Cari Blog Ini

Selasa, 20 Desember 2011

KORUPTOR ILMU DAN RUNTUHNYA PERADABAN ISLAM


Oleh: Muhammad Saad

Rosulullah menyatakan bahwa Islam akan terpuruk (dalam peradaban) dikarenakan tiga faktor; Ulama’ yang jahat (Faqiihun faajir), penguasa yang lalim  (Imamun jaair), dan hamba ynag bersungguh-sungguh dalam beribadah tetapi tanpa pengetahuan (mujtahidun jahil)[1]. Dari tiga faktorkemunduran Islam dalam kancah peradaban tersebut, faktor yang paling dominan dalam bertanggung jawab atas ambruknya peradaban Islam adalah element yang pertama; “faqiihun faajir”. Karena unsur pertama berkaitan dengan ilmu, sedangkan dalam Islam, ilmu merupakan fondasi utama yang menyangga terbentuknya peradaban Islam[2].
Melihat batapa dominannya peran para koruptor ilmu dalam terhadap keterpurukan peradaban Islam, oleh karenanya, dalam artikel ini, penulis memaparkan uraian ilmu sebagai azas peradaban Islam dan peranan para koruptor ilmu dalam kehancuran peradaban Islam.
Ilmu Sebagai Azas Peradaban
Logikanya bahwa ilmu merupakan azas bagi peradaban dalam Islam sebagaimana dijelaskan Dr. Hamid fahmi zarkasyi dalam kertas kerjanya. Beliau menyatakan bahwa Islam dengan dua sumber otoritasnya, Al-Qur’an dan sunnah memberikan kekuatan pendorong bagi bangkitnya ilmu dan peradaban Islam. Al-qur’an dengan konsep tentang Tuhan dan keimanan merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Al-qur’an juga menawarkan konsep seminal fundamental tentang struktur ilmu[3].
Yang perlu diperhatikan, Konsep ilmu dalam Islam tidak mengenal dikhotomi, Islam menyajikan ilmu secara integral. Yang ada dalam Islam adalah hirarki keilmuan berdasarkan kreteria tingkat keluhuran dan kemulyaan seperti fardhlu ‘ain dan fardhlu kifayah[4]. Antara ilmu agama dengan ilmu sains, keduanya bersumber pada al-Qur’an. Syaid Muhammad Naquib menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan “jamuan makan” dari Sang Pencipta berupa ilmu yang mulya.[5]  Justru bila ilmu disepesialisasi sempitkan akan membutakan bidang ilmu lain dan melahirkan manusia biadab baru.[6]
Di lain pihak kemurnian, keteguhan memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan sunnah telah menumbuhkan bibit-bibit unggul yang “siap tempur” baik mental maupun moral yang kemudian membentuk masyarakat madani dengan peradaban yang jaya. Al-Qur’an dan Sunnah juga menuntut ummatnya untuk berkewajiban belajar, dorongan syar’i untuk belajar inilah berimplikasi positif karena telah membentuk komunitas masyarakat berilmu yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan[7] 
Kejahatan Para Koruptor Ilmu
Jika Islam menjadi pusat peradaban dikarenakan para generasinya yang cakap dalam mengintegrasikan iman, ilmu dan amal, maka keterpurukan peradaban Islam disebabkan para intelektualnya yang keluar dari koridor Syari’at yang ada[8]. Mereka oleh Nabi SAW diberi julukan sebagai “faaqihun Fajir” atau menurut istilah al-Attas sebagai intelektual yang korup terhadap ilmu “Corruption of knowledge”.
Istilah korup terhadap ilmu (Corruption of knowledge) adalah istilah yang diberikan oleh Syaid M.N. Al-Attas[9]  kepada; pertama,  mereka yang disebut dengan yang pertama adalah apara ilmuwan umum yang awam terhadap ilmu agama, mereka menganggap Agama hanya kewajiban bagi sarjana perguruan tinggi Islam saja. Sehingga mereka tidak memahami bagaimana beraqidah dan beribadah secara benar. Yang pertama ini adalah kejahatan tergolong dalam kelas ringan.
Adapun yang kedua adalah kejahatan kelas berat dan parah, mereka adalah orang-orang diberi titel Ulama’, Kyai, cendikiawan dan para sarjana intelektual muslim yang ahli dalam masalah agama (Faqih fi ad-dien) namun suka memutar balikkan fakta kebenaran ajaran. Ajaran Agama yang prinsip dan qoth’i dikatakan relative, sedangkan yang hanya hasil asumsi rasio semata dijadikan akidah.[10] Missal; mereka berstateman bahwa semua agama sama membawa misi kebaikan dan kebenaran, Agama yang haqq tidak hanya monopoli Islam saja, hukum Syar’iat tidak wajib dilaksanakan karena hasil ijtihad manusia untuk sebagai contoh.
Sedangkan di sisih lain, demokrasi mereka wajibkan untuk dijadikan ideologi negara, sekularisasi mereka wajibkan sebagai proses alami pendewasaan manusia menuju masryarakat yang modern dan alih-alih untuk hidup berdampingan dengan agama lain agar tercipta kerukunan dan kedamaian, maka pluralisme wajib dilaksanakan. Tidak berhenti di situ saja, mereka-pun mencari-cari dalil agama untuk dijadikan justifikasinya. Padahal ketiga hal ini merupakan asaumsi rasio manusiayang penuh cacat, dan seharusnya diletakkan pada posisi relative, bukan malah dimutlakkan (baca; dipaksakkan). Inilah yang dimaksud sebagai Faqiihun fajir dengan Corription of knowledge-nya. Mareka mewajibkan konsep demokrasi, sekularisasi dan pluralisme bukan secara verbal menggunakan bahasa “wajib”, namun lebih dengan propaganda dalam setiap aktivitas.
Seharusnya seoarang  dengan basis ilmu pendidikan Agama dapat menghantarkan dia menjadi insan yang baik dalam artian penekanan pada nilai spiritual melalui pengetahuan akal, nilai dan spirit yang berimplikasi pada kwalitas adab menyeluruh yang meliputi kehidupan spiritual dan material,[11] karena menurut al-Attas tujuan dari pendidikan Islam ialah melahirkan manusia yang baik, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam konsep Ta’dib tentang pendidikan Islam. Bukan malah menjadi manusia yang bermental hipokrit, yaitu  mereka belajar ilmu Agama tapi meragukan kebenaranya, mereka suka memutar balikkan fakta kebenaran yang ada dan lain di mulut beda di dalam dada.
Seharusnya sebagai ulama, mereka mengayomi umat dengan memberikan fatwa hukum yang jelas dan sesuai dengan sumber otoritas al-Qur’an ataupun hadits yang bisa memberi ketegasan dalam berhukum sehingga beimplikasi ketenangan dalam batin umat. Bukan malah membuat sensasi dengan mengobok-obok ajaran yang qoth’i, yang pada akhirnya membingungkan nalar dan meragukan keyakinan umat. Disinilah letak kejahatan ulama’ suu’, dengan mengatas-namakan Agama, mereka malah men-dekonstruksi ajaran yang pokok. Dengan alih-alih pintu ijtihad masih terbuka, mereka liberalisasikan semua ajaran  Islam yang ada.
Karena prilaku jahat yang dimiliki para intelektual di atas, maka Allah kemudian menurunkan adzab dengan mencabaut ruh ilmu[12], sehingga yang ada adalah ilmu mati tanpa memiliki peranan semestinya. Jika demikian, maka peradaban Islam yang dibangun dengan pondasi ilmu telah runtuh dengan sendirinya hal disebabkan pondasinya telah keropos tanpa kekuatan.
Terlepas dari motif kekeliruan dalam memahami ilmu (fa syaikhuhu syaithan), atau karena tidak kuat dengan godaan dunia (wa yasytaruna bihi tsamanan qalila), sesungguhnya para koruptor ilmu-lah yang bertanggung jawab atas kehancuran Islam dalam kancah peradaban.
Di akhir tulisan, penulis teringat pesan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam acara musyawarah INSIST pada tanggal 17 Desember 2011 di Trawas, bahwa tugas para intelektual muslim adalah mengembalikan pradaban Islam yang mulya ini dengan melakukan dakwah tradisi ilmu, artinya dakwah yang paling efektif pada saat sekarang ini ialah dakwah dalam bidang pendidikan dengan mentradisikan ilmu sebagai salah satu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, tentunya hal ini disinergikan dengan iman dan amalan. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.



[1]  Lihat sinyelemen Baginda Nabi dalam sebuah hadits yang berbunyi:  
                    (افة الدين ثلاثة: فقيه فاجر وامام جائر ومجتهد جاهل (رواه ابن ابي شيبة
[2]Zarkasy, Hamid Fahmi, Artikel “Pandangan hidup Azas Peradaban”, hal. 3.
[3] Ibid.
[4] Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas Tentang Ta’dib: (Gagasan Pendidikan yang Tepat dan Komperhensif dalam Islam)”, hal. 05.
[5] Ibid. 03.
[6] Husaini, Adian, “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter danBeradab”, (Bogor: Komunitas Nuun, 2011), hal. 97.
[7] Arif, Syamsuddin, Sains di Dunia Islam (Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran), (Jakarta: GIP, 2008), hal. 236.
[8] Ibid
[9] Husaini, Adian, “Pendidikan Islam…, hal. 108.
[10] Thalib, Muhammad, “Melacak Kekafiran Berfikir”, (Jogjakarta: Uswah, 2007), hal. 75.
[11] Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas …, hal. 1-2.
[12] Hadits Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash, aku pernah mendengar Rosulullah SAW bersabda:  Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi Allah akan mengambil ilmu dari ulma’, sehingga ketika Allah tidak meninggal-kan seorang ulama’pun, manusia akan mengangkat  pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa tanpa didasarkan didasarkan ilmu, lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (Sahih Bukhari-Muslim), 4828. http://www.islam2u.net/index.php?option=com

Jumat, 16 Desember 2011

Sabtu, 03 Desember 2011

Relevansi Syaiat Islam




Oleh: M. Saad

1. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang Universal, mengatur dan menyelesaikan seluruh permasalahan ummatnya. Baik berhubungan dengan Sang khalik, maupun dengan sesama hambanya. Baik dengan sesama muslimnya, maupun dengan ghairul islam. Syariat Islam juga mengatur setiap sendi-sendi kehidupan pribadi manusia. Intinya Islam merupakan jalan hidup bagi penganutnya. Dan hal tersebut sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Islam.
Baru pada abad 20 ini, terdengar suara-suara sumbang keluar dari tokoh-tokoh yang notabenenya adalah Islam, mengatakan hukum Islam sudah tidak relevan, bahkan sampai menafikan keberadaan syari’at Islam dengan memberi stereotip dari zaman Rosul SAW. Mereka mengatakan bahwa seorang figur Rosul tidak bisa diambil suri tauladanya, karena hanya beliaulah yang bisa meleksanakan dua peran tersebut, sebab beliau seorang Nabi sekaligus pemimpin Negara, artinya beliau seorang pembawa pesan-pesan tracedent sekaligus pemimpin dunia yang sekular. Setelah kewafatan Nabi, tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan beliau. Ada lagi yang mengatakan bahwasanya hukum-hukum positif yang dipakai dalam Islam pada zaman Rosulullah SAW adalah pengadopsian dari hukum-hukum Negara yang pernah berinteraksi dengan Islam. Seperti zakat, potong tangan, kasus rajam, potong badan secara silang, pembakaran manusia (dalam kasus sodomi), dan denda (diyat, yang diambil dari kodifikasi Nabatean dan Romawi), sholat warisan Nabi Dawud (dalam tradisi Judaic), yang dimodifikasi, dan dalam system ekonomi juga milik Romawi.

2. Syariat (ditinjau dari aspek iman)
Pada dasarnya syari’at Islam adalah suatu kewajiban bagi pengikutnya. hal itu banyak dilihat di dalam al-Qur’an. Pembangkangan atau keengganan kaum muslimin untuk melaksanakan syariat Islam adalah suatu yang aneh, alias tidak normal, ditinjau dari aspek teologis. Sebab begitu banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengaitkan langsung dengan soal Syari’at Islam dengan aspek keimanan . Sebutlah contoh , al-Qur’an surat al-Taubah ayat 31.

Artinya: “Mereka (kaum Yahudi-Nasrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Dalam tafsir Ibnu kastir membawakan hadist riwayat Imam Ahmad. Imam Turmudzi dan Ibnu Jarir dalam kitabnya “Tafsir al Qur’an al-Adzim”. Diriwayatkan dari sahabat ‘Adi bin Hatim ra. Bahwa dahulu kala ketika sampai kepadanya berita tentang dakwah Rasulullah SAW (tentang ajakan masuk Islam), maka ‘Adi yang pada waktu itu masih beragama Nashrani melarikan diri ke Syiria. Pada suatu peperangan, saudara perempuan ‘Adi dan sekelompok dari kaumnya tertawan kaum Muslimin. Kemudian oleh Rosulullah SAW memberikan anugrah pembebasan kepada saudara perempuan ‘Adi tersebut, dan dia pun pulang kerumah ‘Adi . Sesampainya di rumah ‘Adi (di Syiria) ia banyak menceritakan hal-hal yang menyenangkan tentang Islam, dan ia meminta kepada ‘Adi agar mau menghadap Rosulullah SAW. Maka ‘Adi pun berangkat menuju Madinah. Kedatangan ‘Adi di Madinah menjadi perbincangan dikalangan masyarakat Madinah. Sesampainya di Madinah, ‘Adi bertamu kepada Rosulullah SAW dengan mengenakan kalung salib dari perak, saat itu juga Rosulullah SAW membaca ayat: “Mereka (kaum Yahudi-Nasrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (QS, al-Taubah: 31). ‘Adi berkata: sungguh mereka tidak menyembah pendeta mereka”. Rosulullah SAW menjawab: “Ya, (akan tetapi) para pendeta itu telah mengharamkan atas kaumnya apa yang dihalalkan Allah SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT, lalu kaumnya mengikuti ketetapan-ketetapan para pendeta tersebut. Yang demikian itulah merupakan penyembahan terhadap rahib/pendeta”. Singkat cerita, ‘Adi pada akhirnya mengikuti ajakan Nabi SAW masuk Islam.
Penafsiran ayat di atas memberikan suatu pemahaman kepada umat manusia, bahwa mengikuti hukum undang-undang yang dibuat dan ditetapkan oleh manusia tanpa mengacu pada sumber otoritas dari Allah dan Rosul-Nya, bahkan bertentangan dengan kedua sumber tersebut, secara tersirat adalah sama halnya memposisikan dan memproklamirkan si pembuat undang-undang sebagai Tuhan dengan tindakanya mengambil alih “Hak otoritatif Allah SWT” dalam menetapkan hukum atau undang-undang untuk ummat manusia.

Masih banyak ayat-ayat yang menguatkan ayat di atas, salah satunya ialah QS al-Nisaa’: 65:
Artinya; “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Ibnu Katsir berhujjah: Allah SWT bersumpah dengan menyebut DzatNya Yang Maha Suci dalam ayatNya ini, bahwa sesungguhnya seseorang dinyatakan tidak beriman sehingga mendambakan hukum dari Rosulullah SAW dalam segala urusanya. Hukum yang sudah ditetapkan oleh Rosulullah SAW adalah kebenaran yang mutlak yang wajib diikuti dengan ketulusan sepenuhnya. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz. 01, hlm. 520).
Masih menurut Ibnu Katsir, surat an-Nisaa’ ayat 65 diturunkan Allah berkenaan dengan peristiwa pertengkaran dua laki-laki di maa Nabi SAW.. Dikabarkan, keduanya menemui Nabi SAW., lalu beliau memutuskan tidak bersalah atas pihak yang benar. Pihak yang diputus bersalah oleh Nabi menyatakan menolak keputusan tersebut. Ia lalu mengajak menemui sahabat Abu Bakar ashSiddiq. Sahabat utama Nabi pun mengatkan agar mereka menerima keputusan Nabi SAW..Akan tetapi, pihak yang diputus bersalah, tetap tidak mau terima, dan mengajak untuk menemui Umar ibn al-Khathtab. Setelah mendengarkan penjelasan mereka, Umar r.a masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan membawa pedang, lalu orang yang tidak mau menerima keputusan Rosulullah SAW tersebut ditebas lehernya. Kemudian turunlah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat. 65. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz. 02. hlm. 331-332) .

3. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya syaria’at Islam merupakan keharusan bagi semua ummat Islam. Tidak ada pengecualian dalam permberlakuan syara’ ini, apalagi penegasian, sebagaimana yang dilontarkan JIL dan kawan-kawan. Adapun mereka yang menyatakan bahwa Syari’at Islam tidak relevan, dengan berbagai argument. Seperti “negera Indonesia bukan Negara berazas Islam”, “hukum dalam Islam adalah adopsi dari hukum lain”, atau “atas nama HAM”. Semua itu adalah pesanan dari kelompok yang selama ini tidak suka, dan cenderung memusuhi Islam. Hal ini bukan sekedar asaumsi buta penulis, akan tetapi bedasarkan datadan fakta yang ada.
Banyak sekali buku-buku yang memuat data valid serta bertanggung jawab, yang menjelaskan tentang kebencian ghoiru al-Islam terhadap Islam. Seperti buku “Wajah Peradaban Islam”, karya Dr. Adian Husaini, “Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran”. Karya Dr. Syamsuddi Arief, atau ‘’Imperialisme Baru’’. Karya Dr. Nuim HIdayat, serta masih banyak lainnya. Wallahu ‘a’lam bi shawwa