Cari Blog Ini

Selasa, 17 Januari 2012

IKHLAS KUNCI KEMENANGAN DAKWAH


Oleh: Muhammad Saad*

قَالَ رَبِّ بِمَا اَغْوَيْتَنِي لَاُزَيَّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ () اِلَّا عِبَادِكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka (Qs. 38; 82-83)

Terkadang perjuangan dalam medan dakwah sering kali menjadi dilematis ketika dibenturkan dengan perjuangan terhadap diri sendiri “jihad an-nafs”. Sehingga tidak sedikit umat ini yang terjebak dalam lingkaran kebingungan antara pilihan jihad fi da’wah dengan jihad fi annafs.  Di satu sisi, perintah jihad fi sabilillah dalam konteks dakwah adalah wajib ain untuk saat ini bagi mereka yang mumpuni dalam arti memiliki ilmu, namu di satu sisi jihad an-nafs seperti memerangi riya’,takabbur, ujub, hasad adalah wajib ain bagi tiap-tiap diri umat Islam dalam setiap tingkah perbuatannya. Alih-alih takut terperosok dalam jurang penyakit hati, pada akhirnya banyak umat yang malah terjebak untuk meninggalkan jihad fi-adda’wah.

Padahal telah jelas bahwa pada era saat ini perjuangan dalam dunia dakwah terutama dalam konteks pemikiran adalah sebuah kewajian ain bagi mereka yang dianigrahui ilmu. Ghazwatul fikr (perang pemikiran) telah ditabuhkan para orientalisme dan antek-anteknya yang mana dampak fitnah dari perang pemikiran lebih bahaya dari pada perang fisik melawan kuffar (al-fitnatu asyaddu min al-qatl).

 Bila perang fisik yang dilakukan umat Islam seperti di Palistina, Afganistan, Mindanao atau daerah konflik lainya hanya beresiko luka, cacat dan mungkin kematian secara fisik. Jika semua dilakukan dengan ikhlas, maka imbalan yang diterima ialah surga yang haq, setiap debu yang menempel di tubuh para syuhada’ akan menjadi pelindung diri dari jilatan api neraka. Sedangkan mereka yang meninggal dalam medan perang, maka tiada kematian bagi mereka. Burung-burung hijau akan memerbangkan ruh para syuhada’ ke persinggahan serambi Surga yang telah dijanjikan oleh Allah guna menunggu masanya. Itula janji Allah bagi mereka para pejuang muslim yang berhadapan dengan musuh secara fisik dan nyata.

Namun implikasi dari perang pemikiran adalah  merajalelanya  pengingkaran terhadap hukum-hukum tsawabit dan dekonstruksi point-point teologi seperti menggugat al-Qur’an sebagai kalamullah. Singkatnya, dampak perang pemikiran adalah menghilangkan keimanan umat Islam yang dibingkai keindahan yang berujung pada kemurtadan tanpa dirasakan. Inilah yang dimaksud dengan fitnah (agama) itu lebih dahsyat dari pembunuhan. Maka perintah melawan perang opini pemikiran saat ini adalah fardhlu ain bagi setiap umat Islam yang nanpu melaksanakannya.

Jawaban atas kebingungan antara pilihan jihad fi sabilillah fi siyaq ad-da’wah dengan jihad an-nafs adalah mensinergikan keduanya dengan koridor ikhlas yang terkonsep dalam ajaran Islam. Dengan konsep ikhlas, maka seseorang akan dapat melaksanakan perintah wajib dari kedua jihad tersebut tanpa tersesat dalam lingkaran setan. Lalu pertanyaannya bagaimana yang disebut dengan ikhlas menurut Islam?

Pengertian Ikhlas.
Ikhlas secara lughat  berarti “bersih/murni tidak tercampur dengan apapun”. Dalam istilah, Ikhlas sebagaimana diartikan beberapa ulama’. Menurut syaikh Ibrahim bin Adham bahwa “akhlas adalah gerak dan diamnya seorang hamba semata-mata ditujukan kepada Allah”. Sedangkan menurut Abu Usman “ikhlas adalah melupakan perhatian makhluk dan memfokuskan diri pada perhatian Sang Pencipta”[1].

Dari dua pengertian istilahi tentang ikhlas di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari konsep ikhlas dalam Islam adalah; pertama, ikhlas intinya beramal dalam kehidupan hanya untuk mengharap ridhlo Allah. Kedua, yang bisa dikatakan sebagai orang ikhlas (mukhlis) hanyalah muslim yang mukmin, sedangkan orang ghairul muslim, meski dia berbuat kebajikan dengan tulus tidak bisa dikategorikan sebagai mukhlis karena mereka tidak terkena taklif[2].

 Ketiga, Syarat agar bisa beramal dengan ikhlas adalah dengan ilmu, Karena konsep ‘abiid (hambah) dalam  ayat  QS. Shaad di awal muqaddimah, ayat “illa ‘ibaadika minhum al-mukhlishina”. Lafadz “Ibaadika” sinergis dengan lafadz ‘ibadihi’ dalam QS…. (innama yakhsya allaha min ibaadihi al-ulamma’). Maka lafadz “ibaadika”memiliki pengertian yaitu seorang mukmin yang berilmu dan dengan ilmunya dia akan patuh kepada Allah dengan Ikhlas. Hal ini dipertegas oleh Syaikh imam Junaidi al-Baghdadi “sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang berilmu, setelah berilmu kemudian mereka mengamalkan ilmunya dengan ikhlas”.[3]

Ikhlas Menghantarkan Kemenangan
Ikhlas bisa menghantarkan seseorang menjadi tegar dan sabar dalam menghadapi rintangan, baik dari dalam maupun luar dirinya. Karena seorang mukhlis adalah orang yakin akan janji-janji Allah, setiap apa ia lakukan ia yakini mendapatkan imbalan dari sang Khaliq (wa maa tunfiqu fii sabilillahi yuwaffa ilaikum wa antum laa tudhlamuun). Ikhlas juga menghatarkan muslim terlindung dari perbuatan keji dan mungkar (kadzaalika linnusharrifu ‘anhu ssuu’ wa al-fahsya, QS, Yusuf, 24) karena setan tidak akan pernah mampu menjerumuskan para mukhlashin dalam lobang kesesatan (illa ‘ibaadaka minhum al-mukhlashin).

Di sinilah letak kemenangan bagi seorang muslim yang sedang melaksanakan pengabdian dakwah. Konsep kemenangan dalam Islam bukan terpaut pada hasil perjuangan, namun terletak pada ketetapan memegangi agama (tsabbit aqdaamana, QS.2. 250) serta istiqamah (tsumma staqaamuu, QS. 46: 13) dalam perjuangan dengan ikhlas sampai akhir kehidupan.

Sejarah telah membuktikan bahwa puncak kejayaan Peradaban Islam, karena jasa pejuangnya yang ikhlas dalam mengemban misi mulya. Dimulai dengan sang figur suri tauladan Nabi Besar Muhammad Saw, diteruskan oleh Sahabat-sahabat beliau, yang kemudian berlanjut ke murid-murid para sahabat atau yang disebut para tabi’in dan pada akhirnya disempurnkan oleh para tabi’ittabi’in. Saat itulah Islam mencapai zaman kejayaannya dengan menaklukan wilayah pusat-pusat penting di Dunia, dan menjadi satu-satunya peradaban dunia yang berasazkan ilmu. Hal itu dilakukan oleh para pejuang didikan Rasul Saw dengan mengutamakan keikhlasan li ridallahi Ta’ala, bukan mengejar kejayaan untuk ketenaran duniawi.

Penutup
Pada masa sekarang, perjungan dalam medan dakwah sangat-sangat dibutuhkan, mengingat fitnah Agama telah merajalela. Namun di sisih lain, dakwah pada diri sendiri adalah sebuah fardhu ain yang harus selalu dilakukan. Tak jarang seorang muslim terjebak dalam dua kewajiban yang bersamaan. Jika melaksanakan jihad fi sabilillah fi siyaqi dda’wah, mereka takut tergelincir dalam penyakit hati seperti riya’ ujub, takabbur dan lainya. Alih-alih menghidari penyakit hati, seorang muslim meninggalkan kewajiban berdakwah.

Kunci untuk menghindari lingkaran setan tersebut adalah tetap melaksanan dua kewajiban ain itu dengan dilandasi ikhlas. Sebab jaminan dari Allah bagi orang yang beramal dengan ikhlas adalah, setan tidak mampu menjerumuskanya ke dalam lubang kemakshiatan. Wallahu ‘a’lam bi shawwab.

*Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’ Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto.




[1] Rahman, Fathur, “Awas Godaan Setan, cara cerdas mengenal bisikan setan”, (Pustaka Insan Madani: Jogjakarta, 2008), hal. 120.
[2] Hasib, Kholili, “Ikhlas itu cerdas”, http//www.fajarislamonline.com
[3] Rahma, Fathur, “awas Godaan…, hal. 120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar