Oleh: Muhammad Saad*
قَالَ رَبِّ بِمَا اَغْوَيْتَنِي لَاُزَيَّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ
وَلَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ () اِلَّا عِبَادِكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan
bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di
muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba
Engkau yang mukhlis di antara
mereka (Qs. 38; 82-83)
Terkadang perjuangan dalam medan
dakwah sering kali menjadi dilematis ketika dibenturkan dengan perjuangan
terhadap diri sendiri “jihad an-nafs”. Sehingga tidak sedikit umat ini
yang terjebak dalam lingkaran kebingungan antara pilihan jihad fi da’wah
dengan jihad fi annafs. Di satu
sisi, perintah jihad fi sabilillah dalam konteks dakwah adalah wajib ain
untuk saat ini bagi mereka yang mumpuni dalam arti memiliki ilmu, namu di satu
sisi jihad an-nafs seperti memerangi riya’,takabbur, ujub,
hasad adalah wajib ain bagi tiap-tiap diri umat Islam dalam setiap
tingkah perbuatannya. Alih-alih takut terperosok dalam jurang penyakit hati,
pada akhirnya banyak umat yang malah terjebak untuk meninggalkan jihad
fi-adda’wah.
Padahal telah jelas bahwa pada era
saat ini perjuangan dalam dunia dakwah terutama dalam konteks pemikiran adalah
sebuah kewajian ain bagi mereka yang dianigrahui ilmu. Ghazwatul fikr
(perang pemikiran) telah ditabuhkan para orientalisme dan antek-anteknya yang
mana dampak fitnah dari perang pemikiran lebih bahaya dari pada perang
fisik melawan kuffar (al-fitnatu asyaddu min al-qatl).
Bila perang fisik yang dilakukan umat Islam
seperti di Palistina, Afganistan, Mindanao atau daerah konflik lainya hanya
beresiko luka, cacat dan mungkin kematian secara fisik. Jika semua dilakukan
dengan ikhlas, maka imbalan yang diterima ialah surga yang haq, setiap debu
yang menempel di tubuh para syuhada’ akan menjadi pelindung diri dari jilatan
api neraka. Sedangkan mereka yang meninggal dalam medan perang, maka tiada
kematian bagi mereka. Burung-burung hijau akan memerbangkan ruh para syuhada’
ke persinggahan serambi Surga yang telah dijanjikan oleh Allah guna menunggu
masanya. Itula janji Allah bagi mereka para pejuang muslim yang berhadapan
dengan musuh secara fisik dan nyata.
Namun implikasi dari perang pemikiran
adalah merajalelanya pengingkaran terhadap hukum-hukum tsawabit
dan dekonstruksi point-point teologi seperti menggugat al-Qur’an sebagai
kalamullah. Singkatnya, dampak perang pemikiran adalah menghilangkan keimanan
umat Islam yang dibingkai keindahan yang berujung pada kemurtadan tanpa
dirasakan. Inilah yang dimaksud dengan fitnah (agama) itu lebih dahsyat dari
pembunuhan. Maka perintah melawan perang opini pemikiran saat ini adalah fardhlu
ain bagi setiap umat Islam yang nanpu melaksanakannya.
Jawaban atas kebingungan antara pilihan
jihad fi sabilillah fi siyaq ad-da’wah dengan jihad an-nafs
adalah mensinergikan keduanya dengan koridor ikhlas yang terkonsep dalam ajaran
Islam. Dengan konsep ikhlas, maka seseorang akan dapat melaksanakan perintah
wajib dari kedua jihad tersebut tanpa tersesat dalam lingkaran setan. Lalu
pertanyaannya bagaimana yang disebut dengan ikhlas menurut Islam?
Pengertian Ikhlas.
Ikhlas secara lughat berarti “bersih/murni tidak tercampur dengan
apapun”. Dalam istilah, Ikhlas sebagaimana diartikan beberapa ulama’. Menurut
syaikh Ibrahim bin Adham bahwa “akhlas adalah gerak dan diamnya seorang hamba
semata-mata ditujukan kepada Allah”. Sedangkan menurut Abu Usman “ikhlas adalah
melupakan perhatian makhluk dan memfokuskan diri pada perhatian Sang Pencipta”[1].
Dari dua pengertian istilahi tentang
ikhlas di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari konsep ikhlas dalam Islam
adalah; pertama, ikhlas intinya beramal dalam kehidupan hanya untuk
mengharap ridhlo Allah. Kedua, yang bisa dikatakan sebagai orang ikhlas
(mukhlis) hanyalah muslim yang mukmin, sedangkan orang ghairul muslim, meski
dia berbuat kebajikan dengan tulus tidak bisa dikategorikan sebagai mukhlis
karena mereka tidak terkena taklif[2].
Ketiga, Syarat agar bisa beramal dengan
ikhlas adalah dengan ilmu, Karena konsep ‘abiid (hambah) dalam ayat QS.
Shaad di awal muqaddimah, ayat “illa ‘ibaadika minhum al-mukhlishina”.
Lafadz “Ibaadika” sinergis dengan lafadz ‘ibadihi’ dalam QS…. (innama
yakhsya allaha min ibaadihi al-ulamma’). Maka lafadz “ibaadika”memiliki
pengertian yaitu seorang mukmin yang berilmu dan dengan ilmunya dia akan patuh
kepada Allah dengan Ikhlas. Hal ini dipertegas oleh Syaikh imam Junaidi al-Baghdadi
“sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang berilmu, setelah berilmu kemudian
mereka mengamalkan ilmunya dengan ikhlas”.[3]
Ikhlas Menghantarkan Kemenangan
Ikhlas bisa menghantarkan seseorang menjadi
tegar dan sabar dalam menghadapi rintangan, baik dari dalam maupun luar
dirinya. Karena seorang mukhlis adalah orang yakin akan janji-janji Allah,
setiap apa ia lakukan ia yakini mendapatkan imbalan dari sang Khaliq (wa maa
tunfiqu fii sabilillahi yuwaffa ilaikum wa antum laa tudhlamuun). Ikhlas
juga menghatarkan muslim terlindung dari perbuatan keji dan mungkar (kadzaalika
linnusharrifu ‘anhu ssuu’ wa al-fahsya, QS, Yusuf, 24) karena setan tidak akan
pernah mampu menjerumuskan para mukhlashin dalam lobang kesesatan (illa
‘ibaadaka minhum al-mukhlashin).
Di sinilah letak kemenangan bagi
seorang muslim yang sedang melaksanakan pengabdian dakwah. Konsep kemenangan
dalam Islam bukan terpaut pada hasil perjuangan, namun terletak pada ketetapan
memegangi agama (tsabbit aqdaamana, QS.2. 250) serta istiqamah (tsumma
staqaamuu, QS. 46: 13) dalam perjuangan dengan ikhlas sampai akhir
kehidupan.
Sejarah telah membuktikan bahwa
puncak kejayaan Peradaban Islam, karena jasa pejuangnya yang ikhlas dalam
mengemban misi mulya. Dimulai dengan sang figur suri tauladan Nabi Besar
Muhammad Saw, diteruskan oleh Sahabat-sahabat beliau, yang kemudian berlanjut
ke murid-murid para sahabat atau yang disebut para tabi’in dan pada akhirnya
disempurnkan oleh para tabi’ittabi’in. Saat itulah Islam mencapai zaman
kejayaannya dengan menaklukan wilayah pusat-pusat penting di Dunia, dan menjadi
satu-satunya peradaban dunia yang berasazkan ilmu. Hal itu dilakukan oleh para
pejuang didikan Rasul Saw dengan mengutamakan keikhlasan li ridallahi Ta’ala,
bukan mengejar kejayaan untuk ketenaran duniawi.
Penutup
Pada masa sekarang, perjungan dalam
medan dakwah sangat-sangat dibutuhkan, mengingat fitnah Agama telah merajalela.
Namun di sisih lain, dakwah pada diri sendiri adalah sebuah fardhu ain
yang harus selalu dilakukan. Tak jarang seorang muslim terjebak dalam dua
kewajiban yang bersamaan. Jika melaksanakan jihad fi sabilillah fi siyaqi
dda’wah, mereka takut tergelincir dalam penyakit hati seperti riya’
ujub, takabbur dan lainya. Alih-alih menghidari penyakit hati, seorang
muslim meninggalkan kewajiban berdakwah.
Kunci untuk menghindari lingkaran
setan tersebut adalah tetap melaksanan dua kewajiban ain itu dengan dilandasi
ikhlas. Sebab jaminan dari Allah bagi orang yang beramal dengan ikhlas adalah,
setan tidak mampu menjerumuskanya ke dalam lubang kemakshiatan. Wallahu
‘a’lam bi shawwab.
*Penulis adalah Alumni PP. Aqdamul Ulama’
Pasuruan, Mahasiswa Tingkat Akhir Sekolah Tinggi Uluwiyyah Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar