Oleh: Muhammad Saad
Rosulullah menyatakan bahwa Islam akan terpuruk (dalam peradaban)
dikarenakan tiga faktor; Ulama’ yang jahat (Faqiihun faajir), penguasa
yang lalim (Imamun jaair), dan
hamba ynag bersungguh-sungguh dalam beribadah tetapi tanpa pengetahuan (mujtahidun
jahil)[1]. Dari
tiga faktorkemunduran Islam dalam kancah peradaban tersebut, faktor yang paling
dominan dalam bertanggung jawab atas ambruknya peradaban Islam adalah element
yang pertama; “faqiihun faajir”. Karena unsur pertama berkaitan dengan
ilmu, sedangkan dalam Islam, ilmu merupakan fondasi utama yang menyangga
terbentuknya peradaban Islam[2].
Melihat batapa dominannya peran para koruptor ilmu dalam terhadap
keterpurukan peradaban Islam, oleh karenanya, dalam artikel ini, penulis
memaparkan uraian ilmu sebagai azas peradaban Islam dan peranan para koruptor
ilmu dalam kehancuran peradaban Islam.
Ilmu
Sebagai Azas Peradaban
Logikanya bahwa ilmu merupakan azas bagi peradaban dalam Islam
sebagaimana dijelaskan Dr. Hamid fahmi zarkasyi dalam kertas kerjanya. Beliau menyatakan
bahwa Islam dengan dua sumber otoritasnya, Al-Qur’an dan sunnah memberikan
kekuatan pendorong bagi bangkitnya ilmu dan peradaban Islam. Al-qur’an dengan
konsep tentang Tuhan dan keimanan merupakan elemen penting dalam struktur worldview
Islam. Al-qur’an juga menawarkan konsep seminal fundamental tentang struktur
ilmu[3].
Yang perlu diperhatikan, Konsep ilmu dalam Islam tidak mengenal
dikhotomi, Islam menyajikan ilmu secara integral. Yang ada dalam Islam adalah
hirarki keilmuan berdasarkan kreteria tingkat keluhuran dan kemulyaan seperti fardhlu
‘ain dan fardhlu kifayah[4].
Antara ilmu agama dengan ilmu sains, keduanya bersumber pada al-Qur’an. Syaid
Muhammad Naquib menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan “jamuan makan” dari Sang
Pencipta berupa ilmu yang mulya.[5] Justru bila ilmu disepesialisasi sempitkan
akan membutakan bidang ilmu lain dan melahirkan manusia biadab baru.[6]
Di lain pihak kemurnian, keteguhan memahami dan mengamalkan ajaran
Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan sunnah telah menumbuhkan bibit-bibit
unggul yang “siap tempur” baik mental maupun moral yang kemudian membentuk
masyarakat madani dengan peradaban yang jaya. Al-Qur’an dan Sunnah juga
menuntut ummatnya untuk berkewajiban belajar, dorongan syar’i untuk belajar
inilah berimplikasi positif karena telah membentuk komunitas masyarakat berilmu
yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta
sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan[7]
Kejahatan
Para Koruptor Ilmu
Jika Islam menjadi pusat peradaban dikarenakan para generasinya
yang cakap dalam mengintegrasikan iman, ilmu dan amal, maka keterpurukan
peradaban Islam disebabkan para intelektualnya yang keluar dari koridor
Syari’at yang ada[8].
Mereka oleh Nabi SAW diberi julukan sebagai “faaqihun Fajir” atau
menurut istilah al-Attas sebagai intelektual yang korup terhadap ilmu “Corruption
of knowledge”.
Istilah korup terhadap ilmu (Corruption of knowledge) adalah
istilah yang diberikan oleh Syaid M.N. Al-Attas[9] kepada; pertama, mereka yang disebut dengan yang pertama adalah
apara ilmuwan umum yang awam terhadap ilmu agama, mereka menganggap Agama hanya
kewajiban bagi sarjana perguruan tinggi Islam saja. Sehingga mereka tidak
memahami bagaimana beraqidah dan beribadah secara benar. Yang pertama ini adalah
kejahatan tergolong dalam kelas ringan.
Adapun yang kedua adalah kejahatan kelas berat dan parah,
mereka adalah orang-orang diberi titel Ulama’, Kyai, cendikiawan dan para sarjana
intelektual muslim yang ahli dalam masalah agama (Faqih fi ad-dien) namun
suka memutar balikkan fakta kebenaran ajaran. Ajaran Agama yang prinsip dan qoth’i
dikatakan relative, sedangkan yang hanya hasil asumsi rasio
semata dijadikan akidah.[10] Missal;
mereka berstateman bahwa semua agama sama membawa misi kebaikan dan
kebenaran, Agama yang haqq tidak hanya monopoli Islam saja, hukum
Syar’iat tidak wajib dilaksanakan karena hasil ijtihad manusia untuk
sebagai contoh.
Sedangkan di sisih lain, demokrasi mereka wajibkan untuk
dijadikan ideologi negara, sekularisasi mereka wajibkan sebagai proses alami
pendewasaan manusia menuju masryarakat yang modern dan alih-alih untuk hidup
berdampingan dengan agama lain agar tercipta kerukunan dan kedamaian, maka pluralisme
wajib dilaksanakan. Tidak berhenti di situ saja, mereka-pun mencari-cari dalil
agama untuk dijadikan justifikasinya. Padahal ketiga hal ini merupakan asaumsi
rasio manusiayang penuh cacat, dan seharusnya diletakkan pada posisi relative,
bukan malah dimutlakkan (baca; dipaksakkan). Inilah yang dimaksud sebagai Faqiihun
fajir dengan Corription of knowledge-nya. Mareka mewajibkan konsep demokrasi,
sekularisasi dan pluralisme bukan secara verbal menggunakan
bahasa “wajib”, namun lebih dengan propaganda dalam setiap aktivitas.
Seharusnya seoarang dengan
basis ilmu pendidikan Agama dapat menghantarkan dia menjadi insan yang baik
dalam artian penekanan pada nilai spiritual melalui pengetahuan akal,
nilai dan spirit yang berimplikasi pada kwalitas adab
menyeluruh yang meliputi kehidupan spiritual dan material,[11] karena
menurut al-Attas tujuan dari pendidikan Islam ialah melahirkan manusia yang
baik, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam konsep Ta’dib tentang
pendidikan Islam. Bukan malah menjadi manusia yang bermental hipokrit,
yaitu mereka belajar ilmu Agama tapi
meragukan kebenaranya, mereka suka memutar balikkan fakta kebenaran yang ada
dan lain di mulut beda di dalam dada.
Seharusnya sebagai ulama, mereka mengayomi umat dengan memberikan
fatwa hukum yang jelas dan sesuai dengan sumber otoritas al-Qur’an ataupun
hadits yang bisa memberi ketegasan dalam berhukum sehingga beimplikasi
ketenangan dalam batin umat. Bukan malah membuat sensasi dengan mengobok-obok
ajaran yang qoth’i, yang pada akhirnya membingungkan nalar dan meragukan
keyakinan umat. Disinilah letak kejahatan ulama’ suu’, dengan
mengatas-namakan Agama, mereka malah men-dekonstruksi ajaran yang pokok.
Dengan alih-alih pintu ijtihad masih terbuka, mereka liberalisasikan
semua ajaran Islam yang ada.
Karena prilaku jahat yang dimiliki para intelektual di atas, maka
Allah kemudian menurunkan adzab dengan mencabaut ruh ilmu[12],
sehingga yang ada adalah ilmu mati tanpa memiliki peranan semestinya. Jika
demikian, maka peradaban Islam yang dibangun dengan pondasi ilmu telah runtuh
dengan sendirinya hal disebabkan pondasinya telah keropos tanpa kekuatan.
Terlepas dari motif kekeliruan dalam memahami ilmu (fa syaikhuhu
syaithan), atau karena tidak kuat dengan godaan dunia (wa yasytaruna
bihi tsamanan qalila), sesungguhnya para koruptor ilmu-lah yang bertanggung
jawab atas kehancuran Islam dalam kancah peradaban.
Di akhir tulisan, penulis teringat pesan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
dalam acara musyawarah INSIST pada tanggal 17 Desember 2011 di Trawas, bahwa
tugas para intelektual muslim adalah mengembalikan pradaban Islam yang mulya
ini dengan melakukan dakwah tradisi ilmu, artinya dakwah yang paling efektif
pada saat sekarang ini ialah dakwah dalam bidang pendidikan dengan
mentradisikan ilmu sebagai salah satu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari,
tentunya hal ini disinergikan dengan iman dan amalan. Wallahu ‘a’lam bi
shawwab.
[1] Lihat sinyelemen Baginda Nabi dalam sebuah hadits yang berbunyi:
(افة الدين ثلاثة:
فقيه فاجر وامام جائر ومجتهد جاهل (رواه ابن ابي شيبة
[2]Zarkasy,
Hamid Fahmi, Artikel “Pandangan hidup Azas Peradaban”, hal. 3.
[3]
Ibid.
[4]
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas Tentang Ta’dib: (Gagasan
Pendidikan yang Tepat dan Komperhensif dalam Islam)”, hal. 05.
[5]
Ibid. 03.
[6]
Husaini, Adian, “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter danBeradab”,
(Bogor: Komunitas Nuun, 2011), hal. 97.
[7]
Arif, Syamsuddin, Sains di Dunia Islam (Orientalisme dan Diabolisme
Pemikiran), (Jakarta: GIP, 2008), hal. 236.
[8]
Ibid
[9]
Husaini, Adian, “Pendidikan Islam…, hal. 108.
[10]
Thalib, Muhammad, “Melacak Kekafiran Berfikir”, (Jogjakarta: Uswah, 2007),
hal. 75.
[11]
Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas …, hal. 1-2.
[12]
Hadits Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash, aku pernah mendengar Rosulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah tidak
mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi
Allah akan mengambil ilmu dari ulma’, sehingga ketika Allah tidak meninggal-kan
seorang ulama’pun, manusia akan mengangkat
pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan
fatwa tanpa didasarkan didasarkan ilmu, lalu mereka pun sesat serta menyesatkan.
(Sahih Bukhari-Muslim), 4828. http://www.islam2u.net/index.php?option=com