dampak Metodologi Ilmu Modern terhadap Agama
Ketika konsep bangunan epistemologi dan metodologi Barat skular ini diadopsi di dalam ranah ilmu keagamaan, maka yang terjadi kehancuaran sakralitas nilai-nilai agama tersebut. Sebagimana yang kita pahami di atas bahwa, nilai-nilai ilmu modern hanya berasas pada realitas empirik. Bila hal ini dijadikan metodologi dan epistemologi ke dalam studi ilmu Islam, maka yang pertama-tama dilakukan adalah relativisasi terhadap sumber dan obyek pengetahuan non empiris. Mengapa demikian ?, sebab metodologi dan epistemologi modern tidak menerima metafisik. Bila ‘terpaksa’ masuk wilyah religi, maka apapun konsep metafisik, termasuk Tuhan yang menjadi sumber otoritas dalam Agama harus tunduk kepada akal. Setiap orang berhak mendifinisikan sesuai dengan rasio masing-masing. Bila semua berhak membuat batasan masing-masing, maka semua konsep tentang realitas metafisik adalah relatif karena lahir dari budi setiap manusia. Bila sumber dan obyek dianggap relatif, maka produk yang dihasilkan-pun otomatis menjadi relatif.
Contoh refleksi dari relativisme pemikiran tentang keagamaan adalah ide pluralisme agama. Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang mengkampanyekan bahwa semua Agama ada benar.  Berbagai teori diajukan oleh para penganjurnya untuk menjadi legitimasi pembenaran terhadap ide mereka.
Terlepas dari tujuan tendensius, inilah merupakan hasil dari hegemoni metode ilmiah modern terhadap disiplin keilmuan Islam. Alih-alih mencari kebenaran obyektif, bebas nilai, dan universal, ternyata malah jatuh ke dalam paradoks. Kebenaran yang diyakini tsawabits di dalam Islam, didekonstruksi menjadi pemahaman yang meragukan. Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya, dirubah menjadi kebenaran yang nisbi.
Padahal, konsep ilmu pengetahuan bersifat obyektif masih menjadi pro dan kontra. Bagi yang mengikuti pendapat ini, beranggapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu. Ilmu, bagi mereka adalah netral, tidak memihak. Baik dan jahatnya sebuah ilmu pengetahuan tergantung ilmuwanya. Sedangkan kelompok kedua, menolak pandangan yang pertama. Ilmu bagi mereka, sama sekali tidak bisa terlepas dari subyektifitas sang ilmuwan.
Apakah betul ilmu itu bisa benar-benar obyektif ?. Holmes Rolston, Seorang  profesor  filsafat di Colorado State University yang mendapat gelar di bidang fisika dan matematika, misalnya menyatakan dalam bukunya ‘Science and Religion : A Critical Survey’, ‘’bahwa seorang peneliti akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui.’’ Memang benar ilmu dapat diminimalisir dari subyektivitas, akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Semakin seorang mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin itu pula tidak bisa dilepaskan dari subyektivitas. Kesimpulan dari Rolston bahwa (bahkan) fisika, kimia, dan astronomi, tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif sekalipun, tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan semakin subyektif saja.
Jadi menurut hemat penulis, ide Pluralisme agama adalah merupakan implementasi dari kerancuan berfikir yang disebabkan oleh adopsi besar-besaran terhadap epistemologi dan metodologi ilmu pengetahuan Barat modern yang bersifat obyektif relatif. Disamping ada tendensi tertentu yang tidak perlu diungkapkan oleh penulis.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan konteporer.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Menurut Al-Attas, Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi secara umum. Al-Attas mendifinisikan Islamisasi ialah ‘’pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Artinya seorang muslim memiliki konsep tersendiri tentang konsep metafisika yang datang berupa wahyu bukan berupa mitos, animisme, yang bersifat universal (tidak terikat budaya dan bangsa), serta terbebas dari sekular. Islamisasi adalah satu proses pengembalian kepada fitrah.
Al-Attas memilih konsep ‘’Islamisai Ilmu pengetahuan Kontemporer’’ adalah dipandang lebih tepat. Sebab menurut Prof. Wan. Mohd Nor terma-terma teknikal tersebut labih dikhususkan kepada ilmu kontemporer Barat yang penuh dengan problem. Bila hanya menggunakan susunan kata ‘’Islamisasi ilmu pengetahuan’’ saja, maka akan berimplikasi bahwa semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu tradisi Islam yang berdasrkan pada al-Qur’an dan Sunnah, yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim adalah belum Islami dan oleh sebab itu perlu diislamkan. Padahal ilmu-ilmu tradisi Islam tidak pernah mengalami pelepasan diri dari Tuhan sebagai sumber otoritas kebenaran.
Justru yang terjadi pada masa itu adalah proses akuisisi, di mana sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam sebagai tamu yang diundang. Pada tahap pertama sang tuan rumah bersikap jaga jarak dan hati-hati. Kemudian adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana tuan rumah mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawah sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jabir ibn Hayyan (815 M), dan al-Kindi (w. 837 M).  proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut proses asimilasi dan naturalisasi atau lebih tepatnya Islamisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi (w. ca. 853 M), Umar al-Khayyam ( w. 1132 M), dalam Matematika, Ibn Sina (w. 1037 M) dan Al-Nafis (w. 1288 M) dalam kedokteran, dan masih banyak yang lainnya.
Islamisasi bukan berarti menafikan semua paradigma Barat terhadap epistemologi, karena menurut Naquib ada persamaan antara epistemologi Barat dan Islam. Persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan emperis, deduktif dan induktif. Perbedaan antara keduannya adalah sangat mendasar yaitu, terletak pada pandangan hidup (divergent wordview) mengenai Realitas akhir. Di dalam Islam, Wahyu merupakan merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk dan ciptaan dan pencipta. Wahyu merupakan dasar kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagi sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari perspektif rasionalisme dan emperisme. Sedangkan Barat memandang realitas hanya fenomena alam. Karena hanya sebuah fenomena, maka bagi mereka realitas tidak final,  selalu berubah. Penemuan terhadap realitas hanya sebuah hipotesa, yang akan disusul hipotesa selanjutnya, dan akan berjalan begitu seterusnya.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer terbit dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer yang berdalih bebas nilai, ternyata tidak bebas nilai (free value) dan tidak juga bersifat universal karena telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi dari penguasa. Al-Attas menegaskan bahwa ‘’ilmu bukannya netral, bahkan dapat disusupi dengan sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu’’. Menyadari hal tersebut al-Attas berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu Barat bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara pandang hidup suatu kebudayaan. Dan itu terbukti, pada saat ini peradaban Barat begitu menghegemoni peradaban lain, lebih-lebih peradaban Islam. Itu semua adalah hasil dari penyebarluasan ilmu pengetahuan Barat modern ke seluruh pelosok dunia.
Islamisasi ilmu pengetahuan modern, menurut al-Attas harus diawali pengidentifikasian terhadap wordview Islam dan sekaligus mampu memahami budaya Barat. Pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan.
Setelah mengetahui wordview Islam secara mendalam, kemudian melakukan Islamisasi bahasa, dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Jadi, ‘’bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan wordview atau visi hakikat (reality) kepada manusia. Konsep Islamisasi yang umum ini dengan sendirinya akan membawah islamisasi ilmu disebabkan pemikiran dan rasionalitas yang sudah diIslamkan, sebagimana disosialisasikan oleh Mulyadi Karta Negara dalam bukunya ‘’Mengislamkan Nalar Sebuah Respon Terhadap Modernitas’’.
Barulah setelah itu melakukan Islamisasi secara sistematis yang melibatkan dua proses yang saling terkait. Pertama ialah proses pengisolasian unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dri ilmu tersebut. Adapun unsur-unsur Barat adalah (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Kedua, memasukkan unsur-unsur  dan konsep-konsep utama Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.  Al-Attas menyarankan unsur dan konsep utama Islam yang terdiri (1) Manusia; (2) din; (3) Ilm dan Ma’rifah; (4) hikmah; (5) ‘adl; (6) amal-adab; dan (7) kulliyah-jammiyah (konsep universitas). Semua unsur hendaknya disadur dalam konsep Tawhid, shariah, akhlak, sunnah, dan tarikh. Beliau menolak konsep Islamisasi yang hanya memindah, menempelkan sains dan prinsip Islam atas sains skular, karena ini akan memperburuk keadaan sebab virus sekular masih terdapat tubuh Islam.
Dengan menkonversi ilmu pengetahuan kedalam konsep Islam, maka dihasilkan pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme, tradisi kebudayaan kebangsaan, dan dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Sehingga ilmu pengetahuan menjadikan pribadi ilmuwan sebagai pribadi yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni sekaligus kekuatan theologi yang tidak diragukan.

Kesimpulan.
Fenomena Atheisme, sekularisme, liberalisme yang menghinggapi baik para ilmuwan maupun para Agamawan adalah hasil yang ditimbulkan virus yang terdapat dalam ilmu pengetahuan modern. Virus tersebut terdapat epistemologi Barat modern, yang diistilahkan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai Kangker epistemologi.  Virus tersebut, adalah menjadikan empiris sebagai satu-satunya sumber realitas pengetahuan. Dengan demikian, metafisis dinegasikan eksistensinya sebagai sumber pengetahuan. Bagi mereka metafisika tidak bisa diakui keberadaannya karena tidak bisa berdasarkan panca indra, metafisika hanya sebagai Trancedenatal illusion. Bagi mereka yang terserang virus epistemologi Barat memiliki tiga gejala; (1). Skeptis, (2). Relatif, (3). Cognitif confision.  Virus tersebut yang kemudian menjadi standard ruang lingkup ilmiah modern.
Karena menimbulkan problem yang berdampak  pada ranah teologi, maka para ilmuwan Islam melakukan Islamisasi terhahadap ilmu pengetahuan kontemporer. Sebenarnya Islamisasi sejak dahulu sudah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Namun, Prof. Dr. Syaid Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim pertama yang meformulasikan Islamisasi secara sistematis pada tahun 1980 M. Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas tidak serta-merta mengadopsi ilmu modern, yang kemudian diberi label Islam. Akan tetapi Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adala revolusi epistemologi Barat. Revolusi epistemologi, bukan berarti merubah segalanya yang datang dari Barat, namun membuang wordview Barat tentang penegasian terhadap Realitas metafisis.
Tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan modern adalah untuk membentengi ummat Islam dari virus epistemologi Barat yang berdampak kepada aqidah dan menjadi penambah keimanan kepada Allah. Yang menurut Al-Attas islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Wallahu a’lam bisshawwab.








DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad, “Filsafat Ilmu”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2010.
Arif, Syamsudin, “Aroma penghinaan dalam Sains Modern”, http://www.republika.co.id. 2010.
Arif, Syamsuddin, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, GIP, Jakarta, 2008.
Armas, Adnin, “Dewesternisasi dalam Islam, dan Islamisasi ilmu Pengetahuan”, http://www.insistnet.com.
Armas, Adnin, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi”, Gontor, Ponorogo, 2006.
Bazlie Syafie, Ahmad, “Evaluasi Terhadap analisa perbandingan antara Konsepsi Islamisasi al-Attas dan al-Faruqi”, ISLAMIA, Edisi VII.
Hashim, Rosnani, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”, ISLAMIA, edisi VI.
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal. Sejarah, Konsepsi, penyimpangan dan Jawabannya”, GIP, Jakarta, 2002.
Karta Negara, Mulyadi, “Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon Terhadap Modernitas”, Penerbit Erlangga”, Jakarta, 2007.
Malik Thoha, Anis, “Tren Pluralisme Agama”, Perspektif, Jakarta, 2005.
Sani, Mohammad Mahmud, “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Scientifica Press, Mojokerto, 2009.


FENOMENA LEBARAN MASYARAKAT KOTA, SEBUAH PERGESERAN NILAI KEHIDUPAN

FENOMENA LEBARAN MASYARAKAT KOTA, SEBUAH PERGESERAN NILAI KEHIDUPAN
Oleh: Muhammad Saad
Saat lebaran kemarin saya mudik ke rumah mertua saya. Sebagimana biasanya, adat mudik merupakan rutinitas yang dilakukan masyarakat muslim Indonesia saat Labaran. Kebetulan acara mudik yang saya lakukan malah kebalikan orang-orang pada umumnya. Bila orang-orang memanfaatkan lebaran dengan mudik dari kota tempat mereka bekerja ke desa-desatempat tinggal mereka, saya malah mudik ke Kota tempat asal istri saya. Jadi istilah mudik buat saya mungkin kurang tepat buat saya.
Singkat cerita, ada fenomena yang sebenarnya aneh buat pribadi penulis, namun tanpa sadar telah menjadi kebiasaan, maka fenomena itu tidak asing. Fenomena apakah itu?.
Sebelum beberapa hari menjelang lebaran, hampir seluruh ummat muslim, baik di kota maupun di desa mempersiapkan kedatangan hari kemenangan tersebut. Mulai dari renovasi ekterior dan interior rumah sampai permak habis dandanan dirinya. Hampir tidak ada satupun toko pakaian yang tidak dikunjungi orang, semuanya laris manis diserbu pembeli  bak kacang goreng suguhan hari raya.
Di kota (tempat istri) ada kebiasaan menyabut hari lebaran yang menurut penulis cukup ekstrim. Ketika persiapan hari besar umat Islam itu, ada satu kebiasaan bagi perempuan-perempuannya berlomba memakai perhiasan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah orang yang paling mulya dan paling dihormati saat itu adalah mereka yang memakai perhiasan yang paling banyak. Tidak perduli hal itu memakan budget yang besar dan tidak perduli pula perhiasan itu pantas atau tidak ketika dikenakan.
Maka pada saat itu bersaing membeli perhiasan sebanyak-banyaknya. Entah dari mana uang yang diperoleh, yang penting bisa memenuhi standar orang “mulya”. Bagi orang yang mampu tanpa susah payah merogoh kocek jutaan rupiah guna  membeli perhiasan sebanyak-banyaknya.  Bagi orang dengan ekonomi pas-pasan, mereka memutar otak bagaimana sekiranya dengan fulus yang pas-pasan mendapatkan perhiasan yang standar dengan si kaya. Maka si ekonomi menegah kebawah ini membeli emas dengan kualitas rendah, atau bahasa gaulnya emas muda. Dengan begitu, emas yang didapat akan berimbang jumlahnya dengan si kaya tanpa menguras hartanya.
 Beda lagi dengan si miskin, jangankan untuk membeli perhiasan untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka pontang-panting untuk memenuhinya. Akan tetapi mereka tetap ingin “fastabiqul khoirot” ala kehidupan kota, golongan ekonomi ke bawah ini mempunyai trik sendiri untuk bisa bersaing. Trik pertama, jika dirasa mereka memiliki harta semisal motor, televisi atau lainnya yang sekiranya bias dijual atau digadaikan, maka tanpa ragu-ragu mereka menjual atau mengadaikan harta tersebut guna mendapatkan perhiasan. kedua, namun bila tidak memiliki harta benda yang bisa dijual, maka mereka dengan sembunyi-sembunyi membeli perhiasan palsu dari kuningan yang mirip emas agar dianggap mampu membeli perhiasan.
Fenomena di atas  inilah yang sangat menggelitik pikiran penulis. Apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir masyarakat kota dan bagaimana dampak dari fenomena ini?.
Ternyata tanpa disadari mindset masyarakat modern ini telah bergeser dari polapikir yang spiritualistis menjadi materialistis. Agama yang merupakan salah satu pilar pokok yang menompang kehidupan keluarga, yang pada mulanya sebagai satu-satunya sistem yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lain yang ditawarkan (baca; dipaksakan) dari hasil produk globalisai. Ironsinya problem ini tidak lagi hanya mewabah pada level teori namun juga pada level praktis.
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya problem paling berat yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah penyakit “masyarakat modern”. Di era modern seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama melalui media ini.
Adalah budaya global yang didominasi oleh budaya Barat, kini telah menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat, dan yang lebih dahulu terkena dampak dari hegemoni globalisasi adalah masyarakat kota. Salah satu praduk dari globalisasi yang menjangkiti masyarakat kota adalah budaya materialistik. Sebagaimana diketahui bahwasannya pandangan materialistis adalah cara pandang yang mengedepankan kehidupan yang terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan duniawi sesaat, seingga aktifitas yang dijalankan hanya berkutat pada permasalahan dunia seperti lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan jasad, pemuasan gaya hidup dll.
Ketika budaya materialistis telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka manusia merubah mindset-nya yang semula agama dan tradisi kultur menjadi dasar pola-pikir, ke hal-hal yang bersifat duniawi. Kemulyaan bagi mereka hanya milik orang-orang yang memiliki harta benda, tingginnya derajat hanya bagi mereka yang memiliki kesempurnaan fisik semata, sedangkan meraih ilmu bukan untuk kearifan dan taqarrub kepada Sang pencipta, namun untuk meraih posisi dan harta.  Disinilah letak pangkal kerusakan kehidupan. Bagaimana tidak, hidup akan menjadi sebuah medan pertempuaran guna meraih kekuasaan dan kehormatan.
Seharusnya hari raya idul fitri adalah moment untuk menjadikan diri setiap insan muslim manusia yang fitri dari dosa-dosa baik yang berhubungan dengan Ilahi atau haqul adami. Selama sebulan diberikan keistimewaan melaksanakan perbaikan diri dengan bertaqarrub serta memohon ampunan kepada Allah SWT. Singkatnya Bulan ramadhan memberikan fasilitas kemudahan bagi personalitas muslim menjadi hamba yang dicintai oleh Rabb-nya.
Idul Fitri pada hakikatnya perintah sunnah merayakan ungkapan rasa syukur atas kemenangan jihad Akbar melawan hawa nafsu duniawi selama satu bulan. Seseorang tidak dikatakan kembali kepada fitrah bila selesai puasa Ramadhan mentalnya masih memandang duniawi sabagai tolok-ukur dan tujuan akhir dari kehidupan. Apa lagi yang terjadi adalah sampai pada tingkat perlombaan pamer yang kemudian berakibat pada saling merendahkan satu sama lain.
Ironisnya, akibat virus materialism, prilaku demikian di kota telah menjadi tradisi, yang kemudian tradisi tersebut telah merubah mindset masyarakatnya menjadi sebuah paradigma baru yang kemudian dilestarikan turun-temurun. Bila hal ini terjadi, maka paradigma yang berkembang tersebut berubah menjadi sebuah ideologi yang memiliki kebenaran.
Padahal, Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pertama, Islam tidak menghendaki ummatnya merayakan hari raya dengan simbolik, bermewah-mewahan, Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini. Hal ini dapat kita lihat dalam hadis Rasul yang artinya,
Bahwa hari raya ‘idul fitri bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba dan mewah tapi idul fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhannya semakin meningkat”.
Kedua, bermewah-mewahan dengan memamerkan harta dan benda adalah salah satu pernuatan dosa besar yang disebut dengan riya’. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa riya merupakan syirik kecil, walaupun dia syirik asghar, akan tetapi dosanya lebih besar dibandingkan pembunuhan dan perzinahan, karena dia merupakan kesyirikan, dan kesyirikan dosanya lebih besar dibandingkan dosa-dosa besar selain syirik. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Sa’ad bin Abu Fudhalah Al-Anshari salah seorang sahabat Nabi -alaihishshalatu wassalam-, beliau  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ, نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ
“Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir pada hari kiamat-yang tidak ada keraguan dalamnya-, maka akan ada seorang penyeru yang menyeru, “Barangsiapa berbuat syirik dalam suatu amalan yang dia kerjakan untuk Allah, hendaknya dia meminta balasan pahalanya kepada selain Allah tersebut. Karena sesungguhnya Allah Maha tidak membutuhkan sekutu.” (HR. At-Tirmizi no. 3079, Ibnu Majah no. 4193, dan Ahmad no. 17215, serta dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 482).
Ketiga, yang lebih berbahaya ialah keyakinan atas kebenaran tradisi tersebut berubah menjadi paradigma yang kemudian membentuk sebuah ideologi. Sudah fitrah manusia cenderung membela ideologinya karena dianggap memiliki kebenaran. Padahal dalam kacamata Islam, prilaku bermewah-mewahan dalam lebaran adalah sebuah kesalahan. Adalah sebuah kesalahan fatal bila melakukan perbuatan salah yang dianggap benar. Dalam pandangan Islam hal ini bisa berakibat terjerumus dalam dosa kekafiran karena menganggap perbuatan dosa sebagai kebenaran.
Tradisi lebaran di kota itulah yang kini menjadi salah satu dari sekian fenomena pergeseran nilai-nilai dari masyarakat kota. Dampak dari dari pergeseran nilai tersebut telah masuk kedalam dimensi keimanan. Hal ini sangat berakibat fatal karena bisa menjebak manusia dalam perbuatan dosa bahkan tidak menutup kemungkinan terjerembab pada kekafiran. Wallahu A’lam bi showwab

*Mohon kritik dan saran

Kamis, 08 September 2011

sholat khusyu'

HADITS KHUSYUK DALAM SHOLAT
I. Pendahuluan
Khusyuk dalam sholat merupakan hal perlu diperhatikan untuk menjaga mutu sholat kita.  khusyuk berarti berkonsentrasi, merendah diri, tunduk, dan patuh secara rohani (hati dan akal) dan jasmani kepada Allah dikala shalat. Karena khusyuk merupakan rangkaian dalam keutamaan sholat, maka begitu banyak ayat dan hadits yang menerangkan hal tersebut.[1]  Sholat merupakan penentu amal shaleh yang lainnya. Jika seorang muslim dalam kehidupan kesehariannya melakukan sholat, akan tetapi dalam perbuatannya tidak mencerminkan prilaku sesuai dengan konsep Islam, maka bisa dipastikan seseorang tersebut tidak melakukan sholat dengan khusyuk.
Oleh karenanya kekhusyukan sholat dapat perhatian tinggi dari Allah SWT dan Rasullah SAW. Sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam surat Al-Mukminun ayat 1-2 dan al-Baqarah ayat 45.

ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ 
Artinya:          
1.      Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2.      2. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya.


(#qãZŠÏètFó$#ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûüÏèϱ»sƒø:$# ÇÍÎÈ  
Artinya:
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (QS.Al-Baqarah. 45)

Sehubungan dengan tugas materi “Hadits Ibadah”, dalam makalah ini penulis akan menguraikan beberpa hadits yang berhubungan dengan kekhusyukan dalam melakukan.
II. Hadits Sholat Khusyuk
  1. Khusuk Jasmani

عن أبني مسعود البدرى قال رٍٍٍٍسول الله صلى الله عليه وأله وسلم: لا تجزئ صلاة الرجل حتى يقيم ظهره في الركوع والسجود (روه احمد وأبو دود)
Artinya:
Abi Mas'ud Al-Badri berkata, bahwa Rasulul­lah saw telah bersabda: "Tidak sempurna shalat seseorang sehingga dia meluruskan tulang punggungnya ketika ruku' dan sujud." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

عن أبي قتادة رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم أسوأ الناس سرقة الذي يسرق من الصلاته قالوا, يا رسول الله كيف سرق من الصلاة ؟ قال لايتم ركوعها والسجودها او قال لا يقيم في الركوع والسجود. (رواه أحمد والحاكم)
Artinya:          
Sahabat Abi Qatadah ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: "Sejelek-jelek manusia adalah orang yang mencuri di dalam shalat." Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimana dia mencuri di dalam shalat?" Jawab Rasulullah: " Yakni tidak melaksanakan ruku' dan sujud secara sempurna." Atau Ra­sulullah bersabda: "Tidak meluruskan tulang punggungnya ketika ruku' dan sujud." (HR. Ahmad dan Hakim).[2]

عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال رسول الله  صلى الله عليه وأله وسلم لايزال الله مقبيل على العبد في الصلاته ما لم يلتفت فاءذا صرف وجهه انصرف عنه (رواه أبو داودوالنسائ)
Artinya:
Abi Dzar ra berkata, bahwa Rasulullah saw te­lah bersabda: "Sesungguhnya Allah selalu bertatapan wajah (sangat ridha) kepada seseorang yang sedang melaksanakan sha­lat selagi dia tidak berpaling ke kanan dan ke kiri. Apabila dia berpaling (menoleh) ke kanan dan ke kiri, maka Allah pun memalingkan pandangan darinya." (HR. Abu Dawud dan Nasai).
عن أبي عبد الله الاشعرى أن رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم رأى رجلا لايتم ركوعه وينقر في سجوده وهو يصلي فقال رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم لو مات هذا على حالته هذه مات على غير ملة محمد صلى الله عليه وأله وسلم ثم قال صلى الله عليه وأله وسلم مثل الذي لايتم ركوعه وينقر في سجوده مثل الجائع يأكل الثمرة والثمرتين لا يغنيان عنه شيئا (رواه طبراني)
Artinya:
Abi Abdillah Al-Asy'ari berkata, bahwa Rasulullah saw pernah melihat seorang lelaki yang tidak menyempurnakan ruku' serta sangat cepat dalam melaksanakan sujud ketika shalat. Lalu beliau bersabda: "Apabila lelaki ini mati ketika sedang melakukan ruku' dan sujudnya, maka dia mati dalam keadaan murtad dari agama Muhamad." Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: "Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku dikala shalat dan terlalu cepat dalam melaksanakan sujud, ibarat orang yang sangat lapar yang hanya memakan sebuah atau dua buah korma, yang tidak mungkin bisa mengenyangkan perutnya." (HR. Thabrani).
عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله  عليه وأله وسلم قال الله عز وجل انما اتقبل الصلاة ممن تواضع بها لعظمتي ولم يستطل على خلق ولم يبت مصرا على معصيتي وقطع النهار في ذكري ورحم المسكين وابن سبيل والارملة  ورحم كل المصاب ذالك نوره كنور الشمس أكلؤه بعزتي واستحفظه ملائكتي اجعل له في الظلمة نورا في الجهالة حلما ومثله في خلق كمثل الفردوس في الجنة (رواه البزار)
Artinya:
Sahabat Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah saw telah bersabda: Allah swt telah berfirman: "Aku hanya akan menerima ibadah shalat orang yang tawadhu' karena keagungan-Ku, tidak  memanjangkan shalat hanya karena makhluk-Ku, ti­dak berterus-menerus  melakukan maksiat kepada-Ku. serta menghabiskan waktu siang untuk berdzikir kepada-Ku.  Menyayangi fakir miskin, ibnu sabil dan janda-janda, serta mengasih sayangi orang-orang  yang terkena musibah. Demikianlah cahaya orang itu seperti cahaya matahari, yang Aku penuhi dengan  kemuliaan-Ku dan yang mendapat penjagaan dari para malaikat-Ku, sehingga Aku jadikan pancaran  sinar dalam dirinya di tengah kegelapan dan Aku jadikan. pula kecerdasan di tengah kebodohan Perumpamaan orang itu di tengah-tengah makhluk-Ku adalah ibarat "sorga Firdaus di tengah-tengah sorga yang lain." (HR. Bazar).


Dari pernyataan hadits di atas mengindikasikan tentang khusyuk jasmani atau lahiriah. Diantara ciri-ciri khusyuk lahiriah adalah: tidak berpaling ke kanan dan ke kiri, tidak mengangkat pandangan dari tempat sujud, tetap mengarahkan pikiran kepada shalat, tidak menggerakkan anggota badan kecuali ada dhorurat syar’i, dan memahami semua arti dan maksud ucapan dan gerak dalam sholat dari takbirotul ikhram sampai salam. [3]
Rosulullah mengecam keras orang sholat tetapi tidak khusyuk. Karena hal tersebut sama dengan mempermainkan Allah. Karena hakikat orang sholat adalah munajat dan berdialog dengan Allah Sang Pencipta alam. Ketika sholat yang pada hakikatnya menghadap Sang Kholik, ternyata seseorang itu tidak khusyuk  sama saja dengan orang berbicara kepada Raja tetapi tidak tau dengan apa yang dibicarakan.
Lebih-lebih ketika Sujud yang pada haikatnya adalah pokok dari peribadatan sholat, yaitu penyembahan murni kepada Allah. Ternyata orang tersebut tidak tau atau lupa dengan apa yang dilakukan itu sama saja dengan dia menyembah selain Allah. Oleh karena itu Nabi menyatakan bila orang tersebut mati dalam keadaan sujud, maka dia mati dalam keadaan murtad, karena pada hakikatnya tidak menyembah Allah akan tetapi menyembah pada yang ia ingat waktu sujud tersebut.
Adapun khusyuk jasmani adalah konsekwensi dari khusyuk ruhani. Jika seorang musholin dapat mengerjakan sholat dengan khusyuk secara ruhani, maka dengan sendirinya dia dapat melaksanakan khusyuk jasmani. tentu saja semua itu memerlukam ilmunya untuk bisa melakukan sholat dengan khusyuk secara ruhani.
Bersambung..........................


[1] Zainuddin S. Nainggolan, “Inilah Islam, Falsafah dan Hikmah Ke-Esaha Allah”, Kalam Mulia, Jakarta, 2007, hal. 227
[2] http//www.materitarbiyah.com.
[3] Zainuddin S. Nainggolan, “Inilah Islam, Falsafah..., hal. 288.