Cari Blog Ini

Selasa, 20 Desember 2011

KORUPTOR ILMU DAN RUNTUHNYA PERADABAN ISLAM


Oleh: Muhammad Saad

Rosulullah menyatakan bahwa Islam akan terpuruk (dalam peradaban) dikarenakan tiga faktor; Ulama’ yang jahat (Faqiihun faajir), penguasa yang lalim  (Imamun jaair), dan hamba ynag bersungguh-sungguh dalam beribadah tetapi tanpa pengetahuan (mujtahidun jahil)[1]. Dari tiga faktorkemunduran Islam dalam kancah peradaban tersebut, faktor yang paling dominan dalam bertanggung jawab atas ambruknya peradaban Islam adalah element yang pertama; “faqiihun faajir”. Karena unsur pertama berkaitan dengan ilmu, sedangkan dalam Islam, ilmu merupakan fondasi utama yang menyangga terbentuknya peradaban Islam[2].
Melihat batapa dominannya peran para koruptor ilmu dalam terhadap keterpurukan peradaban Islam, oleh karenanya, dalam artikel ini, penulis memaparkan uraian ilmu sebagai azas peradaban Islam dan peranan para koruptor ilmu dalam kehancuran peradaban Islam.
Ilmu Sebagai Azas Peradaban
Logikanya bahwa ilmu merupakan azas bagi peradaban dalam Islam sebagaimana dijelaskan Dr. Hamid fahmi zarkasyi dalam kertas kerjanya. Beliau menyatakan bahwa Islam dengan dua sumber otoritasnya, Al-Qur’an dan sunnah memberikan kekuatan pendorong bagi bangkitnya ilmu dan peradaban Islam. Al-qur’an dengan konsep tentang Tuhan dan keimanan merupakan elemen penting dalam struktur worldview Islam. Al-qur’an juga menawarkan konsep seminal fundamental tentang struktur ilmu[3].
Yang perlu diperhatikan, Konsep ilmu dalam Islam tidak mengenal dikhotomi, Islam menyajikan ilmu secara integral. Yang ada dalam Islam adalah hirarki keilmuan berdasarkan kreteria tingkat keluhuran dan kemulyaan seperti fardhlu ‘ain dan fardhlu kifayah[4]. Antara ilmu agama dengan ilmu sains, keduanya bersumber pada al-Qur’an. Syaid Muhammad Naquib menyebutkan bahwa al-Qur’an merupakan “jamuan makan” dari Sang Pencipta berupa ilmu yang mulya.[5]  Justru bila ilmu disepesialisasi sempitkan akan membutakan bidang ilmu lain dan melahirkan manusia biadab baru.[6]
Di lain pihak kemurnian, keteguhan memahami dan mengamalkan ajaran Islam yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan sunnah telah menumbuhkan bibit-bibit unggul yang “siap tempur” baik mental maupun moral yang kemudian membentuk masyarakat madani dengan peradaban yang jaya. Al-Qur’an dan Sunnah juga menuntut ummatnya untuk berkewajiban belajar, dorongan syar’i untuk belajar inilah berimplikasi positif karena telah membentuk komunitas masyarakat berilmu yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan[7] 
Kejahatan Para Koruptor Ilmu
Jika Islam menjadi pusat peradaban dikarenakan para generasinya yang cakap dalam mengintegrasikan iman, ilmu dan amal, maka keterpurukan peradaban Islam disebabkan para intelektualnya yang keluar dari koridor Syari’at yang ada[8]. Mereka oleh Nabi SAW diberi julukan sebagai “faaqihun Fajir” atau menurut istilah al-Attas sebagai intelektual yang korup terhadap ilmu “Corruption of knowledge”.
Istilah korup terhadap ilmu (Corruption of knowledge) adalah istilah yang diberikan oleh Syaid M.N. Al-Attas[9]  kepada; pertama,  mereka yang disebut dengan yang pertama adalah apara ilmuwan umum yang awam terhadap ilmu agama, mereka menganggap Agama hanya kewajiban bagi sarjana perguruan tinggi Islam saja. Sehingga mereka tidak memahami bagaimana beraqidah dan beribadah secara benar. Yang pertama ini adalah kejahatan tergolong dalam kelas ringan.
Adapun yang kedua adalah kejahatan kelas berat dan parah, mereka adalah orang-orang diberi titel Ulama’, Kyai, cendikiawan dan para sarjana intelektual muslim yang ahli dalam masalah agama (Faqih fi ad-dien) namun suka memutar balikkan fakta kebenaran ajaran. Ajaran Agama yang prinsip dan qoth’i dikatakan relative, sedangkan yang hanya hasil asumsi rasio semata dijadikan akidah.[10] Missal; mereka berstateman bahwa semua agama sama membawa misi kebaikan dan kebenaran, Agama yang haqq tidak hanya monopoli Islam saja, hukum Syar’iat tidak wajib dilaksanakan karena hasil ijtihad manusia untuk sebagai contoh.
Sedangkan di sisih lain, demokrasi mereka wajibkan untuk dijadikan ideologi negara, sekularisasi mereka wajibkan sebagai proses alami pendewasaan manusia menuju masryarakat yang modern dan alih-alih untuk hidup berdampingan dengan agama lain agar tercipta kerukunan dan kedamaian, maka pluralisme wajib dilaksanakan. Tidak berhenti di situ saja, mereka-pun mencari-cari dalil agama untuk dijadikan justifikasinya. Padahal ketiga hal ini merupakan asaumsi rasio manusiayang penuh cacat, dan seharusnya diletakkan pada posisi relative, bukan malah dimutlakkan (baca; dipaksakkan). Inilah yang dimaksud sebagai Faqiihun fajir dengan Corription of knowledge-nya. Mareka mewajibkan konsep demokrasi, sekularisasi dan pluralisme bukan secara verbal menggunakan bahasa “wajib”, namun lebih dengan propaganda dalam setiap aktivitas.
Seharusnya seoarang  dengan basis ilmu pendidikan Agama dapat menghantarkan dia menjadi insan yang baik dalam artian penekanan pada nilai spiritual melalui pengetahuan akal, nilai dan spirit yang berimplikasi pada kwalitas adab menyeluruh yang meliputi kehidupan spiritual dan material,[11] karena menurut al-Attas tujuan dari pendidikan Islam ialah melahirkan manusia yang baik, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam konsep Ta’dib tentang pendidikan Islam. Bukan malah menjadi manusia yang bermental hipokrit, yaitu  mereka belajar ilmu Agama tapi meragukan kebenaranya, mereka suka memutar balikkan fakta kebenaran yang ada dan lain di mulut beda di dalam dada.
Seharusnya sebagai ulama, mereka mengayomi umat dengan memberikan fatwa hukum yang jelas dan sesuai dengan sumber otoritas al-Qur’an ataupun hadits yang bisa memberi ketegasan dalam berhukum sehingga beimplikasi ketenangan dalam batin umat. Bukan malah membuat sensasi dengan mengobok-obok ajaran yang qoth’i, yang pada akhirnya membingungkan nalar dan meragukan keyakinan umat. Disinilah letak kejahatan ulama’ suu’, dengan mengatas-namakan Agama, mereka malah men-dekonstruksi ajaran yang pokok. Dengan alih-alih pintu ijtihad masih terbuka, mereka liberalisasikan semua ajaran  Islam yang ada.
Karena prilaku jahat yang dimiliki para intelektual di atas, maka Allah kemudian menurunkan adzab dengan mencabaut ruh ilmu[12], sehingga yang ada adalah ilmu mati tanpa memiliki peranan semestinya. Jika demikian, maka peradaban Islam yang dibangun dengan pondasi ilmu telah runtuh dengan sendirinya hal disebabkan pondasinya telah keropos tanpa kekuatan.
Terlepas dari motif kekeliruan dalam memahami ilmu (fa syaikhuhu syaithan), atau karena tidak kuat dengan godaan dunia (wa yasytaruna bihi tsamanan qalila), sesungguhnya para koruptor ilmu-lah yang bertanggung jawab atas kehancuran Islam dalam kancah peradaban.
Di akhir tulisan, penulis teringat pesan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam acara musyawarah INSIST pada tanggal 17 Desember 2011 di Trawas, bahwa tugas para intelektual muslim adalah mengembalikan pradaban Islam yang mulya ini dengan melakukan dakwah tradisi ilmu, artinya dakwah yang paling efektif pada saat sekarang ini ialah dakwah dalam bidang pendidikan dengan mentradisikan ilmu sebagai salah satu aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, tentunya hal ini disinergikan dengan iman dan amalan. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.



[1]  Lihat sinyelemen Baginda Nabi dalam sebuah hadits yang berbunyi:  
                    (افة الدين ثلاثة: فقيه فاجر وامام جائر ومجتهد جاهل (رواه ابن ابي شيبة
[2]Zarkasy, Hamid Fahmi, Artikel “Pandangan hidup Azas Peradaban”, hal. 3.
[3] Ibid.
[4] Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas Tentang Ta’dib: (Gagasan Pendidikan yang Tepat dan Komperhensif dalam Islam)”, hal. 05.
[5] Ibid. 03.
[6] Husaini, Adian, “Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter danBeradab”, (Bogor: Komunitas Nuun, 2011), hal. 97.
[7] Arif, Syamsuddin, Sains di Dunia Islam (Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran), (Jakarta: GIP, 2008), hal. 236.
[8] Ibid
[9] Husaini, Adian, “Pendidikan Islam…, hal. 108.
[10] Thalib, Muhammad, “Melacak Kekafiran Berfikir”, (Jogjakarta: Uswah, 2007), hal. 75.
[11] Wan Daud, Wan Mohd Nor, Artikel “Konsep al-Attas …, hal. 1-2.
[12] Hadits Riwayat Abdullah bin Amr bin Ash, aku pernah mendengar Rosulullah SAW bersabda:  Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi Allah akan mengambil ilmu dari ulma’, sehingga ketika Allah tidak meninggal-kan seorang ulama’pun, manusia akan mengangkat  pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa tanpa didasarkan didasarkan ilmu, lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (Sahih Bukhari-Muslim), 4828. http://www.islam2u.net/index.php?option=com

Jumat, 16 Desember 2011

Sabtu, 03 Desember 2011

Relevansi Syaiat Islam




Oleh: M. Saad

1. Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang Universal, mengatur dan menyelesaikan seluruh permasalahan ummatnya. Baik berhubungan dengan Sang khalik, maupun dengan sesama hambanya. Baik dengan sesama muslimnya, maupun dengan ghairul islam. Syariat Islam juga mengatur setiap sendi-sendi kehidupan pribadi manusia. Intinya Islam merupakan jalan hidup bagi penganutnya. Dan hal tersebut sudah menjadi budaya dalam kehidupan masyarakat Islam.
Baru pada abad 20 ini, terdengar suara-suara sumbang keluar dari tokoh-tokoh yang notabenenya adalah Islam, mengatakan hukum Islam sudah tidak relevan, bahkan sampai menafikan keberadaan syari’at Islam dengan memberi stereotip dari zaman Rosul SAW. Mereka mengatakan bahwa seorang figur Rosul tidak bisa diambil suri tauladanya, karena hanya beliaulah yang bisa meleksanakan dua peran tersebut, sebab beliau seorang Nabi sekaligus pemimpin Negara, artinya beliau seorang pembawa pesan-pesan tracedent sekaligus pemimpin dunia yang sekular. Setelah kewafatan Nabi, tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan beliau. Ada lagi yang mengatakan bahwasanya hukum-hukum positif yang dipakai dalam Islam pada zaman Rosulullah SAW adalah pengadopsian dari hukum-hukum Negara yang pernah berinteraksi dengan Islam. Seperti zakat, potong tangan, kasus rajam, potong badan secara silang, pembakaran manusia (dalam kasus sodomi), dan denda (diyat, yang diambil dari kodifikasi Nabatean dan Romawi), sholat warisan Nabi Dawud (dalam tradisi Judaic), yang dimodifikasi, dan dalam system ekonomi juga milik Romawi.

2. Syariat (ditinjau dari aspek iman)
Pada dasarnya syari’at Islam adalah suatu kewajiban bagi pengikutnya. hal itu banyak dilihat di dalam al-Qur’an. Pembangkangan atau keengganan kaum muslimin untuk melaksanakan syariat Islam adalah suatu yang aneh, alias tidak normal, ditinjau dari aspek teologis. Sebab begitu banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengaitkan langsung dengan soal Syari’at Islam dengan aspek keimanan . Sebutlah contoh , al-Qur’an surat al-Taubah ayat 31.

Artinya: “Mereka (kaum Yahudi-Nasrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.

Dalam tafsir Ibnu kastir membawakan hadist riwayat Imam Ahmad. Imam Turmudzi dan Ibnu Jarir dalam kitabnya “Tafsir al Qur’an al-Adzim”. Diriwayatkan dari sahabat ‘Adi bin Hatim ra. Bahwa dahulu kala ketika sampai kepadanya berita tentang dakwah Rasulullah SAW (tentang ajakan masuk Islam), maka ‘Adi yang pada waktu itu masih beragama Nashrani melarikan diri ke Syiria. Pada suatu peperangan, saudara perempuan ‘Adi dan sekelompok dari kaumnya tertawan kaum Muslimin. Kemudian oleh Rosulullah SAW memberikan anugrah pembebasan kepada saudara perempuan ‘Adi tersebut, dan dia pun pulang kerumah ‘Adi . Sesampainya di rumah ‘Adi (di Syiria) ia banyak menceritakan hal-hal yang menyenangkan tentang Islam, dan ia meminta kepada ‘Adi agar mau menghadap Rosulullah SAW. Maka ‘Adi pun berangkat menuju Madinah. Kedatangan ‘Adi di Madinah menjadi perbincangan dikalangan masyarakat Madinah. Sesampainya di Madinah, ‘Adi bertamu kepada Rosulullah SAW dengan mengenakan kalung salib dari perak, saat itu juga Rosulullah SAW membaca ayat: “Mereka (kaum Yahudi-Nasrani) menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (QS, al-Taubah: 31). ‘Adi berkata: sungguh mereka tidak menyembah pendeta mereka”. Rosulullah SAW menjawab: “Ya, (akan tetapi) para pendeta itu telah mengharamkan atas kaumnya apa yang dihalalkan Allah SWT dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT, lalu kaumnya mengikuti ketetapan-ketetapan para pendeta tersebut. Yang demikian itulah merupakan penyembahan terhadap rahib/pendeta”. Singkat cerita, ‘Adi pada akhirnya mengikuti ajakan Nabi SAW masuk Islam.
Penafsiran ayat di atas memberikan suatu pemahaman kepada umat manusia, bahwa mengikuti hukum undang-undang yang dibuat dan ditetapkan oleh manusia tanpa mengacu pada sumber otoritas dari Allah dan Rosul-Nya, bahkan bertentangan dengan kedua sumber tersebut, secara tersirat adalah sama halnya memposisikan dan memproklamirkan si pembuat undang-undang sebagai Tuhan dengan tindakanya mengambil alih “Hak otoritatif Allah SWT” dalam menetapkan hukum atau undang-undang untuk ummat manusia.

Masih banyak ayat-ayat yang menguatkan ayat di atas, salah satunya ialah QS al-Nisaa’: 65:
Artinya; “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Ibnu Katsir berhujjah: Allah SWT bersumpah dengan menyebut DzatNya Yang Maha Suci dalam ayatNya ini, bahwa sesungguhnya seseorang dinyatakan tidak beriman sehingga mendambakan hukum dari Rosulullah SAW dalam segala urusanya. Hukum yang sudah ditetapkan oleh Rosulullah SAW adalah kebenaran yang mutlak yang wajib diikuti dengan ketulusan sepenuhnya. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz. 01, hlm. 520).
Masih menurut Ibnu Katsir, surat an-Nisaa’ ayat 65 diturunkan Allah berkenaan dengan peristiwa pertengkaran dua laki-laki di maa Nabi SAW.. Dikabarkan, keduanya menemui Nabi SAW., lalu beliau memutuskan tidak bersalah atas pihak yang benar. Pihak yang diputus bersalah oleh Nabi menyatakan menolak keputusan tersebut. Ia lalu mengajak menemui sahabat Abu Bakar ashSiddiq. Sahabat utama Nabi pun mengatkan agar mereka menerima keputusan Nabi SAW..Akan tetapi, pihak yang diputus bersalah, tetap tidak mau terima, dan mengajak untuk menemui Umar ibn al-Khathtab. Setelah mendengarkan penjelasan mereka, Umar r.a masuk ke dalam rumah dan kembali lagi dengan membawa pedang, lalu orang yang tidak mau menerima keputusan Rosulullah SAW tersebut ditebas lehernya. Kemudian turunlah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat. 65. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz. 02. hlm. 331-332) .

3. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya syaria’at Islam merupakan keharusan bagi semua ummat Islam. Tidak ada pengecualian dalam permberlakuan syara’ ini, apalagi penegasian, sebagaimana yang dilontarkan JIL dan kawan-kawan. Adapun mereka yang menyatakan bahwa Syari’at Islam tidak relevan, dengan berbagai argument. Seperti “negera Indonesia bukan Negara berazas Islam”, “hukum dalam Islam adalah adopsi dari hukum lain”, atau “atas nama HAM”. Semua itu adalah pesanan dari kelompok yang selama ini tidak suka, dan cenderung memusuhi Islam. Hal ini bukan sekedar asaumsi buta penulis, akan tetapi bedasarkan datadan fakta yang ada.
Banyak sekali buku-buku yang memuat data valid serta bertanggung jawab, yang menjelaskan tentang kebencian ghoiru al-Islam terhadap Islam. Seperti buku “Wajah Peradaban Islam”, karya Dr. Adian Husaini, “Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran”. Karya Dr. Syamsuddi Arief, atau ‘’Imperialisme Baru’’. Karya Dr. Nuim HIdayat, serta masih banyak lainnya. Wallahu ‘a’lam bi shawwa

Sabtu, 26 November 2011

DUA FALSAFAH HIDUP SEBAGAI LANDASAN KEBAHAGIAAN HAKIKI (Wasiat Abuya Ahmad Ilham Masduqie Untuk Santrinya)



Oleh: Muhammad Saad
Dalam setiap kesempatan dakwahnya, Abuya Ahmad Ilham Masduqie selalu berwasiat kepada kaum muslimin, lebih-lebih kepada para santrinya untuk senantiasa melakukan dan menjaga dua hal yang menurut beliau adalah sebagai landasan dasar untuk meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dua point tersebut menurut hemat penulis lebih merupakan falsafah hidup Islami yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu muslim guna cita-cita yang didambakan oleh setiap insan muslim. Sebagimana yang beliau sampaikan di depan para Alumni dalam pertemuan Santri Alumni pesantren yang beliau bina PP Aqdaam al-Ulamaa’ pada tanggal 13-11-2011.
Tulisan ini akan mengulas sedikit tentang dua point pemikiran Abuya, yang menjadi podasi azas dalam berkehidupan guna meraih kebahagiaan dunia dan Akhirat secara syar’i.
Makna Bahagia
Kebahagiaan seorang muslim bukan diukur dari kekayaan melimpah yang mereka miliki atau kesuksesan dalam membina rumah tangga. Kebahagiaan dunia merupakan cobaan dari Allah bagi anak manusia QS. Ali 'Imran : 185, kebahagiaan dunia bagi Allah adalah kesenangan yang amat sedikit QS. Yunus: 98, dan tidak pernah memberi kepuasan pada pemiliknya disebabkan keterbatasan dalam menikmati[1].
Kebahagiaan menurut konsep Islam adalah sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa bahagia merupakan buah dari Iman dan takwa. Kebahagaiaan dalam Islam merupakan manifestasi dari bias kenikmatan Sorga di dunia yang didambakan kekal di akhirat nanti.

QS. Ar-Ra'd [13] : ayat 29
Artinya: Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.

QS. Az-Zumar [39] : ayat 73
Artinya: Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: "Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu. Berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya".

Dua Point Landasan Hidup
Dalam menggapai kebahagiaan hakiki tersebut, menurut Abuya sapaan K.H Ahamad Ilham Masduqie pengasuh P.P. Aqdaam al-Ulama’, terletak pada kuncinya dua point. Pertama, senantiasa berbuat baik kepada orang tua atau birr al-walidain, Ini merupakan kunci utama seorang hamba untuk mendapatkan kebahagiaan. Sebagaimana telah banyak disinyalir dalam dua sumber ajaran, baik al-Qur’an maupun al-hadits tentang bagaimana keutamaan jika seseorang birr al-walidain. Pun pula sebaliknya, apa akibat yang akan ditanggung seseorang jika berani terhadap orang tua.
Kewajiban birr al-walidain adalah harga mati yang tidak bisa ditawar dalam Islam. Kewajiban berbuat baik kepada orang tua, memiliki urutan utama setelah seorang hamba berkwajiban mentauhidkan Allah.
Allah SWT berfirman dalam QS. Annisaa’: 36
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
.
QS. Al-Israa:23
Artinya: Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Dalam kedua surat baik surat Annisaa’ maupun  dalam surat al-Israa’ perintah bertauhid selalu diiringi perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Dalam koteks Islam, mentauhidkan Allah Robb al-Izzati adalah kewajiban utama yang harus dilakukan setiap hambah-Nya. Tidak satu-pun ulama’ yang berpendapat toleransi terhadap permasalahan Tauhid. Konsekwensi dosa yang ditangung bagi orang yang berbuat syirik adalah dosanya tidak bisa diampuni bila tidak bertaubat.
Jika dosa syirik adalah dosa Akbar nomor wahid, maka dosa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar nomor dua setelah dosa syirik. Tidak menutup kemungkinan orang yang durhaka kepada orang tua bisa menggiring si pelaku dosa kepada dosa besar yang lain dan kemudian menjerembabkan dia pada perbuatan syirik atau murtad.
Bagaimana hal ini bisa terjadi ?. Rosulullah Saw bersabda bahwa ridhlo Allah adalah terletak pada ridhlo  orang tua, sedangkan murka Allah terletak pada murka orang tua. Jika seorang hambah berprilaku baik kepada orang tuanya, maka niscaya Allah meridhloi semua amal perbuatannya. Oleh karenanya, setiap yang ia lakukan selalu dituntun oleh Allah kepada hal-hal kebajikan yang diridhloi Allah SWT yang kemudian menghantarkan hamba ini kepada kebahagiaan sorgawi baik di dunia terlebih di Akhirat.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa dia berkata, “Tidaklah seorang muslim memiliki dua orang tua muslim, (kemudian) dia berbakti kepada keduanya karena mengharapkan ridha Allah, kecuali Allah akan membukakan dua pintu untuknya –maksudnya adalah pintu surga–. Jika dia hanya berbakti kepada satu orang tua (saja), maka (pintu yang dibukakan untuknya) pun hanya satu. Jika salah satu dari keduanya marah, maka Allah tidak akan meridhai sang anak sampai orang tuanya itu meridhainya.” Ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekalipun keduanya telah menzaliminya.”[2]
Pun pula sebaliknya, jika seseorang durhaka kepada orang tua, maka ia akan menanggung akibat buruknya. Tidak tanggung-tanggung, dosa durhaka kepada orang tua akan dibalas oleh Allah langsung di dunia. Jika melihat banyaknya bencana yang diturunkan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak anak manusia yang berbuat durhaka kepada orang tuanya. Mulai dari negri ini, setiap diberi pemimpin selalu pemimpin yang dholim, bencana alam seperti gempa, kekeringan yang panjang di musing kemarau, banjir yang tidak kunjung larut di musim penghujan sampai wabah penyakit yang tidak kunjung berhenti. Belum lagi fitnah yang datang dari ranah Agama berupa maraknya aliran sesat bak jamur  yang tumbuh dimusim hujan, adalah sebuah sinyal bahwa umat ini telah banyak yang berbuat dosa durhaka kepada orang tua.
Bukan tanpa Alasan Allah SWT menurunkan adzab dan fitnah  kepada kita, jika kita tidak berbuat dzholim durhaka kepad orang tua.  Fenomena ini di atas telah disinyalir Rosul Saw yang diriwayatkan dari Abu Bakrah r.a. beliau bersabda:
Artinya: “Setiap dosa akan Allah tangguhkan (hukumannya) sesuai dengan kehendak-Nya, kecuali (dosa karena) durhaka kepada kedua orang tua. Sesungguhnya Allah swt. akan menyegerakan hukuman perbuatan itu kepada pelakunya di dunia ini sebelum ia meninggal.”
Oleh karenanya, sedini mungkin kita berintrospeksi diri dalam kehidupan sehari-hari atas prilaku kita terhadap orang tua, baik orang tua yang masih hidup ataupun yang sudah meinggal. Apakah kita selama ini sudah berbakti kepada mereka berdua, atau justru selalu membuat batinnya sakit dan menderita menjadikan Allah murka. Karena Sebesar apa pun ibadah yang dilakukan oleh seseorang hamba, itu semua tidak akan mendatangkan manfaat baginya jika masih diiringi perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya. Sebab, Allah swt. menggantung semua ibadah itu sampai kedua orang tuanya ridha.
Dengan berbakti kepada orang tua, akan  memberikan manfaat besar bagi kehidupan kita. Allah akan Senantiasa menaungi kita dengan ridhlo-Nya. Dengan demikian kebahagiaan akan datang selaras dengan ridhlo Allah. Ini-lah anugerah yang sangat agung yang didamba oleh setiap hamba yang mengharapkan kebahagiaan haikiki.
Adapun point kedua adalah urgent-nya menegakkan sholat sesuai dengan syar’i yang ada. Maksud dari menegakkan sholat sesuai syar’i ialah menjalankan ibadah sholat sesuai syarat dan rukunya, serta memperhatikan kekhusyu’an baik lahiriyah terlebih-lebih bathiniyah[3]. Untuk menghasilkan khusyu’, pertama, hendaklah seorang mushollin ketika sholat menganggap dirinya sedang menghadap Allah Yang  Maha mengetahui segala rahasia dan Maha Kuasa. Dengan Dzat yang Maha berkuasalah orang yang shalat bermunajah secara rahasia.
Kedua, mengetahui makna yang sedang dibaca, karena maknalah yang dimaksudkan, bukan semata-mata membaca lafadz. Mengetahui makna tentunya tidak cukup menjadikan seseorang bisa melaksanakan sholat dengan khusyu’, maka, Ketiga, menghadirkan hati dalam memahami arti setiap bacaan.[4]Artinya setiap bacaan baik yang  wajib dan yang sunnah dipahami dengan sungguh-sungguh apa hakikat makna bacaan tersebut. Terlebih-lebih ketika membaca surat al-fatihah yang menjadi rukun qouli yang wajib dibaca.
Menurut Abuya, dari sekian rukun yang wajib dibaca hanya al-fatihah yang paling banyak dibaca. Ambillah contoh; bacaan takbir yang diwajibkan hanya satu kali pada waktu takbirotul ihram. Tasyahud, shalawat dan salam hanya satu kali yang diwajibkan pada tahiyyat akhir. Namun bacaan al-Fatihah wajib dibaca pada setiap raka’at. Hal ini mengindikasikan ada sesuatu yang paling urgent dengan diwajibkan membaca al-Fatihah pada setiap raka’at. Bila dihitung sesuai dengan raka’at sholat wajib, maka jumlah surat al-Fatihah yang wajib dibaca ada 17 bacaan.
Al-fatihah adalah induk dari al-Qur’an, semua kandungan al-Qur’an tertera pada setiap kalimat yang ada. Diawali dengan disunnahkan membaca ta’awudz, memberi pemahan bahwa setiap gerak langkah kita selalu mohon perlindungan kepada Sang khaliq dari godaan dan perbuatan syaithoniyah. Kita hanya hambah lemah yang selalu membutuhkan perlindungan dari kejahatan musuh-musuh kita yang selalu menginginkan kita terjerembab ke dalam kesesatan.
Singkatnya, surat al-Fatihah, mulai dari ayat pertama “Basmalah” hingga ayat ke empat “maaliki yaumi al-ddin” adalah pujian kepada Sang Khalik atas anugrah Kasih-sayang-Nya serta kekuasaan yang dimiliki-Nya. Barulah ketika menginjak pada ayat ke lima, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain”, adalah kemurnian dan kesempurnaan cinta, taat, takut dan tunduk kepada Allah Robb sekalian alam. Serta tiada tempat meminta pertolongan, kecuali hanya kepada-Nya.
Permintaan pertolongan yang utama ialah terusan ayat selanjutnya. Ihdinash shiratal mustaqim, yang artinya “tunjukkan-lah kami jalan yang lurus”. Ini-lah sesungguhnya penekanan dalam setiap permintaan kita kepada Allah. Hidayah atau petunjuk adalah hal yang paling urgent bagi hidup kaum muslim. Saking urgent-nya sehingga Allah mewajibkan al-Fatihah sebagai rukun dalam setiap raka’at sholat.
Adapun yang dimaksud dengan “Shiratal mustaqim” atau jalan yang lurus ialah, sebagaimana penjelasan ayat selanjutnya, “shiratalladzina an’amta ‘alaihim”. Artinya “jalan orang-orang yang Kau beri nikmat kepada mereka”. Siapa yang dimaksud “mereka”, ialah para Nabi, para sahabat, syuhada’, dan orang-rang yang senantiasa berama shaleh. Bukan jalan oarng yang dimurkai pun pula bukan jalan orang-orang tersesat “ghoiril-maghdhluubi ‘Alaihim walaadhlolliin”.
Dengan senantiasa sungguh-sungguh memohon akan perlindungan, serta meminta hidayah dalam setiap roka’at sholat dapat dipastikan Allah akan menerima do’a hamba tersebut QS, al-Baqarah:186. Sehingga dalam setiap kehidupan seseorang hambah yang senantiasa mendapat perlindungan dan limpahan karuniah rahmat dan hidayah akan merasakan ketenagan, ketentraman serta kebaghagiaan yang hakiki di dunia hingga nanti pada batasnya. Dan kemudian berlanjut di akhirat dengan menerima imbalan sorga atas apa yang diperbuat di dunia.

Penutup
Islam memiliki segudang solusi untuk menyelesaikan masalah baik dunia maupun akhirat. Menurut Abuya Ahmad Ilham Masduqie bahwa kunci utama untuk meraih kebahagiaan dunia dan Akhirat terletak pada dua point. Berbakti kepada kedua orang tua dan penekanan kekhusyu’an dalam sholat terlebih pada  bacaan al-Fatihah, adalah dua faktor penting yang dimaksud, yang harus dilakukan oleh setiap individu muslim guna meraih keselamatan dan kebahagiaan hakiki baik di dunia terlebih di akhirat. Wallahu ‘A’lam Bi shawwab




[1] Masduqie, Abuya Ahmad Ilham, Buletin “Memelihara Iman Vol 1”, (Pandaan, )
[3] ZS. Nainggolan, Inilah Islam, Filsafat dan Keesaan Allah (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), hlm, 229.
[4] Ibid, 231-232.

Minggu, 23 Oktober 2011

KEDUDUKAN PENCARI ILMU DALAM ISLAM



Oleh: Muhammad Saad

Betapa Islam sangat memperhatikan dan mengapresiasi orang-orang berilmu yang senantiasa mengamalkan ilmunya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki Disiplin keilmuan sangat tinggi. Banyak sekali anjuran dalam kitab suci al-Qur’an agar kita menuntut ilmu, perintah agar kita membaca (iqra’), malakukan observasi (afalā yaraūna), eksploarasi (afalā yandzuruna), dan ekspedisi (sīrū fī l-rdhli), berpikir ilmiah rasional (li-qawmin ya’qilūn, yatafakkarūn).
Dorongan syar’i untuk belajar dalam Islam adalah suatu kewajiban bagi pribadi pemeluknya, yang konsekwensinya dosa bila tidak dilaksanakan. Hal ini berimplikasi positif karena telah membentuk komunitas masyarakat berilmu yang kemudian terciptalah budaya ilmu. Inilah yang kemudian menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam dibangun dengan konsep keilmuan. Dalam artikel ini akan dibahas klasifikasi Orang berilmu dalam Islam dan bagaimana keutamaan  pencari ilmu dalam perspektif Islam. Sebagai dorongan kepada kita untuk menkosntruks bangunan-bangunan peradaban Islam  dengan disiplin ilmu yang telah lama runtuh dan diinjak-injak oleh peradaban Barat  sekular-liberal.

Klasifikasi Orang Berilmu

Islam adalah satu-satunya agama yang sangat memperhatikan pendidikan umatnya. Ilmu didalam Islam memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya sehingga Allah menjadikannya sebagai parameter utama dalam mengklasifikasikan manusia. Di dalam firman-firman-Nya, berulang-kali dipaparkan kualifikasi seseorang berdasarkan kompetensi ilmiah yang dimilikinya (QS. Ali Imran: 18).
شهد الله انه لا اله الا هو والملائكة وأولوا العلم قائما بالقسط لا اله الا هو العزيز الحكيم
“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
 Dalam ayat tersebut Allah SWT, kemudian para malaikat, dan orang-orang yang berilmu yang senantiasa menegakkan kebenaran dari ilmunya menyatakan tiada tuhan selain Allah. Ayat ini menunjukkan betapa manusia yang memiliki ilmu dan konsekwen dengan ilmunya diklasifikasikan dengan malaikat, sedangkan malaikat sebagaimana dipahami dalam kitabullah adalah makhluk suci dan mulia yang selalu menurut pada perintah Rabb-nya.
Persaksian (Syahidah) adalah gerbang pembatas antara yang mukmin dan tidak beriman. Dengan demikian, syarat mutlak menjadi mukmin yang baik adalah berilmu pengetahuan yang memadahi. Bahkan Nabi memberi gambaran perbandingan orang beriman yang tidak berilmu dengan yang memiliki adalah berbanding tujuh ratus derajat dan setiap diantara dua derajat jauhnya mencapai lima ratus tahun. Mafhum mukhalafahnya tidak mungkin seseorang menjadi seorang mukmin yang baik dengan sedikit  pengetahuan. Ayat ini juga memberi pemahaman bahwa konsep ilmu dalam Islam selalu bertalian erat dengan keimanan, artinya Ilmu dalam Islam syarat dengan nilai-nilai religi yang menjadi sumber epistemologinya. Tidak seperti Barat yang beranggapan bahwa ilmu adalah bebas nilai. Ujung-ujungnya ilmu adalah sekuler.

Janji Allah adalah Haq

Segudang ayat dan hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang perintah dan kemuliaan orang yang berilmu. Disamping sebuah kewajiban yang dibebankan bagi setiap individu (farīdhlotu alā kulli musilimīn), dalam sebuah ayat (QS. Al-Mujadālah: 11), Allah menjanjikan derajat kemuliaan di akhirat bagi orang yang memiliki kualitas iman dan kompentensi ilmiah yang memadai, tentunya derajat kemuliaan tersebut dapat diperoleh ketika mengapikasikan ilmu pada tataran praktis.
Orang-orang yang mencari ilmu dan mengamalkannya adalah sebaik-baiknya ciptaan (walladzīna yakhsyawna Allaha hum khoyrul bariyyah). Kata “yakhsyawna” disematkan kepada ulama’ (innama yakhsya Allaha min ‘Ibādihi l-ulamā’), sedangkan kata “ulama” merupakan jama’  predikat dari orang-orang yang berilmu dan beramal shaleh (dari kata Alim). Disamping itu juga, para civitas akademika muslim adalah para penerus tampu perjuangan para nabi (waratsatu l-ambiyā’), tiada derajat lebih tinggi daripada derajat pewaris para nabi.
Dalam segala aktivitas menkaji ilmu dengan niatan ikhlas adalah kebajikan. Mempelajari esainya adalah perbuatan baik, menuntut ilmunya adalah ibadah, mengingat ilmu yang didapatkanya adalah bertasbih, membahas materinya adalah jihad, mengajarkan kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah (diriwayatkan Mu’adz bin Jabbal). betapa semua kegiatan akivitas berilmu kebajikan penuh dengan limpahan pahala. Dan masih banyak keutamaan-keutamaan orang yang memiliki ilmu yang tertera dalam kitab suci dan hadits Nabi saw.  
Dengan ilmu, seseorang dapat meraih kebahagiaan dunia, dengan ilmu seseorang   memperoleh kebahagiaan abadi di Akhirat, serta dengan ilmu seseorang mampu memperoleh kedua-duanya. Bahkan dengan ilmu pula keistimewaan dan keunggulan Akhirat dapat dihayati dan dipilih  seseorang  ketimbang dunia (QS. Al-Qashash: 80). Artinya preoritas-preoritas konsep hidup yang bahagia dapat ditentukan sendiri oleh mereka yang berilmu. Dengan ilmunya tersebut dapat menuntun dan mengarahkan seseorang untuk kehidupan yang layak dan bahagia dunia dan Akhirat. Wallahu A’lam bi shawwab

FENOMENA LEBARAN MASYARAKAT KOTA, SEBUAH PERGESERAN NILAI KEHIDUPAN


Oleh: Muhammad Saad

Saat lebaran kemarin saya mudik ke rumah mertua saya. Sebagimana biasanya, adat mudik merupakan rutinitas yang dilakukan masyarakat muslim Indonesia saat Labaran. Kebetulan acara mudik yang saya lakukan malah kebalikan orang-orang pada umumnya. Bila orang-orang memanfaatkan lebaran dengan mudik dari kota tempat mereka bekerja ke desa-desatempat tinggal mereka, saya malah mudik ke Kota tempat asal istri saya. Jadi istilah mudik buat saya mungkin kurang tepat buat saya.
Singkat cerita, ada fenomena yang sebenarnya aneh buat pribadi penulis, namun tanpa sadar telah menjadi kebiasaan, maka fenomena itu tidak asing. Fenomena apakah itu?.
Sebelum beberapa hari menjelang lebaran, hampir seluruh ummat muslim, baik di kota maupun di desa mempersiapkan kedatangan hari kemenangan tersebut. Mulai dari renovasi ekterior dan interior rumah sampai permak habis dandanan dirinya. Hampir tidak ada satupun toko pakaian yang tidak dikunjungi orang, semuanya laris manis diserbu pembeli  bak kacang goreng suguhan hari raya.
Di kota (tempat istri) ada kebiasaan menyabut hari lebaran yang menurut penulis cukup ekstrim. Ketika persiapan hari besar umat Islam itu, ada satu kebiasaan bagi perempuan-perempuannya berlomba memakai perhiasan sebanyak-banyaknya. Seolah-olah orang yang paling mulya dan paling dihormati saat itu adalah mereka yang memakai perhiasan yang paling banyak. Tidak perduli hal itu memakan budget yang besar dan tidak perduli pula perhiasan itu pantas atau tidak ketika dikenakan.
Maka pada saat itu bersaing membeli perhiasan sebanyak-banyaknya. Entah dari mana uang yang diperoleh, yang penting bisa memenuhi standar orang “mulya”. Bagi orang yang mampu tanpa susah payah merogoh kocek jutaan rupiah guna  membeli perhiasan sebanyak-banyaknya.  Bagi orang dengan ekonomi pas-pasan, mereka memutar otak bagaimana sekiranya dengan fulus yang pas-pasan mendapatkan perhiasan yang standar dengan si kaya. Maka si ekonomi menegah kebawah ini membeli emas dengan kualitas rendah, atau bahasa gaulnya emas muda. Dengan begitu, emas yang didapat akan berimbang jumlahnya dengan si kaya tanpa menguras hartanya.
 Beda lagi dengan si miskin, jangankan untuk membeli perhiasan untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka pontang-panting untuk memenuhinya. Akan tetapi mereka tetap ingin “fastabiqul khoirot” ala kehidupan kota, golongan ekonomi ke bawah ini mempunyai trik sendiri untuk bisa bersaing. Trik pertama, jika dirasa mereka memiliki harta semisal motor, televisi atau lainnya yang sekiranya bias dijual atau digadaikan, maka tanpa ragu-ragu mereka menjual atau mengadaikan harta tersebut guna mendapatkan perhiasan. kedua, namun bila tidak memiliki harta benda yang bisa dijual, maka mereka dengan sembunyi-sembunyi membeli perhiasan palsu dari kuningan yang mirip emas agar dianggap mampu membeli perhiasan.
Fenomena di atas  inilah yang sangat menggelitik pikiran penulis. Apa sebenarnya yang terjadi pada pola pikir masyarakat kota dan bagaimana dampak dari fenomena ini?.
Ternyata tanpa disadari mindset masyarakat modern ini telah bergeser dari polapikir yang spiritualistis menjadi materialistis. Agama yang merupakan salah satu pilar pokok yang menompang kehidupan keluarga, yang pada mulanya sebagai satu-satunya sistem yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lain yang ditawarkan (baca; dipaksakan) dari hasil produk globalisai. Ironsinya problem ini tidak lagi hanya mewabah pada level teori namun juga pada level praktis.
Tidak dapat dipungkiri bahwasannya problem paling berat yang dihadapi masyarakat sekarang ini adalah penyakit “masyarakat modern”. Di era modern seperti sekarang ini tantangan berbagai godaan menyelusup dan menyusup ke dalam kehidupan rumah tangga melalui teknologi komunikasi dan informasi yang cukup canggih. Sejak kecil, anak-anak tanpa disadari telah dijejali dengan berbagai kebudayaan yang menyimpang dari norma-norma sosial dan agama melalui media ini.
Adalah budaya global yang didominasi oleh budaya Barat, kini telah menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat, dan yang lebih dahulu terkena dampak dari hegemoni globalisasi adalah masyarakat kota. Salah satu praduk dari globalisasi yang menjangkiti masyarakat kota adalah budaya materialistik. Sebagaimana diketahui bahwasannya pandangan materialistis adalah cara pandang yang mengedepankan kehidupan yang terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan duniawi sesaat, seingga aktifitas yang dijalankan hanya berkutat pada permasalahan dunia seperti lapangan pekerjaan, pemenuhan kebutuhan jasad, pemuasan gaya hidup dll.
Ketika budaya materialistis telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka manusia merubah mindset-nya yang semula agama dan tradisi kultur menjadi dasar pola-pikir, ke hal-hal yang bersifat duniawi. Kemulyaan bagi mereka hanya milik orang-orang yang memiliki harta benda, tingginnya derajat hanya bagi mereka yang memiliki kesempurnaan fisik semata, sedangkan meraih ilmu bukan untuk kearifan dan taqarrub kepada Sang pencipta, namun untuk meraih posisi dan harta.  Disinilah letak pangkal kerusakan kehidupan. Bagaimana tidak, hidup akan menjadi sebuah medan pertempuaran guna meraih kekuasaan dan kehormatan.
Seharusnya hari raya idul fitri adalah moment untuk menjadikan diri setiap insan muslim manusia yang fitri dari dosa-dosa baik yang berhubungan dengan Ilahi atau haqul adami. Selama sebulan diberikan keistimewaan melaksanakan perbaikan diri dengan bertaqarrub serta memohon ampunan kepada Allah SWT. Singkatnya Bulan ramadhan memberikan fasilitas kemudahan bagi personalitas muslim menjadi hamba yang dicintai oleh Rabb-nya.
Idul Fitri pada hakikatnya perintah sunnah merayakan ungkapan rasa syukur atas kemenangan jihad Akbar melawan hawa nafsu duniawi selama satu bulan. Seseorang tidak dikatakan kembali kepada fitrah bila selesai puasa Ramadhan mentalnya masih memandang duniawi sabagai tolok-ukur dan tujuan akhir dari kehidupan. Apa lagi yang terjadi adalah sampai pada tingkat perlombaan pamer yang kemudian berakibat pada saling merendahkan satu sama lain.
Ironisnya, akibat virus materialism, prilaku demikian di kota telah menjadi tradisi, yang kemudian tradisi tersebut telah merubah mindset masyarakatnya menjadi sebuah paradigma baru yang kemudian dilestarikan turun-temurun. Bila hal ini terjadi, maka paradigma yang berkembang tersebut berubah menjadi sebuah ideologi yang memiliki kebenaran.
Padahal, Hal ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Pertama, Islam tidak menghendaki ummatnya merayakan hari raya dengan simbolik, bermewah-mewahan, Apalagi sambil memaksakan diri. Islam menganjurkan perayaan ini dengan kontemplasi dan tafakur tentang perbuatan kita selama ini. Hal ini dapat kita lihat dalam hadis Rasul yang artinya,
Bahwa hari raya ‘idul fitri bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba dan mewah tapi idul fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhannya semakin meningkat”.
Kedua, bermewah-mewahan dengan memamerkan harta dan benda adalah salah satu pernuatan dosa besar yang disebut dengan riya’. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa riya merupakan syirik kecil, walaupun dia syirik asghar, akan tetapi dosanya lebih besar dibandingkan pembunuhan dan perzinahan, karena dia merupakan kesyirikan, dan kesyirikan dosanya lebih besar dibandingkan dosa-dosa besar selain syirik. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Abu Sa’ad bin Abu Fudhalah Al-Anshari salah seorang sahabat Nabi -alaihishshalatu wassalam-, beliau  berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِيَوْمٍ لَا رَيْبَ فِيهِ, نَادَى مُنَادٍ: مَنْ كَانَ أَشْرَكَ فِي عَمَلٍ عَمِلَهُ لِلَّهِ فَلْيَطْلُبْ ثَوَابَهُ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ
“Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir pada hari kiamat-yang tidak ada keraguan dalamnya-, maka akan ada seorang penyeru yang menyeru, “Barangsiapa berbuat syirik dalam suatu amalan yang dia kerjakan untuk Allah, hendaknya dia meminta balasan pahalanya kepada selain Allah tersebut. Karena sesungguhnya Allah Maha tidak membutuhkan sekutu.” (HR. At-Tirmizi no. 3079, Ibnu Majah no. 4193, dan Ahmad no. 17215, serta dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 482).
Ketiga, yang lebih berbahaya ialah keyakinan atas kebenaran tradisi tersebut berubah menjadi paradigma yang kemudian membentuk sebuah ideologi. Sudah fitrah manusia cenderung membela ideologinya karena dianggap memiliki kebenaran. Padahal dalam kacamata Islam, prilaku bermewah-mewahan dalam lebaran adalah sebuah kesalahan. Adalah sebuah kesalahan fatal bila melakukan perbuatan salah yang dianggap benar. Dalam pandangan Islam hal ini bisa berakibat terjerumus dalam dosa kekafiran karena menganggap perbuatan dosa sebagai kebenaran.
Tradisi lebaran di kota itulah yang kini menjadi salah satu dari sekian fenomena pergeseran nilai-nilai dari masyarakat kota. Dampak dari dari pergeseran nilai tersebut telah masuk kedalam dimensi keimanan. Hal ini sangat berakibat fatal karena bisa menjebak manusia dalam perbuatan dosa bahkan tidak menutup kemungkinan terjerembab pada kekafiran. Wallahu A’lam bi showwab

Selasa, 13 September 2011

URGENSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN

URGENSI ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN MODERN
Oleh:
Muhammad Saad

Pendahuluan.
Ilmu pengetahuan modern disamping membawa manfaat yang cukup signifikan, yaitu dengan membantu kebutuhan hajat hidup manusia. Ternyata di sisih lain telah menimbulkan problem yang krusial. Problem yang mendasar pada umumnya terdapat pada epistemologi dan  metodologi.  Problem tersebut berdampak pada permasalahan teologis. Berangkat dari titik ini, maka bagi penulis Islamisai Ilmu pengetahuan sangat urgent diperlukan.
Dalam tulisan ini, penulis dengan berbagai keterbatasan mencoba menjelaskan, pertama, problem ilmu modern menurut Mulyadi Karta Negara dan Syaid Naquib al-Attas. Kedua, dampak ilmu modern. Ketiga, Islamisasi Ilmu Pengetahuan modern.

Problem Ilmu Modern (Mulyadi Karta Negara)
Perlunya proyek Islamisasi ilmu pengetahuan oleh intelektual muslim di tengah-tengah perkembangan ilmu modern, adalah perihal yang urgent. Menurut Mulyadi karta Negara guru besar filsafat Islam, urgentnya islamisasi ilmu pengetahuan disebabkan pandangan ilmu modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius, terutama pada sudut pandang teologi. Jika dipandang secara umum, seolah-olah tidak ada titik temu yang menjadi problem dalam sudut pandang akidah (teologi) Islam. Namun bila lakukan kajian lebih intensif  malalui ruang lingkup dan metodologi ilmu modern, maka akan terlihat perbedaan fundamental yang terjadi dalam sistem epistemologi antara satu dengan lainnya. Hal inilah yang kemudian berdampak kepada aspek teologi sebagai konskensi logisnya.
Pertama, kajian kita terfokus kepada ruang lingkup ilmu modern. Sebagaimana yang sudah  mafhum, bahwa ilmu pengetahuan modern lahir dari ilmuwan-ilmuwan Barat yang hanya berorientasi pada obyek indrawi. Hal ini dapat dilihat dari definisi ilmu itu sendiri, yaitu “ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris”. Artinya bahan atau sudut tinjauan sasaran pembicaraan dan penelitian ilmu pengetahuan modern berkutat pada hal-hal yang bisa dirasakan oleh pengalaman panca indra. Misalnya: manusia, ekonomi, alam, dan hukum. Dengan demikian, obyek ilmu modern telah menafikan diri dari permasalahan nonempiris atau metafisika. Pembatasan lingkup ilmu modern terhadap indrawi sebagai satu-satunya realitas yang ada, seperti tercermin dari paham positivisme, matrealisme, dan sekularisme.
Bila obyek pengetahuan dalam ilmu modern adalah empirik, maka metodologi untuk mendapatkan ilmu tersebut adalah menggunakan metode observasi. Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi. Di sini pendekatan rasional digabungkan pedekatan empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Tujuan dari pengolaborasian pendekatan tersebut ialah: pertama untuk menyusun pengetahuan secara konsisten dan akumulatif, dan kedua untuk memisahkan antara pengetahuan yang fakta dan tidak. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwasannya indrawi yang menjadi satu-satu sumber otoritas  pengetahuan, sedangkan rasio hanya sebagai penyusun dan pengumpul data pengetahuan. Sehingga hal ini menjadi penyebab utama penegasian terhadap realitas obyek yang ghaib.
Pembatasan ruang lingkup dan metodologi inilah yang telah memberikan sinyal bahwa ternyata dunia keilmuan Barat modern membawa problem serius bagi Islam, meskipun di sisi  teknologi menghasilkan penemuan-penemuan mutakhir, seperti teknologi modern di dalam berbagai bidang, dan masih banyak yang lainnya. Bagi Barat, pertanyaan-pertanyaan metafisis tidak memiliki akar nilai epistemologis. Sebagimana pernyataan Immanual Kant yang dikutip oleh Adnin Armas peneliti INSIST, bahwa bagimanapun metafisika adalah tidak mungkin karena tidak berdasarkan panca indra. Menurut Kant, metafisika tidak memuat pernyataan-pernyataan synthetic a priori seperti yang wujud dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai ilusi transendent (a transcendental illusion). Epistologis yang cenderung mengarah ke sekular bahkan Atheis inilah yang kemudian menjadi perbedaan fundamental dengan konstruk epistemologi di dalam Islam.

Problem ilmu modern (Syaid Naquib al-Attas)
Syaid Naquib al-Attas menyebut gejala ilmu pengetahuan modern sebagai westernisasi ilmu. Menurut al-Attas westernisasi ilmu pengetahuan adalah hasil dari kebingungan dan skeptisisme. Westwernisasi ilmu telah mengangkat dugaan dan keraguan sebagai metodologi ilmiah, kemudian menjadikan keraguan sebagai satu-satunya epistemologi  dalam mencari kebenaran, menolak wahyu dan agama dalam ruang lingkup keilmuan, serta menjadikan filsafat sekular dan Humanisme-antroposentris sebagai alternatif basis keilmuan. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyimpulkan ilmu pengetahuan modern yang dibangun di atas visi intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat dijiwai oleh 5 faktor: (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Akibat dari metodologi yang dibangun atas dasar keraguan, maka hasil yang mereka capai adalah tidak bersifat final, terus berkembang, dan selalu mengalami perubahan. Hal demikian dikatakan oleh Dr. Syamsuddin Arif (peneliti INSIST) sebagai ‘’kangker Epistemologi’’.  Pengidap ‘’Kangker Epistemologi’’, menunjukan gejala-gejala sebagai berikut : (1), Skeptis terhadap segala hal, dari soal sepele hingga ke masalah-masalah prinsipil dalam agama. Bagi mereka qath’i dan bayyin adalah sama dan patut diperdebatkan. (2). Relativistik,  pengidap relativisme tersebut menganggap semua kebenaran bersifat relatif (termasuk Agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebaginya). Jika para skeptis menolak semua kebenaran, maka para relativisme menganggap semua adalah benar. (3). Gejala lain dari pengidap kangker ialah mereka mengalami kekacauan ilmu (cognitive confusion). Mereka tidak mampu membendakan benar dan salah, hak dan bathil.
Penolakan terhadap realitas (Tuhan) atas nama ilmu dapat dilihat pada Carles Darwin (w. 1882 M), seorang ahli biologi yang terkenal dengan teori evolusinya. Penulis buku the origin of species ini berasusmsi bahwa teori kejadian makhluk berawal dari sekitar 3.5 milyar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu “berevolusi” menghasilkan aneragam species baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru yang bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. Dalam otobografinya, dia menyatakan :
Argumen desain yang selama ini dirasakan sangat meyakinkan, ternyata telah gagal. Kini hukum seleksi ilmiah telah ditemukan. Sekarang ini kita tidak dapat lagi mengatakan bahwa engsel kerang indah, misalnya, harus merupakan hasil perbuatan suatu Wujud yangcerdas (Tuhan), sebagaimana engsel pintu hasil perbuatan manusia.
Dari penyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelumnya Darwin adalah seorang yang percaya akan eksistensi Tuhan (theis). Akibat terpengaruh oleh pandangan ilmiahnya, ia menjadi Atheis. Inilah bukti kongkrit bahwa perspektif ilmu modern bisa menjadikan seseorang Atheis atau paling tidak sekularis.  

Dampak Metodologi Ilmu Modern terhadap Agama
Ketika konsep bangunan epistemologi dan metodologi Barat skular ini diadopsi di dalam ranah ilmu keagamaan, maka yang terjadi kehancuaran sakralitas nilai-nilai agama tersebut. Sebagimana yang kita pahami di atas bahwa, nilai-nilai ilmu modern hanya berasas pada realitas empirik. Bila hal ini dijadikan metodologi dan epistemologi ke dalam studi ilmu Islam, maka yang pertama-tama dilakukan adalah relativisasi terhadap sumber dan obyek pengetahuan non empiris. Mengapa demikian ?, sebab metodologi dan epistemologi modern tidak menerima metafisik. Bila ‘terpaksa’ masuk wilyah religi, maka apapun konsep metafisik, termasuk Tuhan yang menjadi sumber otoritas dalam Agama harus tunduk kepada akal. Setiap orang berhak mendifinisikan sesuai dengan rasio masing-masing. Bila semua berhak membuat batasan masing-masing, maka semua konsep tentang realitas metafisik adalah relatif karena lahir dari budi setiap manusia. Bila sumber dan obyek dianggap relatif, maka produk yang dihasilkan-pun otomatis menjadi relatif.
Contoh refleksi dari relativisme pemikiran tentang keagamaan adalah ide pluralisme agama. Pluralisme Agama adalah sebuah paham yang mengkampanyekan bahwa semua Agama ada benar.  Berbagai teori diajukan oleh para penganjurnya untuk menjadi legitimasi pembenaran terhadap ide mereka.
Terlepas dari tujuan tendensius, inilah merupakan hasil dari hegemoni metode ilmiah modern terhadap disiplin keilmuan Islam. Alih-alih mencari kebenaran obyektif, bebas nilai, dan universal, ternyata malah jatuh ke dalam paradoks. Kebenaran yang diyakini tsawabits di dalam Islam, didekonstruksi menjadi pemahaman yang meragukan. Islam sebagai agama yang diyakini kebenarannya oleh pemeluknya, dirubah menjadi kebenaran yang nisbi.
Padahal, konsep ilmu pengetahuan bersifat obyektif masih menjadi pro dan kontra. Bagi yang mengikuti pendapat ini, beranggapan bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, sehingga perbedaan antara ilmu pengetahuan modern dan Islam adalah semu. Ilmu, bagi mereka adalah netral, tidak memihak. Baik dan jahatnya sebuah ilmu pengetahuan tergantung ilmuwanya. Sedangkan kelompok kedua, menolak pandangan yang pertama. Ilmu bagi mereka, sama sekali tidak bisa terlepas dari subyektifitas sang ilmuwan.
Apakah betul ilmu itu bisa benar-benar obyektif ?. Holmes Rolston, Seorang  profesor  filsafat di Colorado State University yang mendapat gelar di bidang fisika dan matematika, misalnya menyatakan dalam bukunya ‘Science and Religion : A Critical Survey’, ‘’bahwa seorang peneliti akan terwarnai oleh apa yang mereka teliti atau paling tidak menyumbang skema konseptual yang menyaring apa yang mereka ketahui.’’ Memang benar ilmu dapat diminimalisir dari subyektivitas, akan tetapi tidak bisa dihilangkan. Semakin seorang mencoba memasuki komponen akhir dari materi, semakin itu pula tidak bisa dilepaskan dari subyektivitas. Kesimpulan dari Rolston bahwa (bahkan) fisika, kimia, dan astronomi, tiga bidang ilmu yang dipandang paling obyektif sekalipun, tidak bisa lari dari subyektivitas. Sebaliknya mereka bahkan semakin subyektif saja.
Jadi menurut hemat penulis, ide Pluralisme agama adalah merupakan implementasi dari kerancuan berfikir yang disebabkan oleh adopsi besar-besaran terhadap epistemologi dan metodologi ilmu pengetahuan Barat modern yang bersifat obyektif relatif. Disamping ada tendensi tertentu yang tidak perlu diungkapkan oleh penulis.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan konteporer.
Mendiagnosa virus yang terkandung dalam Westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib al-Attas mengobatinya dengan Islamisasi ilmu. Menurut Al-Attas, Islamisasi ilmu lahir dari idenya terhadap Islamisasi secara umum. Al-Attas mendifinisikan Islamisasi ialah ‘’pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Artinya seorang muslim memiliki konsep tersendiri tentang konsep metafisika yang datang berupa wahyu bukan berupa mitos, animisme, yang bersifat universal (tidak terikat budaya dan bangsa), serta terbebas dari sekular. Islamisasi adalah satu proses pengembalian kepada fitrah.
Al-Attas memilih konsep ‘’Islamisai Ilmu pengetahuan Kontemporer’’ adalah dipandang lebih tepat. Sebab menurut Prof. Wan. Mohd Nor terma-terma teknikal tersebut labih dikhususkan kepada ilmu kontemporer Barat yang penuh dengan problem. Bila hanya menggunakan susunan kata ‘’Islamisasi ilmu pengetahuan’’ saja, maka akan berimplikasi bahwa semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu tradisi Islam yang berdasrkan pada al-Qur’an dan Sunnah, yang dikembangkan oleh ilmuwan Muslim adalah belum Islami dan oleh sebab itu perlu diislamkan. Padahal ilmu-ilmu tradisi Islam tidak pernah mengalami pelepasan diri dari Tuhan sebagai sumber otoritas kebenaran.
Justru yang terjadi pada masa itu adalah proses akuisisi, di mana sains Yunani memasuki wilayah peradaban Islam sebagai tamu yang diundang. Pada tahap pertama sang tuan rumah bersikap jaga jarak dan hati-hati. Kemudian adalah fase penerimaan atau adopsi, dimana tuan rumah mengambil dan menikmati oleh-oleh yang dibawah sang tamu. Lahirlah orang-orang seperti Jabir ibn Hayyan (815 M), dan al-Kindi (w. 837 M).  proses ini terus berlanjut ke tahap berikutnya yang disebut proses asimilasi dan naturalisasi atau lebih tepatnya Islamisasi. Pada tahap ini tuan rumah bukan sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai mampu meramu dan memasak hidangan sendiri, mencipta menu baru, membuat dan memasarkannya ke masyarakat luas. Inilah yang ditunjukkan oleh al-Khawarizmi (w. ca. 853 M), Umar al-Khayyam ( w. 1132 M), dalam Matematika, Ibn Sina (w. 1037 M) dan Al-Nafis (w. 1288 M) dalam kedokteran, dan masih banyak yang lainnya.
Islamisasi bukan berarti menafikan semua paradigma Barat terhadap epistemologi, karena menurut Naquib ada persamaan antara epistemologi Barat dan Islam. Persamaan antara Islam dengan filsafat dan sains modern menyangkut sumber dan metode ilmu, kesatuan cara mengetahui secara nalar dan emperis, deduktif dan induktif. Perbedaan antara keduannya adalah sangat mendasar yaitu, terletak pada pandangan hidup (divergent wordview) mengenai Realitas akhir. Di dalam Islam, Wahyu merupakan merupakan sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk dan ciptaan dan pencipta. Wahyu merupakan dasar kerangka metafisis untuk mengupas filsafat sains sebagi sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran dari perspektif rasionalisme dan emperisme. Sedangkan Barat memandang realitas hanya fenomena alam. Karena hanya sebuah fenomena, maka bagi mereka realitas tidak final,  selalu berubah. Penemuan terhadap realitas hanya sebuah hipotesa, yang akan disusul hipotesa selanjutnya, dan akan berjalan begitu seterusnya.
Ide Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer terbit dari premis bahwa ilmu pengetahuan kontemporer yang berdalih bebas nilai, ternyata tidak bebas nilai (free value) dan tidak juga bersifat universal karena telah melalui proses sekularisasi dan westernisasi dari penguasa. Al-Attas menegaskan bahwa ‘’ilmu bukannya netral, bahkan dapat disusupi dengan sifat dan kandungan yang menyerupai ilmu’’. Menyadari hal tersebut al-Attas berkesimpulan bahwa ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan di dunia Muslim. Ilmu Barat bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi penyebarluasan cara pandang hidup suatu kebudayaan. Dan itu terbukti, pada saat ini peradaban Barat begitu menghegemoni peradaban lain, lebih-lebih peradaban Islam. Itu semua adalah hasil dari penyebarluasan ilmu pengetahuan Barat modern ke seluruh pelosok dunia.
Islamisasi ilmu pengetahuan modern, menurut al-Attas harus diawali pengidentifikasian terhadap wordview Islam dan sekaligus mampu memahami budaya Barat. Pandangan-hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti obyektif dan subyektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhid). Pandangan-hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi Pandangan-hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan.
Setelah mengetahui wordview Islam secara mendalam, kemudian melakukan Islamisasi bahasa, dan ini dibuktikan oleh al-Qur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Jadi, ‘’bahasa, pemikiran dan rasionalitas berkaitan erat dan saling bergantung dalam memproyeksikan wordview atau visi hakikat (reality) kepada manusia. Konsep Islamisasi yang umum ini dengan sendirinya akan membawah islamisasi ilmu disebabkan pemikiran dan rasionalitas yang sudah diIslamkan, sebagimana disosialisasikan oleh Mulyadi Karta Negara dalam bukunya ‘’Mengislamkan Nalar Sebuah Respon Terhadap Modernitas’’.
Barulah setelah itu melakukan Islamisasi secara sistematis yang melibatkan dua proses yang saling terkait. Pertama ialah proses pengisolasian unsur-unsur dan konsep-konsep utama Barat dri ilmu tersebut. Adapun unsur-unsur Barat adalah (1) akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; (5) menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Kedua, memasukkan unsur-unsur  dan konsep-konsep utama Islam dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevant.  Al-Attas menyarankan unsur dan konsep utama Islam yang terdiri (1) Manusia; (2) din; (3) Ilm dan Ma’rifah; (4) hikmah; (5) ‘adl; (6) amal-adab; dan (7) kulliyah-jammiyah (konsep universitas). Semua unsur hendaknya disadur dalam konsep Tawhid, shariah, akhlak, sunnah, dan tarikh. Beliau menolak konsep Islamisasi yang hanya memindah, menempelkan sains dan prinsip Islam atas sains skular, karena ini akan memperburuk keadaan sebab virus sekular masih terdapat tubuh Islam.
Dengan menkonversi ilmu pengetahuan kedalam konsep Islam, maka dihasilkan pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme, tradisi kebudayaan kebangsaan, dan dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Sehingga ilmu pengetahuan menjadikan pribadi ilmuwan sebagai pribadi yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni sekaligus kekuatan theologi yang tidak diragukan.

Kesimpulan.
Fenomena Atheisme, sekularisme, liberalisme yang menghinggapi baik para ilmuwan maupun para Agamawan adalah hasil yang ditimbulkan virus yang terdapat dalam ilmu pengetahuan modern. Virus tersebut terdapat epistemologi Barat modern, yang diistilahkan oleh Dr. Syamsuddin Arif sebagai Kangker epistemologi.  Virus tersebut, adalah menjadikan empiris sebagai satu-satunya sumber realitas pengetahuan. Dengan demikian, metafisis dinegasikan eksistensinya sebagai sumber pengetahuan. Bagi mereka metafisika tidak bisa diakui keberadaannya karena tidak bisa berdasarkan panca indra, metafisika hanya sebagai Trancedenatal illusion. Bagi mereka yang terserang virus epistemologi Barat memiliki tiga gejala; (1). Skeptis, (2). Relatif, (3). Cognitif confision.  Virus tersebut yang kemudian menjadi standard ruang lingkup ilmiah modern.
Karena menimbulkan problem yang berdampak  pada ranah teologi, maka para ilmuwan Islam melakukan Islamisasi terhahadap ilmu pengetahuan kontemporer. Sebenarnya Islamisasi sejak dahulu sudah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Namun, Prof. Dr. Syaid Muhammad Naquib al-Attas adalah ilmuwan Muslim pertama yang meformulasikan Islamisasi secara sistematis pada tahun 1980 M. Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas tidak serta-merta mengadopsi ilmu modern, yang kemudian diberi label Islam. Akan tetapi Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer adala revolusi epistemologi Barat. Revolusi epistemologi, bukan berarti merubah segalanya yang datang dari Barat, namun membuang wordview Barat tentang penegasian terhadap Realitas metafisis.
Tujuan Islamisasi ilmu pengetahuan modern adalah untuk membentengi ummat Islam dari virus epistemologi Barat yang berdampak kepada aqidah dan menjadi penambah keimanan kepada Allah. Yang menurut Al-Attas islamisasi ilmu pengetahuan adalah untuk pembebasan manusia, mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan, dan kemudian dari penguasa sekular atas akal dan bahasanya. Wallahu a’lam bisshawwab.








DAFTAR PUSTAKA

Adib, Muhammad, “Filsafat Ilmu”, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2010.
Arif, Syamsudin, “Aroma penghinaan dalam Sains Modern”, http://www.republika.co.id. 2010.
Arif, Syamsuddin, “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran”, GIP, Jakarta, 2008.
Armas, Adnin, “Dewesternisasi dalam Islam, dan Islamisasi ilmu Pengetahuan”, http://www.insistnet.com.
Armas, Adnin, Makalah “Krisis Epistemologis dan Islamisasi”, Gontor, Ponorogo, 2006.
Bazlie Syafie, Ahmad, “Evaluasi Terhadap analisa perbandingan antara Konsepsi Islamisasi al-Attas dan al-Faruqi”, ISLAMIA, Edisi VII.
Hashim, Rosnani, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Konteporer”, ISLAMIA, edisi VI.
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal. Sejarah, Konsepsi, penyimpangan dan Jawabannya”, GIP, Jakarta, 2002.
Karta Negara, Mulyadi, “Mengislamkan Nalar, Sebuah Respon Terhadap Modernitas”, Penerbit Erlangga”, Jakarta, 2007.
Malik Thoha, Anis, “Tren Pluralisme Agama”, Perspektif, Jakarta, 2005.
Sani, Mohammad Mahmud, “Pengantar Ilmu Pendidikan”, Scientifica Press, Mojokerto, 2009.