Cari Blog Ini

Minggu, 23 Oktober 2011

KEDUDUKAN PENCARI ILMU DALAM ISLAM



Oleh: Muhammad Saad

Betapa Islam sangat memperhatikan dan mengapresiasi orang-orang berilmu yang senantiasa mengamalkan ilmunya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki Disiplin keilmuan sangat tinggi. Banyak sekali anjuran dalam kitab suci al-Qur’an agar kita menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (iqra’), malakukan observasi (afalā yaraūna), eksploarasi (afalā yandzuruna), dan ekspedisi (sīrū fī l-rdhli), berpikir ilmiah rasional (li-qawmin ya’qilūn, yatafakkarūn).
Dorongan syar’i untuk belajar dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi pribadi pemeluknya, yang konsekwensinya dosa bila tidak dilaksanakan. Hal ini berimplikasi positif karena telah membentuk komunitas masyarakat berilmu yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan. Dalam artikel ini akan dibahas klasifikasi Orang berilmu dalam Islam dan bagaimana keutamaan  pencari ilmu dalam perspektif Islam. Sebagai dorongan kepada kita untuk menkosntruks bangunan-bangunan peradaban Islam  dengan disiplin ilmu yang telah lama runtuh dan diinjak-injak oleh peradaban Barat  sekular-liberal.

Klasifikasi Orang Berilmu

Islam adalah satu-satunya agama yang sangat memperhatikan pendidikan umatnya. Ilmu didalam Islam memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya sehingga Allah menjadikannya sebagai parameter utama dalam mengklasifikasikan manusia. Di dalam firman-firman-Nya, berulang-kali dipaparkan kualifikasi seseorang berdasarkan kompetensi ilmiah yang dimilikinya (QS. Ali Imran: 18).
شهد الله انه لا اله الا هو والملائكة وأولوا العلم قائما بالقسط لا اله الا هو العزيز الحكيم
“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
 Dalam ayat tersebut Allah SWT, kemudian para malaikat, dan orang-orang yang berilmu yang senantiasa menegakkan kebenaran dari ilmunya menyatakan tiada tuhan selain Allah. Ayat ini menunjukkan betapa manusia yang memiliki ilmu dan konsekwen dengan ilmunya diklasifikasikan dengan malaikat, sedangkan malaikat sebagaimana dipahami dalam kitabullah adalah makhluk suci dan mulia yang selalu menurut pada perintah Rabb-nya.
Persaksian (Syahidah) adalah gerbang pembatas antara yang mukmin dan tidak beriman. Dengan demikian, syarat mutlak menjadi mukmin yang baik adalah berilmu pengetahuan yang memadahi. Bahkan Nabi memberi gambaran perbandingan orang beriman yang tidak berilmu dengan yang memiliki adalah berbanding tujuh ratus derajat dan setiap diantara dua derajat jauhnya mencapai lima ratus tahun. Mafhum mukhalafahnya tidak mungkin seseorang menjadi seorang mukmin yang baik dengan sedikit  pengetahuan. Ayat ini juga memberi pemahaman bahwa konsep ilmu dalam Islam selalu bertalian erat dengan keimanan, artinya Ilmu dalam Islam syarat dengan nilai-nilai religi yang menjadi sumber epistemologinya. Tidak seperti Barat yang beranggapan bahwa ilmu adalah bebas nilai. Ujung-ujungnya ilmu adalah sekuler.

Janji Allah adalah Haq

Segudang ayat dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang perintah dan kemuliaan orang yang berilmu. Disamping sebuah kewajiban yang dibebankan bagi setiap individu (farīdhlotu alā kulli musilimīn), dalam sebuah ayat (QS. Al-Mujadālah: 11), Allah menjanjikan derajat kemuliaan di akhirat bagi orang yang memiliki kualitas iman dan kompentensi ilmiah yang memadai, tentunya derajat kemuliaan tersebut dapat diperoleh ketika mengapikasikan ilmu pada tataran praktis.
Orang-orang yang mencari ilmu dan mengamalkannya adalah sebaik-baiknya ciptaan (walladzīna yakhsyawna Allaha hum khoyrul bariyyah). Kata “yakhsyawna” disematkan kepada ulama’ (innama yakhsya Allaha min ‘Ibādihi l-ulamā’), sedangkan kata “ulama” merupakan jama’  predikat dari orang-orang yang berilmu dan beramal shaleh (dari kata Alim). Disamping itu juga, para civitas akademika muslim adalah para penerus tampu perjuangan para nabi (waratsatu l-ambiyā’), tiada derajat lebih tinggi daripada derajat pewaris para nabi.
Dalam segala aktivitas menkaji ilmu dengan niatan ikhlas adalah kebajikan. Mempelajari esainya adalah perbuatan baik, menuntut ilmunya adalah ibadah, mengingat ilmu yang didapatkanya adalah bertasbih, membahas materinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah (diriwayatkan Mu’adz bin Jabbal). betapa semua kegiatan akivitas berilmu kebajikan penuh dengan limpahan pahala. Dan masih banyak keutamaan-keutamaan orang yang memiliki ilmu yang tertera dalam kitab suci dan hadits Nabi saw.  
Dengan ilmu, seseorang dapat meraih kebahagiaan dunia, dengan ilmu seseorang   memperoleh kebahagiaan abadi di Akhirat, serta dengan ilmu seseorang mampu memperoleh kedua-duanya. Bahkan dengan ilmu pula keistimewaan dan keunggulan Akhirat dapat dihayati dan dipilih  seseorang  ketimbang dunia (QS. Al-Qashash: 80). Artinya preoritas-preoritas konsep hidup yang bahagia dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang berilmu. Dengan ilmunya tersebut dapat menuntun dan mengarahkan seseorang untuk kehidupan yang layak dan bahagia dunia dan Akhirat. Wallahu A’lam bi shawwab

FENOMENA LEBARAN MASYARAKAT KOTA, SEBUAH PERGESERAN NILAI KEHIDUPAN


Oleh: Muhammad Saad

Saat lebaran kemarin saya mudik ke rumah mertua saya. Sebagimana biasanya, adat mudik merupakan rutinitas yang dilakukan masyarakat muslim Indonesia saat Labaran. Kebetulan acara mudik yang saya lakukan malah kebalikan orang-orang pada umumnya. Bila orang-orang memanfaatkan lebaran dengan mudik dari kota tempat mereka bekerja ke desa-desatempat tinggal mereka, saya malah mudik ke Kota tempat asal istri saya. Jadi istilah mudik buat saya mungkin kurang tepat buat saya.
Singkat cerita, ada fenomena yang sebenarnya aneh buat pribadi penulis, namun tanpa sadar telah menjadi kebiasaan, maka fenomena itu tidak asing. Fenomena apakah itu?.
Sebelum beberapa hari menjelang lebaran, hampir seluruh ummat muslim, baik di kota maupun di desa mempersiapkan kedatangan hari kemenangan tersebut. Mulai dari renovasi ekterior dan interior rumah sampai permak habis dandanan dirinya. Hampir tidak ada satupun toko pakaian yang tidak dikunjungi orang, semuanya laris manis diserbu pembeli  bak kacang goreng suguhan hari raya.
Di kota (tempat istri) ada kebiasaan menyabut hari lebaran yang menurut penulis cukup ekstrim. Ketika persiapan hari besar umat Islam itu, ada satu kebiasaan bagi perempuan-perempuannya berlomba memakai perhiasan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah orang yang paling mulya dan paling dihormati saat itu adalah mereka yang memakai perhiasan yang paling banyak. Tidak perduli hal itu memakan budget yang besar dan tidak perduli pula perhiasan itu pantas atau tidak ketika dikenakan.
Maka pada saat itu bersaing membeli perhiasan sebanyak-banyaknya. Entah dari mana uang yang diperoleh, yang penting bisa memenuhi standar orang “mulya”. Bagi orang yang mampu tanpa susah payah merogoh kocek jutaan rupiah guna  membeli perhiasan sebanyak-banyaknya.  Bagi orang dengan ekonomi pas-pasan, mereka memutar otak bagaimana sekiranya dengan fulus yang pas-pasan mendapatkan perhiasan yang standar dengan si kaya. Maka si ekonomi menegah kebawah ini membeli emas dengan kualitas rendah, atau bahasa gaulnya emas muda. Dengan begitu, emas yang didapat akan berimbang jumlahnya dengan si kaya tanpa menguras hartanya.
 Beda lagi dengan si miskin, jangankan untuk membeli perhiasan untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka pontang-panting untuk memenuhinya. Akan tetapi mereka tetap ingin “fastabiqul khoirot” ala kehidupan kota, golongan ekonomi ke bawah ini mempunyai trik sendiri untuk bisa bersaing. Trik pertama, jika dirasa mereka memiliki harta semisal motor, televisi atau lainnya yang sekiranya bias dijual atau digadaikan, maka tanpa ragu-ragu mereka menjual atau mengadaikan harta tersebut guna mendapatkan perhiasan. kedua, namun bila tidak memiliki harta benda yang bisa dijual, maka mereka dengan sembunyi-sembunyi membeli perhiasan palsu dari kuningan yang mirip emas agar dianggap mampu membeli perhiasan.
Fenomena di atas  inilah yang sangat menggelitik pikiran penulis. Apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir masyarakat kota dan bagaimana dampak dari fenomena ini?.
Ternyata tanpa disadari mindset masyarakat modern ini telah bergeser dari polapikir yang spiritualistis menjadi materialistis. Agama yang merupakan salah satu pilar pokok yang menompang kehidupan keluarga, yang pada mulanya sebagai satu-satunya sistem yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lain yang ditawarkan (baca; dipaksakan) dari hasil produk globalisai. Ironsinya problem ini tidak lagi hanya mewabah pada level teori namun juga pada level praktis.
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya problem paling berat yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah penyakit “masyarakat modern”. Di era modern seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama melalui media ini.
Adalah budaya global yang didominasi oleh budaya Barat, kini telah menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat, dan yang lebih dahulu terkena dampak dari hegemoni globalisasi adalah masyarakat kota. Salah satu praduk dari globalisasi yang menjangkiti masyarakat kota adalah budaya materialistik. Sebagaimana diketahui bahwasannya pandangan materialistis adalah cara pandang yang mengedepankan kehidupan yang terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan duniawi sesaat, seingga aktifitas yang dijalankan hanya berkutat pada permasalahan dunia seperti lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan jasad, pemuasan gaya hidup dll.
Ketika budaya materialistis telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka manusia merubah mindset-nya yang semula agama dan tradisi kultur menjadi dasar pola-pikir, ke hal-hal yang bersifat duniawi. Kemulyaan bagi mereka hanya milik orang-orang yang memiliki harta benda, tingginnya derajat hanya bagi mereka yang memiliki kesempurnaan fisik semata, sedangkan meraih ilmu bukan untuk kearifan dan taqarrub kepada Sang pencipta, namun untuk meraih posisi dan harta.  Disinilah letak pangkal kerusakan kehidupan. Bagaimana tidak, hidup akan menjadi sebuah medan pertempuaran guna meraih kekuasaan dan kehormatan.
Seharusnya hari raya idul fitri adalah moment untuk menjadikan diri setiap insan muslim manusia yang fitri dari dosa-dosa baik yang berhubungan dengan Ilahi atau haqul adami. Selama sebulan diberikan keistimewaan melaksanakan perbaikan diri dengan bertaqarrub serta memohon ampunan kepada Allah SWT. Singkatnya Bulan ramadhan memberikan fasilitas kemudahan bagi personalitas muslim menjadi hamba yang dicintai oleh Rabb-nya.
Idul Fitri pada hakikatnya perintah sunnah merayakan ungkapan rasa syukur atas kemenangan jihad Akbar melawan hawa nafsu duniawi selama satu bulan. Seseorang tidak dikatakan kembali kepada fitrah bila selesai puasa Ramadhan mentalnya masih memandang duniawi sabagai tolok-ukur dan tujuan akhir dari kehidupan. Apa lagi yang terjadi adalah sampai pada tingkat perlombaan pamer yang kemudian berakibat pada saling merendahkan satu sama lain.
Ironisnya, akibat virus materialism, prilaku demikian di kota telah menjadi tradisi, yang kemudian tradisi tersebut telah merubah mindset masyarakatnya menjadi sebuah paradigma baru yang kemudian dilestarikan turun-temurun. Bila hal ini terjadi, maka paradigma yang berkembang tersebut berubah menjadi sebuah ideologi yang memiliki kebenaran.
Padahal, Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pertama, Islam tidak menghendaki ummatnya merayakan hari raya dengan simbolik, bermewah-mewahan, Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini. Hal ini dapat kita lihat dalam hadis Rasul yang artinya,
Bahwa hari raya ‘idul fitri bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba dan mewah tapi idul fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhannya semakin meningkat”.
Kedua, bermewah-mewahan dengan memamerkan harta dan benda adalah salah satu pernuatan dosa besar yang disebut dengan riya’. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa riya merupakan syirik kecil, walaupun dia syirik asghar, akan tetapi dosanya lebih besar dibandingkan pembunuhan dan perzinahan, karena dia merupakan kesyirikan, dan kesyirikan dosanya lebih besar dibandingkan dosa-dosa besar selain syirik. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Sa’ad bin Abu Fudhalah Al-Anshari salah seorang sahabat Nabi -alaihishshalatu wassalam-, beliau  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ, نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ
“Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir pada hari kiamat-yang tidak ada keraguan dalamnya-, maka akan ada seorang penyeru yang menyeru, “Barangsiapa berbuat syirik dalam suatu amalan yang dia kerjakan untuk Allah, hendaknya dia meminta balasan pahalanya kepada selain Allah tersebut. Karena sesungguhnya Allah Maha tidak membutuhkan sekutu.” (HR. At-Tirmizi no. 3079, Ibnu Majah no. 4193, dan Ahmad no. 17215, serta dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 482).
Ketiga, yang lebih berbahaya ialah keyakinan atas kebenaran tradisi tersebut berubah menjadi paradigma yang kemudian membentuk sebuah ideologi. Sudah fitrah manusia cenderung membela ideologinya karena dianggap memiliki kebenaran. Padahal dalam kacamata Islam, prilaku bermewah-mewahan dalam lebaran adalah sebuah kesalahan. Adalah sebuah kesalahan fatal bila melakukan perbuatan salah yang dianggap benar. Dalam pandangan Islam hal ini bisa berakibat terjerumus dalam dosa kekafiran karena menganggap perbuatan dosa sebagai kebenaran.
Tradisi lebaran di kota itulah yang kini menjadi salah satu dari sekian fenomena pergeseran nilai-nilai dari masyarakat kota. Dampak dari dari pergeseran nilai tersebut telah masuk kedalam dimensi keimanan. Hal ini sangat berakibat fatal karena bisa menjebak manusia dalam perbuatan dosa bahkan tidak menutup kemungkinan terjerembab pada kekafiran. Wallahu A’lam bi showwab