Oleh: Muhammad Saad
Dalam setiap kesempatan dakwahnya, Abuya Ahmad Ilham Masduqie
selalu berwasiat kepada kaum muslimin, lebih-lebih kepada para santrinya untuk
senantiasa melakukan dan menjaga dua hal yang menurut beliau adalah sebagai
landasan dasar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dua point
tersebut menurut hemat penulis lebih merupakan falsafah hidup Islami yang wajib
dilaksanakan oleh setiap individu muslim guna cita-cita yang didambakan oleh
setiap insan muslim. Sebagimana yang beliau sampaikan di depan para Alumni
dalam pertemuan Santri Alumni pesantren yang beliau bina PP Aqdaam al-Ulamaa’
pada tanggal 13-11-2011.
Tulisan ini akan mengulas sedikit tentang dua point pemikiran
Abuya, yang menjadi podasi azas dalam berkehidupan guna meraih kebahagiaan
dunia dan Akhirat secara syar’i.
Makna
Bahagia
Kebahagiaan seorang muslim bukan diukur dari kekayaan melimpah yang
mereka miliki atau kesuksesan dalam membina rumah tangga. Kebahagiaan
dunia merupakan cobaan dari Allah bagi anak manusia
QS. Ali 'Imran : 185, kebahagiaan
dunia bagi Allah adalah kesenangan yang amat sedikit QS.
Yunus: 98, dan tidak pernah memberi kepuasan pada pemiliknya
disebabkan keterbatasan dalam menikmati[1].
Kebahagiaan
menurut konsep Islam adalah sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa
bahagia merupakan buah dari Iman dan takwa. Kebahagaiaan dalam Islam merupakan
manifestasi dari bias kenikmatan Sorga di dunia yang didambakan kekal di
akhirat nanti.
QS. Ar-Ra'd [13] : ayat 29
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat
kembali yang baik.
QS. Az-Zumar [39] : ayat 73
Artinya: Dan
orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga
berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang
pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya:
"Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah
surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".
Dua Point Landasan Hidup
Dalam menggapai kebahagiaan hakiki
tersebut, menurut Abuya sapaan K.H Ahamad Ilham Masduqie pengasuh P.P. Aqdaam
al-Ulama’, terletak pada kuncinya dua point. Pertama, senantiasa berbuat
baik kepada orang tua atau birr al-walidain, Ini merupakan kunci utama
seorang hamba untuk mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana telah banyak
disinyalir dalam dua sumber ajaran, baik al-Qur’an maupun al-hadits tentang
bagaimana keutamaan jika seseorang birr al-walidain. Pun pula
sebaliknya, apa akibat yang akan ditanggung seseorang jika berani terhadap
orang tua.
Kewajiban birr al-walidain
adalah harga mati yang tidak bisa ditawar dalam Islam. Kewajiban berbuat baik
kepada orang tua, memiliki urutan utama setelah seorang hamba berkwajiban
mentauhidkan Allah.
Allah SWT berfirman dalam QS.
Annisaa’: 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,
.
QS. Al-Israa:23
Artinya: Dan Tuhanmu
Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa betapa
pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam kedua surat baik surat Annisaa’
maupun dalam surat al-Israa’
perintah bertauhid selalu diiringi perintah berbuat baik kepada kedua orang
tua. Dalam koteks Islam, mentauhidkan Allah Robb al-Izzati adalah
kewajiban utama yang harus dilakukan setiap hambah-Nya. Tidak satu-pun ulama’
yang berpendapat toleransi terhadap permasalahan Tauhid. Konsekwensi dosa yang
ditangung bagi orang yang berbuat syirik adalah dosanya tidak bisa diampuni
bila tidak bertaubat.
Jika dosa syirik adalah dosa Akbar nomor
wahid, maka dosa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar nomor dua
setelah dosa syirik. Tidak menutup kemungkinan orang yang durhaka kepada
orang tua bisa menggiring si pelaku dosa kepada dosa besar yang lain dan
kemudian menjerembabkan dia pada perbuatan syirik atau murtad.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ?. Rosulullah
Saw bersabda bahwa ridhlo Allah adalah terletak pada ridhlo orang tua, sedangkan murka Allah terletak
pada murka orang tua. Jika seorang hambah berprilaku baik kepada orang tuanya,
maka niscaya Allah meridhloi semua amal perbuatannya. Oleh karenanya, setiap
yang ia lakukan selalu dituntun oleh Allah kepada hal-hal kebajikan yang
diridhloi Allah SWT yang kemudian menghantarkan hamba ini kepada kebahagiaan
sorgawi baik di dunia terlebih di Akhirat.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a.
bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim,
(kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah,
kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu
surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang
dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka
Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.”
Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu
‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”[2]
Pun pula sebaliknya, jika seseorang durhaka
kepada orang tua, maka ia akan menanggung akibat buruknya. Tidak
tanggung-tanggung, dosa durhaka kepada orang tua akan dibalas oleh Allah
langsung di dunia. Jika melihat banyaknya bencana yang diturunkan akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa banyak anak manusia yang berbuat durhaka kepada orang
tuanya. Mulai dari negri ini, setiap diberi pemimpin selalu pemimpin yang
dholim, bencana alam seperti gempa, kekeringan yang panjang di musing kemarau,
banjir yang tidak kunjung larut di musim penghujan sampai wabah penyakit yang
tidak kunjung berhenti. Belum lagi fitnah yang datang dari ranah Agama berupa
maraknya aliran sesat bak jamur yang
tumbuh dimusim hujan, adalah sebuah sinyal bahwa umat ini telah banyak yang
berbuat dosa durhaka kepada orang tua.
Bukan tanpa Alasan Allah SWT menurunkan adzab
dan fitnah kepada kita, jika kita tidak
berbuat dzholim durhaka kepad orang tua. Fenomena ini di atas telah disinyalir Rosul
Saw yang diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. beliau
bersabda:
Artinya: “Setiap dosa akan Allah
tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena)
durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan
hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”
Oleh karenanya, sedini mungkin kita
berintrospeksi diri dalam kehidupan sehari-hari atas prilaku kita terhadap
orang tua, baik orang tua yang masih hidup ataupun yang sudah meinggal. Apakah
kita selama ini sudah berbakti kepada mereka berdua, atau justru selalu membuat
batinnya sakit dan menderita menjadikan Allah murka. Karena Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba,
itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan
durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah
itu sampai kedua orang tuanya ridha.
Dengan berbakti kepada orang tua,
akan memberikan manfaat besar bagi
kehidupan kita. Allah akan Senantiasa menaungi kita dengan ridhlo-Nya. Dengan
demikian kebahagiaan akan datang selaras dengan ridhlo Allah. Ini-lah anugerah
yang sangat agung yang didamba oleh setiap hamba yang mengharapkan kebahagiaan
haikiki.
Adapun point kedua adalah
urgent-nya menegakkan sholat sesuai dengan syar’i yang ada.
Maksud dari menegakkan sholat sesuai syar’i ialah menjalankan ibadah
sholat sesuai syarat dan rukunya, serta memperhatikan kekhusyu’an baik
lahiriyah terlebih-lebih bathiniyah[3].
Untuk menghasilkan khusyu’, pertama, hendaklah seorang mushollin ketika
sholat menganggap dirinya sedang menghadap Allah Yang Maha mengetahui segala rahasia dan Maha
Kuasa. Dengan Dzat yang Maha berkuasalah orang yang shalat bermunajah secara
rahasia.
Kedua, mengetahui makna yang sedang dibaca, karena
maknalah yang dimaksudkan, bukan semata-mata membaca lafadz. Mengetahui makna
tentunya tidak cukup menjadikan seseorang bisa melaksanakan sholat dengan
khusyu’, maka, Ketiga, menghadirkan hati dalam memahami arti setiap
bacaan.[4]Artinya
setiap bacaan baik yang wajib dan yang
sunnah dipahami dengan sungguh-sungguh apa hakikat makna bacaan tersebut.
Terlebih-lebih ketika membaca surat al-fatihah yang menjadi rukun qouli
yang wajib dibaca.
Menurut Abuya, dari sekian rukun yang wajib
dibaca hanya al-fatihah yang paling banyak dibaca. Ambillah contoh; bacaan
takbir yang diwajibkan hanya satu kali pada waktu takbirotul ihram. Tasyahud,
shalawat dan salam hanya satu kali yang diwajibkan pada tahiyyat
akhir. Namun bacaan al-Fatihah wajib dibaca pada setiap raka’at.
Hal ini mengindikasikan ada sesuatu yang paling urgent dengan diwajibkan
membaca al-Fatihah pada setiap raka’at. Bila dihitung sesuai dengan
raka’at sholat wajib, maka jumlah surat al-Fatihah yang wajib dibaca ada 17
bacaan.
Al-fatihah adalah induk dari al-Qur’an, semua kandungan
al-Qur’an tertera pada setiap kalimat yang ada. Diawali dengan disunnahkan
membaca ta’awudz, memberi pemahan bahwa setiap gerak langkah kita selalu
mohon perlindungan kepada Sang khaliq dari godaan dan perbuatan syaithoniyah.
Kita hanya hambah lemah yang selalu membutuhkan perlindungan dari kejahatan
musuh-musuh kita yang selalu menginginkan kita terjerembab ke dalam kesesatan.
Singkatnya, surat al-Fatihah, mulai dari ayat
pertama “Basmalah” hingga ayat ke empat “maaliki yaumi al-ddin”
adalah pujian kepada Sang Khalik atas anugrah Kasih-sayang-Nya serta kekuasaan
yang dimiliki-Nya. Barulah ketika menginjak pada ayat ke lima, “Iyyaka na’budu
wa iyyaka nastain”, adalah
kemurnian dan kesempurnaan cinta, taat, takut dan tunduk kepada Allah Robb
sekalian alam. Serta tiada tempat meminta pertolongan, kecuali hanya
kepada-Nya.
Permintaan
pertolongan yang utama ialah terusan ayat selanjutnya. Ihdinash
shiratal mustaqim, yang artinya “tunjukkan-lah kami jalan yang lurus”. Ini-lah sesungguhnya penekanan dalam
setiap permintaan kita kepada Allah. Hidayah atau petunjuk adalah hal yang
paling urgent bagi hidup kaum muslim. Saking urgent-nya sehingga Allah
mewajibkan al-Fatihah sebagai rukun dalam setiap raka’at sholat.
Adapun yang dimaksud dengan “Shiratal
mustaqim” atau
jalan yang lurus ialah, sebagaimana penjelasan ayat selanjutnya, “shiratalladzina
an’amta ‘alaihim”. Artinya “jalan orang-orang yang Kau beri nikmat kepada mereka”. Siapa
yang dimaksud “mereka”, ialah para Nabi, para sahabat, syuhada’, dan orang-rang
yang senantiasa berama shaleh. Bukan jalan oarng yang dimurkai pun pula bukan
jalan orang-orang tersesat “ghoiril-maghdhluubi ‘Alaihim walaadhlolliin”.
Dengan senantiasa sungguh-sungguh memohon akan
perlindungan, serta meminta hidayah dalam setiap roka’at sholat dapat
dipastikan Allah akan menerima do’a hamba tersebut QS, al-Baqarah:186. Sehingga
dalam setiap kehidupan seseorang hambah yang senantiasa mendapat perlindungan
dan limpahan karuniah rahmat dan hidayah akan merasakan ketenagan, ketentraman
serta kebaghagiaan yang hakiki di dunia hingga nanti pada batasnya. Dan
kemudian berlanjut di akhirat dengan menerima imbalan sorga atas apa yang
diperbuat di dunia.
Penutup
Islam memiliki segudang solusi untuk menyelesaikan masalah
baik dunia maupun akhirat. Menurut Abuya Ahmad Ilham Masduqie bahwa kunci utama
untuk meraih kebahagiaan dunia dan Akhirat terletak pada dua point. Berbakti
kepada kedua orang tua dan penekanan kekhusyu’an dalam sholat terlebih pada bacaan al-Fatihah, adalah dua faktor penting
yang dimaksud, yang harus dilakukan oleh setiap individu muslim guna meraih
keselamatan dan kebahagiaan hakiki baik di dunia terlebih di akhirat. Wallahu ‘A’lam
Bi shawwab
[1] Masduqie,
Abuya Ahmad Ilham, Buletin “Memelihara Iman Vol 1”, (Pandaan, )
[2] Muhammad Bugi,
Durhaka Kepada Orang Tua, http://www.dakwatuna.com/2007/10/293/durhaka-kepada-orang-tua/#ixzz1dfpodomv
[3] ZS.
Nainggolan, Inilah Islam, Filsafat dan Keesaan Allah (Jakarta: Kalam
Mulia, 2007), hlm, 229.
[4] Ibid, 231-232.