Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Januari 2012

Mendagri Mengeluh, Sejumlah Tokoh Ormas Islam Bela Gereja Liar Yasmin


Siapa wala’ (setia) kepada nasrani maka dia termasuk golongan mereka
Orang-orang dari gereja liar GKI Yasmin Bogor bertemu dengan Said Agil Siradj (berpeci) Ketua Umum PBNU di Kantor PBNU Jl Kramat Raya, Jakarta, Selasa (15/11). Foto anchoroflife
Inilah beritanya.
***
Said Aqil Bela GKI Yasmin, Slamet Effendi: Itu Hanya untuk Menyenangkan
Jakarta – Mendagri Gamawan Fauzi mengeluhkan statemen sejumlah tokoh ormas Islam yang diangap membela GKI Yasmin dan menyerang pemerintah. Padahal, seperti diceritakan Ketua MUI Pusat KH Ma’ruf Amin, Mendagri sepakat bahwa persoalan GKI Yasmin adalah murni persoalan hukum dan solusinya adalah dilakukan relokasi.
Demikian dikatakan KH Ma’ruf Amin dalam bincang santai dengan sejumlah tokoh-tokoh pimpinan ormas Islam sebelum acara Coffee Morning di Kantor Mendagri, Kamis (26/1/2012) dimulai.
Menanggapi lontaran Kiyai Ma’ruf, Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf yang hadir dalam kesempatan itu menjawab jika pembelaan kepada GKI Yasmin itu dilontarkan oleh Ketua umum PBNU Said Aqil Siradj, maka itu semata hanya untuk menyenangkan pihak Kristen. “Itu hanya untuk menyenangkan saja”, kata Slamet singkat.
Saat Ketua Forkami, Ustadz Ahmad Iman, melontarkan pertanyaan kepada mantan Ketua Umum GP Ansor itu apakah pernyataan Said Aqil hasil rapat resmi PBNU atau pribadi, Slamet menjawab  jawaban Said Aqil dalam kapasitasnya sebagai pribadi. “Itu (pendapat) pribadi, bukan hasil rapat”, jawabnya.
Perlu diketahui, bahwa dalam kasus GKI Yasmin memang telah memunculkan orang-orang yang disebut oleh para aktivis Forkami sebagai pahlawan kesiangan. Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Asep Zulfikar, Lily Wahid dan sejumlah politisi dari PDIP adalah deretan nama pembela GKI Yasmin yang dituding warga sebagai pahlawan kesiangan. Sementara Said Aqil yang juga bersuara keras membela GKI Yasmin dikatakan Slamet Efendi hanya untuk menyenangkan saja.
Seperti diberitakan detikcom akhir tahun lalu (15/11/2011), Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menilai berlarut-larutnya kasus GKI Yasmin adalah bentuk kegagalan pemerintah dalam menjunjung tinggi kehidupan umat beragama. Said, menuding Kementerian Agama, tidak becus dalam memelihara keharmonisan antar umat.
“Ini, menunjukkan kegagalan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama yang kurang maksimal dalam membangun keharmonisan umat beragama,” tegas Said Aqil.
Hal tersebut diungkapkan Said Aqil Siradj usai pertemuan PBNU, PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia), dan Jemaat GKI Yasmin di Kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, Selasa (15/11). Hadir dalam pertemuan itu Sekertaris Umum PGI Gomar Gultom dan Jubir GKI Yasmin Bona Sigalingging serta belasan jemaat GKI Yasmin lainnya.
Rep: Shodiq Ramadhan
Shodiq Ramadhan | Kamis, 26 Januari 2012 | 13:44:18 WIB (SI ONLINE).
***
Siapa wala’ (setia) kepada nasrani maka dia termasuk golongan mereka

] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ[
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin sebagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (Al-Maidah: 51).
] تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ !وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ[
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada allah, kepada nabi (musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maidah: 80-81)
Ibn Taimiyah berkata tentang ayat ini: “Penyebutan jumlah syarat mengandung konsekuensi bahwa apabila syarat itu ada, maka yang disyaratkan dengan  kata “seandainya” tadi pasti ada, Allah berfirman:
] وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ[
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong”.
Ini menunjukkan bahwa iman tersebut menolak penobatan orang-orang kafir sebagai wali-wali (para kekasih dan penolong), tidak mungkin iman dan sikap menjadikan mereka sebagai wali-wali bertemu dan bersatu dalam hati. Ini menunjukkan bahwa siapa yang mengangkat mereka sebagai wali-wali, berarti belum melakukan iman yang wajib kepada Allah, nabi dan apa yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an)” (Ibn Taimiyah, Kitab al-Iman, 14, sebagaimana dikutip dalam makalahnya, AQIDAH WALA’ DAN BARA’ Oleh: Ust. Agus Hasan Bashari Lc, M. Ag ).
Peringatan tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya  fitnah-fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia." (Hadits Shahih Riwayat Muslim No. 169).
Cenderung kepada mereka yang kafir, diancam siksa berlipat ganda.
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75)  [الإسراء/73-75]
73. Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap kami; dan kalau sudah begitu tentu|ah mereka mengambil kamu Jadi sahabat yang setia.
74. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,
75. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (QS al-Israa’/ 17: 73-75).
Dalam ayat itu, menurut Al-Jazairi dalam kitabnya, Aisarut Tafasir,  kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam cenderung sedikit saja kepada usulan-usulan kekafiran mereka, maka diancam (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami.
Bagaimanapun, cenderung sedikit saja kepada kafirin, jelas diancam siksa berlipat ganda. Apalagi bukan hanya cenderung sedikit tetapi bahkan sampai ngotot berkali-kali membela pihak kafirin dalam urusan kekafiran mereka plus dalam melawan hukum. Betapa beraninya orang itu. Apa yang dia cari?
(nahimunkar.com)

Hidayatullah.com - Pandangan KH. Hasyim Asy’ari Terhadap Fanatisme Buta

Mengenal Syaikh Hasyim Asyari


Sesepuh Nahdhatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia ini, lahir pada 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasannya memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya.
Menuntut Ilmu
Saat usia 15 tahun Hasyim mulai berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi ke Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan ke Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Selama 5 tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng.
Kiai Hasyim Asyari terkenal mumpuni dalam kajian Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan penuh. Kemampuannya dalam ilmu hadits itu diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya satu guru.
Kajian hadits Kiai Hasyim mampu menyedot perhatian ummat Islam, pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Petani dan Pedagang yang Sukses
Syaikh Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi ke Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik penjajah Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.
Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad. Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Kiai Hasyim sempat mencicipi penjara selama 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.
Latar Belakang berdirinya NU
Saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.
Ide reformasi Abduh itu ialah: Pertama, mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat.
Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren, dengan yang tidak bermazhab itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebutan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Beberapa pandangan Kiai Hasyim Asyari
Kyai Hasyim tidak segan melawan kemungkaran dalam beragama. Dalam kitabnya Al-Tasybihat al-Wajibat Li man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat Kyai Hasyim mengisahkan pengalamannya. Tepatnya pada Senin 25 Rabi’ul Awwal 1355 H, Kyai Hayim berjumpa dengan orang-orang yang merayakan Maulid Nabi SAW. Mereka berkumpul membaca Al-Qur’an, dan sirah Nabi. Akan tetapi, perayaan itu disertai aktivitas dan ritual-ritual yang tidak sesuai syari’at. Misalnya, ikhtilath (laki-laki dan perempuan bercampur dalam satu tempat tanpa hijab), menabuh alat-alat musik, tarian, tertawa-tawa, dan permainanan yang tidak bermanfaat. Kenyataan ini membuat Kyai Hasyim geram.  Kyai Hasyim pun melarang dan membubarkan ritual tersebut.
Pada Muktamar NU ke-XI pada 9 Juni 1936, Kyai Hasyim dalam pidatonya menyampaikan nasihat-nasihat penting berkaitan dengan kewaspadaan terhadap invasi Barat. Dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Arab, beliau  mengingatkan, “Wahai kaum muslimin, di tengah-tengah kalian ada orang-orang kafir yang telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapkan diri kalian yang mau bangkit untuk…dan peduli membimbing umat ke jalan petunjuk.”
Dalam pidato tersebut, warga NU diingatkan untuk bersatu merapatkan diri melakukan pembelaan, saat ajaran Islam dinodai, “Belalah agama Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih, juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah sesat”,
Untuk menghadapi tantangan tersebut, menurut Kyai Hasyim, para ulama harus meninggalkan kefanatikan pada golongan, terutama fanatik dalam masalah furu’iyah. “Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu’) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan,” tegasnya.
Situasi aktual yang akan dihadapi kaum muslim ke depan sudah menjadi bahan renungan Kyai Hasyim. Dalam kitab Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Dalam kitab yang sama, Kiai Hasyim menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan mempengaruhi umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat, kelompok Ibahiyyun – yaitu kelompok sempalan sufi mulhid yang menggugurkan kewajiban bagi orang yang mencapai maqam tertentu – , dan kelompok yang mengaku-ngaku pengikut sufi beraliran wihdatul wujud, hulul, dan sebagainya.
Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah itu Kyai Hasyim banyak menulis tentang kondisi pemikiran umat pada akhir zaman. Oleh sebab itu, Kyai Hasyim mewanti-wanti agar tidak fanatik pada golongan, yang menyebabkan perpecahan dan hilangnya wibawa kaum muslim. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalil mu’tabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan syafi’iyyah, maka mereka tidak boleh diperlakukan keras menentangnya. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu.
Dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratu Syaikh mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah – yakni orang yang tenggelam dalam laut fitnah, bid’ah, dan dakwah mengajak kepada Allah, padahal mengingkari-Nya.
Wafatnya Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari
Beliau wafat pada 25 Juli 1947. Semoga Allah Ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat dan ampunan kepadanya. Semoga kita dapat meneladani kebaikan-kebaikannya. Amin…
Dikutip dan diolah dari dua tulisan:
Hadratu Syaikh Hasyim Asy’ari, www.naqsabandi.blogspot.com


Rabu, 25 Januari 2012

HADITS SHAHIH YANG DI-DHA'IF-KAN KAUM WAHABI

oleh Idrus Ramli pada 26 Januari 2012 pukul 1:57
Takhrij Hadits “Ya Muhammad”
Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi SAW atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar RA yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebutsecara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar RA tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ.

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).

Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).

Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).

Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).

Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.

Bersama Kaum Wahabi

Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:

ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ.

Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan 2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath­-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalih ikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ.

Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).

Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:

أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.

Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:

وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ.

Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.

Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukan tadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atau tadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitu tadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:

عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ. (الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠).

Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).

Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:

مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ  وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ (هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ).

Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar RA di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:

١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.

1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.”  Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).

Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Hadits melalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelah ikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar RA di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.
· · Bagikan

Selasa, 17 Januari 2012

IKHLAS KUNCI KEMENANGAN DAKWAH


Oleh: Muhammad Saad*

قَالَ رَبِّ بِمَا اَغْوَيْتَنِي لَاُزَيَّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ () اِلَّا عِبَادِكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (Qs. 38; 82-83)

Terkadang perjuangan dalam medan dakwah sering kali menjadi dilematis ketika dibenturkan dengan perjuangan terhadap diri sendiri “jihad an-nafs”. Sehingga tidak sedikit umat ini yang terjebak dalam lingkaran kebingungan antara pilihan jihad fi da’wah dengan jihad fi annafs.  Di satu sisi, perintah jihad fi sabilillah dalam konteks dakwah adalah wajib ain untuk saat ini bagi mereka yang mumpuni dalam arti memiliki ilmu, namu di satu sisi jihad an-nafs seperti memerangi riya’,takabbur, ujub, hasad adalah wajib ain bagi tiap-tiap diri umat Islam dalam setiap tingkah perbuatannya. Alih-alih takut terperosok dalam jurang penyakit hati, pada akhirnya banyak umat yang malah terjebak untuk meninggalkan jihad fi-adda’wah.

Padahal telah jelas bahwa pada era saat ini perjuangan dalam dunia dakwah terutama dalam konteks pemikiran adalah sebuah kewajian ain bagi mereka yang dianigrahui ilmu. Ghazwatul fikr (perang pemikiran) telah ditabuhkan para orientalisme dan antek-anteknya yang mana dampak fitnah dari perang pemikiran lebih bahaya dari pada perang fisik melawan kuffar (al-fitnatu asyaddu min al-qatl).

 Bila perang fisik yang dilakukan umat Islam seperti di Palistina, Afganistan, Mindanao atau daerah konflik lainya hanya beresiko luka, cacat dan mungkin kematian secara fisik. Jika semua dilakukan dengan ikhlas, maka imbalan yang diterima ialah surga yang haq, setiap debu yang menempel di tubuh para syuhada’ akan menjadi pelindung diri dari jilatan api neraka. Sedangkan mereka yang meninggal dalam medan perang, maka tiada kematian bagi mereka. Burung-burung hijau akan memerbangkan ruh para syuhada’ ke persinggahan serambi Surga yang telah dijanjikan oleh Allah guna menunggu masanya. Itula janji Allah bagi mereka para pejuang muslim yang berhadapan dengan musuh secara fisik dan nyata.

Namun implikasi dari perang pemikiran adalah  merajalelanya  pengingkaran terhadap hukum-hukum tsawabit dan dekonstruksi point-point teologi seperti menggugat al-Qur’an sebagai kalamullah. Singkatnya, dampak perang pemikiran adalah menghilangkan keimanan umat Islam yang dibingkai keindahan yang berujung pada kemurtadan tanpa dirasakan. Inilah yang dimaksud dengan fitnah (agama) itu lebih dahsyat dari pembunuhan. Maka perintah melawan perang opini pemikiran saat ini adalah fardhlu ain bagi setiap umat Islam yang nanpu melaksanakannya.

Jawaban atas kebingungan antara pilihan jihad fi sabilillah fi siyaq ad-da’wah dengan jihad an-nafs adalah mensinergikan keduanya dengan koridor ikhlas yang terkonsep dalam ajaran Islam. Dengan konsep ikhlas, maka seseorang akan dapat melaksanakan perintah wajib dari kedua jihad tersebut tanpa tersesat dalam lingkaran setan. Lalu pertanyaannya bagaimana yang disebut dengan ikhlas menurut Islam?

Pengertian Ikhlas.
Ikhlas secara lughat  berarti “bersih/murni tidak tercampur dengan apapun”. Dalam istilah, Ikhlas sebagaimana diartikan beberapa ulama’. Menurut syaikh Ibrahim bin Adham bahwa “akhlas adalah gerak dan diamnya seorang hamba semata-mata ditujukan kepada Allah”. Sedangkan menurut Abu Usman “ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan memfokuskan diri pada perhatian Sang Pencipta”[1].

Dari dua pengertian istilahi tentang ikhlas di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari konsep ikhlas dalam Islam adalah; pertama, ikhlas intinya beramal dalam kehidupan hanya untuk mengharap ridhlo Allah. Kedua, yang bisa dikatakan sebagai orang ikhlas (mukhlis) hanyalah muslim yang mukmin, sedangkan orang ghairul muslim, meski dia berbuat kebajikan dengan tulus tidak bisa dikategorikan sebagai mukhlis karena mereka tidak terkena taklif[2].

 Ketiga, Syarat agar bisa beramal dengan ikhlas adalah dengan ilmu, Karena konsep ‘abiid (hambah) dalam  ayat  QS. Shaad di awal muqaddimah, ayat “illa ‘ibaadika minhum al-mukhlishina”. Lafadz “Ibaadika” sinergis dengan lafadz ‘ibadihi’ dalam QS…. (innama yakhsya allaha min ibaadihi al-ulamma’). Maka lafadz “ibaadika”memiliki pengertian yaitu seorang mukmin yang berilmu dan dengan ilmunya dia akan patuh kepada Allah dengan Ikhlas. Hal ini dipertegas oleh Syaikh imam Junaidi al-Baghdadi “sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang berilmu, setelah berilmu kemudian mereka mengamalkan ilmunya dengan ikhlas”.[3]

Ikhlas Menghantarkan Kemenangan
Ikhlas bisa menghantarkan seseorang menjadi tegar dan sabar dalam menghadapi rintangan, baik dari dalam maupun luar dirinya. Karena seorang mukhlis adalah orang yakin akan janji-janji Allah, setiap apa ia lakukan ia yakini mendapatkan imbalan dari sang Khaliq (wa maa tunfiqu fii sabilillahi yuwaffa ilaikum wa antum laa tudhlamuun). Ikhlas juga menghatarkan muslim terlindung dari perbuatan keji dan mungkar (kadzaalika linnusharrifu ‘anhu ssuu’ wa al-fahsya, QS, Yusuf, 24) karena setan tidak akan pernah mampu menjerumuskan para mukhlashin dalam lobang kesesatan (illa ‘ibaadaka minhum al-mukhlashin).

Di sinilah letak kemenangan bagi seorang muslim yang sedang melaksanakan pengabdian dakwah. Konsep kemenangan dalam Islam bukan terpaut pada hasil perjuangan, namun terletak pada ketetapan memegangi agama (tsabbit aqdaamana, QS.2. 250) serta istiqamah (tsumma staqaamuu, QS. 46: 13) dalam perjuangan dengan ikhlas sampai akhir kehidupan.

Sejarah telah membuktikan bahwa puncak kejayaan Peradaban Islam, karena jasa pejuangnya yang ikhlas dalam mengemban misi mulya. Dimulai dengan sang figur suri tauladan Nabi Besar Muhammad Saw, diteruskan oleh Sahabat-sahabat beliau, yang kemudian berlanjut ke murid-murid para sahabat atau yang disebut para tabi’in dan pada akhirnya disempurnkan oleh para tabi’ittabi’in. Saat itulah Islam mencapai zaman kejayaannya dengan menaklukan wilayah pusat-pusat penting di Dunia, dan menjadi satu-satunya peradaban dunia yang berasazkan ilmu. Hal itu dilakukan oleh para pejuang didikan Rasul Saw dengan mengutamakan keikhlasan li ridallahi Ta’ala, bukan mengejar kejayaan untuk ketenaran duniawi.

Penutup
Pada masa sekarang, perjungan dalam medan dakwah sangat-sangat dibutuhkan, mengingat fitnah Agama telah merajalela. Namun di sisih lain, dakwah pada diri sendiri adalah sebuah fardhu ain yang harus selalu dilakukan. Tak jarang seorang muslim terjebak dalam dua kewajiban yang bersamaan. Jika melaksanakan jihad fi sabilillah fi siyaqi dda’wah, mereka takut tergelincir dalam penyakit hati seperti riya’ ujub, takabbur dan lainya. Alih-alih menghidari penyakit hati, seorang muslim meninggalkan kewajiban berdakwah.

Kunci untuk menghindari lingkaran setan tersebut adalah tetap melaksanan dua kewajiban ain itu dengan dilandasi ikhlas. Sebab jaminan dari Allah bagi orang yang beramal dengan ikhlas adalah, setan tidak mampu menjerumuskanya ke dalam lubang kemakshiatan. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.

*Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto.




[1] Rahman, Fathur, “Awas Godaan Setan, cara cerdas mengenal bisikan setan”, (Pustaka Insan Madani: Jogjakarta, 2008), hal. 120.
[2] Hasib, Kholili, “Ikhlas itu cerdas”, http//www.fajarislamonline.com
[3] Rahma, Fathur, “awas Godaan…, hal. 120.

Minggu, 08 Januari 2012