Cari Blog Ini

Kamis, 08 September 2011

Pengaruh Modernisasi


 


PENGARUH MODERNISASI
DI BELAHAN DUNIA
Oleh: Muhammad Saad


Abstrak: Modernisasi benar-benar telah melanda seluruh sendi kehidupan umat manusia. Tidak ada satu negara-pun yang tidak terlanda makhluk yang bernama modernisasi. Mewabahnya modernisasi yang mengglobal, diawali dengan terjadinya revolusi industri dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Setelah itu, hasil teknologi serta ilmu pengetahuan menjadi wordview atau pandangan hidup masyarakat modern. Semua diukur dengan sifat materialistis, positivistis, dan rasionalistis, hingga pada akhirnya menegasikan eksistentisi agama dan tuhan. Paling tidak, masyarakat yang memuja modernitas, bersikap agnostis.
Setelah mempelajari berbagai buku, penulis berkesimpulan bahwa produk modernitas ada dua. Yang pertama dalam bidang IPTEK. Hasil penelitian para pakar dan lembaga kesehatan jiwa dunia menyimpulkan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang membawa modernisasi industrialisasi sehingga terjadi globalisasi kehidupan umat manusia, di samping membawa dampak positif, juga telah melahirkan dampak negatif. Positifnya, kemajuan, pengembangan dan terobosan baru yang bermanfaat bagi kehidupan manusia tergapai. Tapi dampak negatifnya, manusia dihadapkan pada berbagai macam permasalahan psiko-sosial, berupa depresi/stres yang tak terhindarkan, yang bila berlebihan dapat menjadi distres, atau sakit jiwa maupun fisik yang parah, yang sangat menggejala dewasa ini.
Belum lagi dampak dari modernitas pemikiran, dimana agama menjadi taruhan. Pelan tapi pasti, masyarakat modern tanpa terasa telah merubah keyakinan mereka menjadi materialistis. Sehingga pada akhirnya menjauh dari niali-nilai religious. Prof Dr Nugroho Notosusanto menamakannya sebagai gejala “The Agony of Modernization” atau Azab Sengsara Karena Modernisasi.

Kata Kunci. Pengaruh, Modernisasi, Dunia
I. Pendahuluan
Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah mereka menghadapi yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh Barat saat ini. Prof. Syed  Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak satupun kepastian. Konskwensinya, adalah penegasian Tuhan dan Akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia (Antropocentris). Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan.[1]
Gejala demikian telah melanda dunia pasca revolusi Indutri abad ke-18 di Barat. Tantangan yang kita hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, akan tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat ini. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran. Di antara tantangan pemikiran yang paling serius saat ini adalah dibidang pemikiran agama.
 Babak akhir abad ke 18 permulaan zaman baru, ketika masyarakat dunia mulai mengadakan modernisasi, terutama di Negara-negara Eropa Barat, setelah mengalami revolusi industri sebagai akibat ditemukannya mesin uap oleh James Watt.[2] Memang sulit melebih-lebihkan arti penting mesin uap. Sebab, memang banyak penemuan-penemuan lain yang memegang peranan penting mendorong berkembangnya Revolusi Industri. Misalnya, perkembangan dunia tambang, metalurgi, dan macam-macam peralatan mesin. Sekoci yang meluncur bolak-balik dalam mesin tenun (penemuan John Kay tahun 1733), atau alat pintal (penemuan James Hargreaves tahun 1764) semuanya terjadi mendahului kreasi Watt. Sebagian terbesar dari penemuan-penemuan itu hanyalah merupakan penyempurnaan yang kurang berarti dan tak satu pun punya arti vital dalam kaitan dengan bermulanya Revolusi Industri. Lain halnya dengan penemuan mesin uap yang memainkan peranan penting dalam Revolusi Industri, yang tampaknya keadaan akan mengalami bentuk lain.[3]
Sebagai penerapan ilmu pengetahuan dalam setiap aspek kehidupan, modernisasi berakar pada kesadaran abad sebelumnya (abad ke-14), yang disebut dengan “abad pencerahan”. Semboyannya adalah “Beranihlah Berpikir Sendiri”. Sikap umum manusia abad pencerahan terhadap agama kurang bersahabat (bahkan mungkin memusuhi). Karena bagi mereka agama dipandang sebagai produk masa lalu yang membelenggu kebebasan manusia.[4] Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan theisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god. Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dan sebagainya, tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi moderisme (dan postmodernisme) tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe. Fenomena seperti inilah sekarang benar-benar telah merevolusi orientasi polapikir masyarakat modern.
Dalam makalah ini, penulis berusaha membedah akar permasalahan modernisasi, yang disatu sisi telah mebawah hasil kemajuan pesat dalam bidang teknologi, namun di sisih lain telah melengserkan sendi-sendi prinsip manusia sebagai manusia yang hakikatnya adalah makhluk ciptaan.


II. Gejala dan Definisi Modernisasi

Secarah harfiah, kata “modern” berasal dari bahasa latin “modo” yang berarti “just now” atau yang kini. Dalam kamus Indonesia konteporer, kata “modern” mempunyai arti terbaru, mutakhir dan biasanya lebih baik dari yang lain.[5] Namun pada kenyataannya tidak semua yang berbau modern selalu lebih baik dari yang dahulu. Istilah modern mengacu pada pengertian “sekarang ini”, istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah ancient atau tradisional. Dengan demikian, kedua istilah itu merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Pada umumnya, dalam pengertian modern, tercakup ciri-ciri masyarakat tertentu pada masyarakat sekarang ini.[6]
Aspek paling spektakuler dalam modernisasi suatu masyarakat ialah pergantian teknik produksi dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern, yang tertampung dalam pengertian revolusi industri. Akan tetapi proses yang disebut revolusi industri itu hanya satu bagian, atau satu aspek saja dari suatu proses yang jauh lebih luas. Modernisasi sesuatu masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala asepk-aspeknya.[7]
Menurut Dr. Syamsuddin Arif, sebuah masyarakat disebut modern jika padanya ditemukan tiga ciri berikut. Pertama, ada diferensiasi (perbedaan) fungsi dan struktur sosial, ditandai dengan munculnya hirarki, dominasi, dan pretensi kelompok tertentu. Ini disertai oleh fragmentasi (penukilan) ideology serta tren pluralisme dan relativisme, bahwasannya tidak ada kebenaran yang tunggal­ (there is no longer one single truht, one singleway to God, but a whole varriety of equally good ways), meminjam ungkapan Steve Bruce, sosiolog agama dari Universitas Aberdeen, Scotland. Kedua, masyarakat modern ialah privatisasi agama sebagai konskwensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin, sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama sekali dalam konteks sosial. Ketiga, terjadinya rasioalisasi dimana sains dan teknologi tampil dominan menggantikan mitologi dan mistisme, sihir, dan perdukunan.[8]
Istilah modern berkaitan erat dengan Eropa abad pertengahan, Rennaisance, Aufklarung, hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan abad ke-20.[9] Pada zaman pencerahan tersebut telah membawah implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua kehidupan manusia. Sejak itu, dunia ilmu pengetahuan bersifat positivistik (elaborasi antara rasionalisme dan emperisme) dengan meletakkan dominasi ilmu-ilmu empiris, eksak beserta metodologinya sebagai paradigma.[10] Menurut pandangan positivis, satu-satunya wujud riil adalah poitif yakni yang bisa diobservasi melalui indra. Segala wujud yang berada di balik dunia fisik (metafisik) hanyalah hasil spekulasi pikiran manusia yang tidak memiliki realitas ontologis di luar kesadaran manusia.[11] Hal demikian memunculkan dikotomi antara kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kebenaran berdasarkan agama yang pada jaman sebelumnya kebenaran dipegang oleh agama (gereja).[12]
Hal ini senada dengan pernyataan Prof. Frans Magnis Suseno, guru besar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, merangkum tantangan modernitas terhadap keimanan dan 'konsep Tuhan ' agama-agama:
"Modernitas sebagaimana menjadi kenyataan di Eropa sejak abad ke-17 mulai meragukan ketuhanan. Reformasi Protestan abad ke16 sudah menolak banyak klaim Gereja. Dalam abad ke-17 empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Pada akhir abad ke-18 muncul filosof-filosof materialis pertama yang mengembalikan keanekaragaman bentuk kehidupan, termasuk manusia, pada materi dan menolak alam adiduniawi. Dalam abad ke-19 dasar-dasar ateisme filosofis dirumuskan oleh Feurbach, Marx, Nietzsce, dan dari sudut psikologi, Freud. Pada saat yang sama ilmu-ilmu pengetahuan mencapai kemajuan demi kemajuan. Pengetahuan ilmiah dianggap harus menggantikan kepercayaan akan Tuhan. Akhirnya, di abad ke-20, filsafat untuk sebagian besar menyangkal kemungkinan mengetahui sesuatu tentang hal ketuhanan, sedangkan dalam masyarakat sendiri ketuhanan semakin tersingkir oleh keasyikan budaya konsumistik. Sebagai akibat, manusia modern menjadi skeptis tentang ketuhanan kalau ia tidak menyangkalnya sama sekali. Maka apabila seseorang, atau sekelompok orang, tetap yakin akan adanya Tuhan, mereka mau tak mau harus menghadapi tantangan skeptisisme modernitas itu.[13]

 Tokoh  Positivisme yang sangat terkenal adalah August Comte (1798-1857). Ia yang dianggap sebagai bapak Positivisme dan sosiolog mengeluarkan hukum tiga tahap dalam perkembangan pemikiran manusia: pertama, manusia hidup dalam teologis, yaitu pemikiran bahwa setiap persoalan hidup dipecahkan melalui kepercayaan akan kekuasaan Tuhan, mulai dari animisme, politeisme, dan monotiesme. Kedua, manusia hidup dalam tahap metafisik. Tahapan ini sebenarnya masih sama dengan yang pertama, hanya digantikan dengan kekuatan abstrak. Ketiga, manusia hidup dalam tahapan positif yang bermakna ilmiah. Dalam pandangan Comte, agama adalah produk masa lalu yang digantikan oleh positivisme.[14]
 Namun, jauh sebelumnya telah muncul aliran Rasionalisme yang merombak segala pemikiran, serta menjadi asas dari modernisasi. Menurut Syed Husain Nasr dalam bukunya Man and Nature, pasca Rennaisance, orang-orang Barat berusaha menghindari hal-hal yang bersifat metafisik untuk berpihak kepada fisik. Rene Descrates, seorang filusuf Prancis abad ke-16, telah mereduksi realitas-realitas metafisik ke dalam matematik, sebuah kecenderungan orientasi dari kualitatif pada kuantitatif.[15] Aliran ini menjadikan akal sebagai satu-satunya alat paling fundamental dan tepat untuk dijadikan basis pencarian kebenaran.[16]
Sejak saat itu, banyak ilmuwan dan filsuf Barat yang meragukan keberadaan alam metafisik dan lebih berpegang pada kepercayaan pada realitas fisik atau materialistik. Para ilmuwan Barat yang terpengaruh dengan aliran Rasionalisme seperti: Laplace, Darwin, Freud, dan Emile Durkhiem. Pierre de Laplace (w. 1827) sebagai astronom (pelopor teori “Big Bang” pada masanya) dengan teorinya “alam memiliki system otonom yang berlaku niscaya seperti mekanika”, Tuhan dikatakan sebagai Hipotesa ilmiah, dan Laplace tidak membutuhkan ini. [17]
Charles Darwin, ilmuwan biologi terkenal dengan toeri “seleksi alamiah”, menurutnya “spesies-spesies (baik tumbuhan maupun hewan) bukanlah hasil kreasi agen dari luar dirinnya (Tuhan) tetapi sebagai adaptasi mereka terhadap tuntutan dari seleksi alamiah. Gagasan evolusi dalam pemikiran Darwin bermula ketika mengikuti ekspedisi di atas sebuah kapal laut H. M. S Beagle yang berangkat dari England pada tahun 1832. Selama lima tahun Darwin berkeliling berbagai tempat dan dia sangat kagum dengan kehidupan berbagai spesies, khususnya burung-burung Kutilang (Finches) yang ia lihat disekitar Pulau Galapagos, Amerika Selatan. Ia berpikir bahwa adaptasi dengan habitat telah menyebabkan paruh burung (beak) bervariasi. Dengan ide ini, Darwin beranggapan bahwa asal mula kehidupan dan spesies terbentang konsep”adaptasi pada lingkungan” (adaptation to the enviorenment). Menurut Darwin, Tuhan  tidak menciptakan kehidupan spesies yang berbeda, namun mereka semua berasal dari satu nenek moyang yang sama dan menjadi berbeda antara satu dan yang lain karena kondisi-kondisi alam (natural conditions).[18]
 Sigmund Freud, menurutnya ide Tuhan muncul dalam pikiran manusia masih lemah dan tidak mampu menghadapi tatangan lingkungan alam scara rasional. Emile Durkheim seorang sosiolog terkenal dari prancis. Sebabgai sosiolog berlairan skularisme ia berpendapat “apa yang kita sebut Tuhan tak lain hanyalah masyarakat, karena masyaraktlah yang paling cocok untuk mengemban semua atribut yang dilamatkan kepada Tuhan.[19]
Abad  ke-20 berkembang aliran-aliran pragmatisme, aliran yang menyatakan bahwa suatu itu benar apabila ada nilai praktisnya bagi kehidupan manusia. Tokohnya yang terkenal antaranya William James (1842-1910) dan Jhon Dewey (1856-1938). Juga muncul aliran filsafat eksistensialisme dengan tokohnya Soren Keirkkegard, Martin Hidgger, Jean Paul Sartre, Karl Jespers, dan Gabriel Marcel. Aliran ini menekankan pada eksistensi manusia dengan seluruh otonominya yang tak terbatas. Kedua aliran ini semakin memojokkan peranan dan legetemasi agama dalam panggung kehidupan manusia Modern.[20] Dalam hal ini, modernisasi selalu berakibat munculnya sekularisasi dalam keberagaman, liberalisasi dalam pemikiran, Pluralisasi dalam politik yang berimbas ke agama, dan individualisasi dalam hubungan sosial dengan masyarakat.

III. Latar Balakang Peradaban Barat
Peradaban Barat, seperti yang terlihat di Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, telah mengalami kemajuan yang menakjubkan dan telah menemukan “kemajuan” ilmu pengetahuan yang luar biasa  sejak mereka hegemoni ajaran (gereja) pada pertengahan. Menurut Dr. Adian Husaini ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang mengapa Barat memilih jalan hidup sekular dan liberal, demi modernisasi, dan kemudian mengglobalkan nilai-nilainya ke seluruh dunia. Pertama, trauma Sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen), di Zaman pertengahan. Kedua, problema teks Bibble. Dan ketiga, problema teologis Kristen. Ketiga problema itu terkait satu dengan lainnya, sehingga memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya melahirkan sikap berpikir sekular-liberal dalam sejarah tradisi pemikiran Barat Modern.

Pertama, Problem Sejarah Kristen
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Wester Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark age). Mereka menyebutnya juga sebagai “Zaman Pertengahan” (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominant dalam masyarakat Kristen Barat sampai masuknya Zaman Rennasiance yang artinnya “rebirth” (lahir kembali). Mereka seperti merasa bahwa ketika hidup dibawah cengkraman kekuasaan gereja, mereka mengalami kematian. Sebab, ketika itu gereja sbagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbgai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.
Untuk memahami latar belakang penindasan brutal terhadap kaum non-Kristen dan kelompok-kelompok yang dianggap kafir lainnya, yang lantas melahirkan trauma terhadap agama, sangat penting menengok bagaimana sejarah mengapa dan bagaimana Gereja pada zaman pertengahan membangun kekuatan hegemoniknya. Salah satu fenomena penting dalam sejarah abad pertengahan di Eropa adalah upaya Gereja Kristen memperoleh dan memelihara kekuatan politiknya. Agama Kristen mulai mendapat peluang kebebasan setelah beratus tahun mengalami penindasan dibawah Imperium Romawi—dari Kaisar Konstantin, yang pada tahun 313 M mengeluarkan Edict of Milan. Dengan dikeluarkannya Edict Theodosius pada tahun 392 M, agama Kristen memegang posisi sebagai agama Negara (State-Religion) dari Imperium Romawi.
Di akhir masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran, institusi gereja meraih kekuatan dan signifikannya. Organisasi tumbuh menjadi lebih kuat dan keanggotaannya semakin meningkat. Ketika itu, Agama Kristen merupakan prinsip pemersatu da Gereja menjadi institusi yang dominant dan sentral. Tidak ada satupun aspek kehidupan di Abad pertengahan yang tidak tersentuh oleh pengaruh Gereja.
Ketika Kekaisaran gereja Romawi runtuh pada tahun 476 M, Gereja tetap mempertahankan system administrasi Romawi dan memelihara elemen-elemen peradaban Yunani-Romawi (Greeco-Roman civilization). Sebagai pemersatu, Gereja menyediakan jawaban bagi masyarakat tentang konsep kehidupan dan kematian.  Dalam kehidupan sosial menuju kehancuran ketika itu, Gereja merupakan satu-satunya institusi  yang memberikan alternatif rekonstruksi kehidupan. Karena itu, kemudian pengaruh Gereja meluas begitu cepat di seluruh daratan Eropa, melepas pengaruh berbagai pandangan tradisional Eropa. Sepanjang daratan Eropa, dari Italia sampai Irlandia, sebuah masyarakat baru, berpusat pada kekristenan, terbentuk.
Awal-awal Abad pertengahan merupakan periode pemebentukan institusi kepausan. Gereja Romawi mulai teroragnisasi dengan baik di zaman Paus Gregorius (590-604 M) yang dikenal dengan “the Great”, dialah yang membangun awal mula birokrasi Kepausan masa Pertengahan dan memperkuat kekuasaan  lepausan (papacy’s power).[21]
Di Zaman hegemoni kekuasaan Gereja inilah lahir sebuah  institusi Gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal sebagai “INQUISISI”. Karen Amstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal, menggambarkan kejahatan institusi Inquisisi Kristen dalam sejarah sebagai berikut:

“Sebagaian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupaka intrumen terror dalam Gereja Katholik sampai dengan akhir abad ke-17. metode Inquisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan control terhadap kaum katholik di Negara-negara mereka”

Perter de Rosa, dalam bukunya, Vicars of Christ: The dark side of the Papacy, mencatat.
“Betapa pun, inquisisi tersebut bukan hanya jahat saat dibandingkan dengan (nilai-nilai) abad 20, tetapi ini juga jahat dibandingkan (nilai-nilai) abad ke-10 dan ke-11, saat dimana penyiksaan tidak disahkan dan laki-laki serta wanita dijamin dengan pengadilan yang fair. Ini juga jahat dibandingkan dengan Zaman Dioletian, dimana tidak seorang pun disiksa dan dibunuh atas nama Jesus yang tersalib”.

Ketika pasukan Napoleon menaklukkan Spanyol tahun 1808, seorang komandan pasukannya, Kolonel Lemanouski, melaporkan bahwa pastur-pastur Dominikan mengurung diri di dalam biara mereka di Madrid. Ketika pasukan Lemanouski memaksa masuk, para inquisitors itu tidak mengaku adanya ruang-ruang penyiksaan dala biara mereka. Tetapi, setelah digeledah, pasukan Lemanouski menemukan tempat-tempat penyiksaan di ruang bawah tanah. Tempat-tempat itu penuh dengan tawanan, semuanya dalam keadaan telanjang, dan beberapa diantaranya gila. Pasukan Prancis yang sudah terbiasa dengan kekejaman dan darah, sampai-sampai merasa muak dengan pemandangan seperti itu. Mereka lalu mengosongkan ruang-ruang penyiksaan itu, dan selanjutnya meledakkan biara tersebut.[22]
Henry Charles Lea, seorang sejarawan Amerika, menulis kejahatan Inquisisi di Spanyol dalam empat volume bukunya: A History  of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988). Dalam bukunya ini, Lea membantah bahwa Gereja tidak dapat dipersalahkan dalam kasus Inquisisi, sebagaimana misalnya dikatakan oleh seorang tokoh Kristen, Father Gam, yang menyatakan: “The inquisition is an institution for which the Church has no responsibility.”  (Inquisisi adalah satu institusi dimana Gereja tidak memiliki tanggung jawab untuk itu). Ini adalah salah satu bentuk apologi di kalangan pemimpin Kristen. Lea menunjuk bukti sebagai contoh bahwa dalam kasus bentuk hukuman terhadap korban inquisisi, otoritas gereja mengabaikan pendapat bahwa menghukum kaum “heretics” (kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja) dengan membakar hidup-hidup adalah bertentangan dengan semangat Kristus. Tapi, sikap gereja ketika itu menyatakan, bahwa membakar hidup-hidup kaum heretics adalah suatu tindakan yang mulia.
Tentang kekejaman Inquisisi, banyak sekali bukti yang termuat di dalam buku-buku, baik dari karya Muslim maupun orang-orang Kristen sendiri. Buku-buku sejarah pada abad pertengahan pasti berisi materi yang menceritakan pengadilan inquisisi. Dalam sejarah disebutkan, tidak satupun kota di Eropa yang luput dari kekejaman pengadilan inqusisi yang membakar hangus ribuan orang secara terbuka dengan tuduhan Heretic atau Zindik. Pengadilan memutuskan hukum bunuh bagi setiap orang yang memilki pendapat berbeda dengan pendapat Bapa Suci Paus. Dalam hal ini, mengingkari adanya Tuhan merupakan pembangkangan yang lebih rendah daripada mengingkari supremasi Paus.[23] Robert Held, dalam bukunya, “Inquitition”, memuat foto-foto dan lukisan sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja ketika itu. Dia paparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat yang sangat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup,pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotong lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800 diperkirakan dua samapai empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran katolik maupun Protestan.[24]
Pada 31 oktober 1517, Martin Luther (1483-1546) melakukan pemberontakan terhadap Gereja karena terdorong dengan sikap Paus terhadap otoriter kepemimpinannya serta praktik jual beli surat pengampunan. Dari sinilah kemudian  timbullah Reformasi Protestan menjadi rival daripada Katholik. Karena begitu bencinya Luther terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh pemipin Gereja, sampai-sampai ia berkata, ‘‘kekuatan anti-Kristus adalah Paus dan Turki (Islam) secara bersamaan. Kekuata jahat dalam kehidupan haruslah memiliki tubuh dan nyawa. Nyawa dari kekuatan Anti-Kristus adalah Paus, daging dan tubuhnya adalah Turki… bangsa Turki adalah bangsa yang dimurkai Tuhan’’.[25]
Dalam masalah keilmuan, waktu itu gereja meyakini bahwa bumi adalah pusat tata surya (Geocentris). Teori yang digagas oleh Ptolemaeus (150 SM) ini[26], sampai pada abad ke-17 menjadi keyakinan Gereja dan inquisitor-Generalnya. Dogma ini semakin mendominasi lantaran mendapat justifikasi dari Paus, dimana seluruh jagad raya bergerak mengelilingi bumi sebab mahkota paus. Robert N. Bellah mencatat “Paus, di awal abad pertengahan, hampir mengklaim diri sebagai ketua super Negara Internasional, dimana penguasa sekular harus tunduk padanya (The Pope in the early Middle Ages comes to claiming to be the head of an international supe state to which all secular political authorities had a bow).[27]
Copernicus (1473-1543) datang dengan teori barunya bahwa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi, melainkan bumi yang berputar mengelilingi matahri (Heleosentris). Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama.[28] Namun Revolusi Ilmiah yang dirintis Copernicus dianggap bertentangan dengan ajaran Bibble. Pertentangan antara akal dan Bibble semakin mengkristal,[29] pada akhirnya berujung pada pengadilan ingquisisi.

Kedua, Problem Teks Bible
Problem ini berkaitan dengan otensitas teks Bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Hebrew Bibble (Kristen menyebutnya Perjanjian Lama), hingga kini masih misteri. Richard Elliot Friedman dalam bukunya, Who Wrote the Bibble, menyatakan, “adalah sebuah fakta mengherankan bahwa kita tidak pernah tahu secara pasti siapa yang telah membuat buku itu yang telah menjalankan peran penting dalam peradaban kita (It is a strange fact that we have never known whit certainty who produced book that has played a central role in our civilization)”. Ia mencontohkan, The Book of Torah, atau The Five Book of Moses, yang diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis oleh Nabi Jeremiah. Separuh Mazmur (Psalm) ditulis oleh King David. Tetapi, kata Friedman, tidak ada seorang pun yang tahu, bagaimana perujukan penulisan itu mrmang benar adanya. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki yang paling tua di dunia, tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya.[30]
 Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Pertama, problem “nama”. Menurut Mulyadi Samuel AM dalam bukunya “Dokumen Pemalsuan al-Kitab” mengatakan:
“Sebutan “al-Kitab” mengambil dari kata Arab “kitab” dengan sandangan “al”, sedangkan sebutan bibble mengambil dari kata Inggris (Belanda: Bijbel, Jerman bible). Baik kata “al-Kitab” maupun “The Bibble” keduanya keduanya menerjemahkan kata Yunani “Bibblos” yang berarti kumpulan kitab-kitab, bentuk jama’ dari kata “biblion” yang berarti sebuah kitab.
 Sedangkan dalam kamus Besar Ilmu Pengetahua “Bibble” berasal dari bahasa Yunani “Bibblia” yang berarti buku-buku. Dalam bibble sendiri tidak ditemukan satu ayat pun yang menerangkan bahwa kitab tersebut bernama “Bibble” atau “al-Kitab”. Jadi, Bibble adalah kitab “suci” (?) yang anonim (tidak bernama).  Coba perhatikan kata “Sebutan” di awal kutipan di atas, suatu argumen yang menyatakan bahwa “Bibble” atau “al-Kitab”, hanyalah sebutan suatu benda (buku), dalam bentuk umum jadi Bibble sebenarnya hanyalahkumpulan tulisan-tulisan.[31]
  Kedua, problem isi. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis buku berjudul “The Teks of The New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (oxford University Press, 1985). Metzger menulis di pembukaanya, bahwa ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bibble, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bibble yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini, bermacam-macam, bebeda satu dengan lainnya.
Ketiga, problem bahasa. Masih menurut Metzger, Bahasa Yunani (Greek) adalah bahasa asal The New Testament. Melalui bukunya, Metzger menunjukkan, rumitnya problema kanonifikasi teks Bibble adalah bahasa Greek. Banyak ragam Teks dan manuskrip menyebabkan keragaman teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibble dalam bahasa Greek, yang berbeda satu sama lainnya. Cetakan pertama The New Testament dicetak pada 1516, yang disiapkan oleh Desiderius, karena tidk ada manuskrip Greek yang lengkap, Eramus menggunakan berbagai versi Bibble untuk melengkapinya. Untuk itu Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. Meskipun bahasa Latin secara umum sangat cocok untuk digunakan menterjemah dari bahasa Yunani, tetap saja ada bagian-bagian yang tidak bisa diekspresikan dalam bahasa Latin.[32]

Ketiga, Problem Teologi Kristen
            Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius dalam teologis. Di Zaman pertengahan rasio harus disubordinasikan kepada kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di Zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang doktrin-doktrin kepercayaan Kristen, tetapi digunakan untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya. Banyak ilmuwan dipaksa untuk mensubordinasikan pemikirannya dengan doktrin Bibble. Padahal Justru sumber problem terletak pada Bibble sendiri, dimana muatan di dalamnya selalu kontradiktif dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
            Jika para ilmuwan dipaksa tunduk kepada doktrin teologi yang mereka sendiri sulit memahaminya. Padahal konsepsi teologis Kristen—terutama fakta dan posisi ketuhanan Yesus telah menjadi ajang perdebatan ramai dikalangan Kristen, sepanjang sejarahnya. Doktrin teologi Kristen tidaklah tersusun di masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 M dalam konsili Nicea. Konsili ini menjadikan Roma sebagai pusat resmi Christian Orthodoxy. Dalam konsili ini, aspek-aspek Ketuhanan Yesus diputuskan melalui melalui voting. Ini semua adalah jasa dari Kaisar Konstatin, meskipun Konstatin sendiri masih menjadi perdebatan, apakah dia masuk Kristen atau tetap beragama Paganisme.
            Terbukti pengaruh ajaran Paganisme yang dianut oleh Konstatin terhadap Kristen adalah, penetapan hari Minggu  (Sun-Day yang berarti anak Matahari) sebagai hari istirahat, melalui Edict tahun 321 M. Padahal, sebelumnya, Kristen tetap menghormati hari Sabtu, yang hingga kini masih diperingati oleh Kristen Ortodok tertentu. Sampai abad ke-4, hari lahir Yesus diperingati pada 6 Januari.[33]Hingga pada 313 M Konstatin mengeluarkan Edict of Milan, bahwasannya Natal diperingati pada 25 Desember.  Banyak literature menyebutkan, bahwa tanggal 25 Desember memang merupakan hari peringatan Dewa Matahari yang di Romawi dikenal sebagai sol Invictus.
            Ada kalangan Kristen berargumen, bahwa tanggal 25 Desember itu diambil supaya perayaan Natal dapat menyaingi perayaan kafir tersebut. Tetapi apa yang terjadi sekarang, tampaknya seperti yang dikatakan oleh Remi Silado, bahwa perayaan Natal sudah didominasi oleh tradisi perayaan kafir Pagan. Maka, muncullah, dikalangan Kristen, gerakan untuk menentang perayaan natal pada 25 Desember.[34]

IV. Dampak Modernisasi
Modernisasi seara umum telah menghasilkan  dua produk. 1. Produk modern sai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Produk modernisasi dalam bidang pemikiran.
  1. Teknologi dan Ilmu pengetahuan
Modernisasi dalam bidang dan teknologi ilmu pengetahuan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa sejak terjadinya revolusi industri di Inggris (1760-1830) dengan ditandai oleh penemuan mesin uap oleh Jawes Watt. Setelah itu disusul penemuan-penemuan lain dalam bidang teknologi seperti mesin tenun, mesin pemintal benang, serta teknologi  modern yang saling menyempurnakan  satu dengan lainnya. Dengan kata lain pasca Revolusi Industri, perkembangan teknologi mencakup pertanian, kedokteran, mechanical art yang sekarang disebut engineering. Menurut Mawardi, dalam bidang teknologi dan sains, terjadi tiga fase. Pertama, fase Revolusi Industri. Dalam fase ini perkembangan teknologi tidak bergantung pada sains, bahkan lebih maju daripada sains. Pada fase ini penemuan teknologi, tanpa mengetahui dasar teorinya.
Kedua, Pasca Revolusi Industri, Dalam tahap berikutnya perkembangan sains lebih mendahului teknologi. Seperti penggambaran sifat mesin secara termodinamika telah dilakukan oleh Slausius dan Kelvin, ± 75 tahun setelah penemuan mesin uap oleh James Watt. Juga pemanfaatan gelombang elektromagnetik dalam teknologi komunikasi.[35] Ketiga, fase Abad 20 atau fase teknologi modern. Pekembangan teknologi modern ditandai oleh suatu modeling atau perkiraan dengan menggunakan hukum-hukum sains serta menyertakan kaidah-kaidah empiris. Disamping itu, peranan percobaan dengan menggunakan teknologi yang lebih maju memungkinkan dilakukannya pengukuran lebih rumit.[36] Adapun hasil dari teknologi modern itu sendiri adalah apa yang kita gunakan atau kita saksikan setiap hari. Hampir semua sendi kehidupan tersentuh teknologi.
Dari sisi teknologi, modernitas banyak mebawa dampak positif, akan tetapi tidak sedikit dampak negatifnya. Sebagai contoh; kemajuan teknologi dalam bidang informatika, dalam hal ini media informasi Internet. Dengan jaringan internet, sekarang manusia dengan mudah mendapatkan info dari seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, kehadiran internet menunjang peningkatan sumber daya manusia. Ini adalah dampak positifnya. Namun disisi lain, dengan hadirnya jaringan internet telah menimbulkan banyak kerusakan moral bagi suatu bangsa. Di Indonesia saja, semenjak banyak bermunculan jasa penyedia akses internet (Warnet) bak jamur dimusim hujan. Sejak itu pula banyak terjadi tindakan amoral serta kriminal. Ini merupakan dampak negatifnya. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya. Namun di sini penulis tidak memfokuskan uraian makalah ini pada maslah moderitas teknologi. Namun secara garis besarnya, teknologi modern bagaikan “pisau bermata dua”, jika Si-pemakai pandai memainkan, maka “pisau” bisa dimanfaatkannya. Tetapi bila tidak, maka pisau akan mebunuhnya. 



  1. Modernisasi Pemikiran
Ironisnya ialah ketika masyarakat modern menjadikan rasionalisasi dimana sains dan teknologi tampil dominan menggantikan nilai-nilai spiritual. Mereka menganggap bahwasannya sains dan teknologi yang bersifat positivistik bisa menjawab segala kebutuhannya. Padahal meletakkan otoritas ilmu pengetahuan dan teknologi menyerahkan manusia kepada alat yang diciptakan sendiri. Berarti pula itu semua menyeret manusia menjadi semata-mata tekhnokratis dan bakal membentuk kehidupan kecendekiawanan yang memakai versi laboratorium ilmu-ilmu kealaman yang sekularistik.[37] Dari titik ini muncullah problem serius dan mendasar dalam polapikir manusia modern.

a.      Skularisme
Karena arus modern yang begitu kuat dan tidak dapat terbendung, serta kemajuan teknologi dan sains dapat memenuhi kebutuhan material manusia. Maka masyarakat modern terperangkap pada jeruji pragmatisme, positivisme, dan materialisme  yang berujung pada skularisme.
 Sekular berasal dari bahasa Inggris secular yang induknya berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang (this present age) atau dengan kata lain dunia. Ada satu kata lain dari bahasa latin yang mempunyai makna dunia, yaitu mundus yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Namun kata saeculum lebih menunjukan makna “masa” daripada mundus yang menunjukkan makna “ruang”.[38] Jadi Kata sekular bisa dimaknai sebagai konsep kekinian dan kedisinian, atau ruang (spatio) dan waktu (tempora). Disini berarti dunia, dan kini berarti konteks sejarah. Saeculum sebagai akar kata sekuler berarti masa kini atau zaman kini. Namun karena latar sejarahnya adalah pemisahan otoritas Gereja dan Negara, maka dalam perkembangannya di abad-19 pengertian sekular menjadi wordly not religious or spiritual (duniawi, tidak religius ataupun spiritual).
Mengenai definisi Sekularisme, memang agak problematis. Yang cukup runyam adalah ketika memperdebatkan makna "isme' yang melekat pada kata sekular tersebut. Apakah semua isme adalah ideologi, ataukah tidak semua isme merupakan ideology?; hal ini menjadi perdebatan yang cukup rumit. Namun jika memahami makna kata sekularisme dengan pendekatan sejarah justru akan lebih mudah. Awalnya sekularisme hanya dimaknai pemisahan gereja dan Negara. Agama dibiarkan tetap hidup meskipun dalam beberapa ajarannya harus ditundukkan agar lebih masuk akal. Contoh paling jelas untuk kasus ini adalah munculnya Deisme yang menyatakan bahwa Tuhan menyerahkan alam pada nasibnya sendiri. Voltaire dan Lessing bisa menjadi wakil penganut Deisme ini. Didukung pula oleh John Locke, Leibniz, Hobbes, Hume, dan Rousseau yang menarik agama ke wilayah privat serta mementingkan kewibawaan Negara. Sekularisme awal ini bertujuan memperkuat posisi tawar terhadap Gereja, karena pemisahan Gereja dan negara waktu itu belum mencapai angka aman. Artinya Gereja masih mungkin menguat kembali. Maka sekularisme pada masa tersebut disebut sekularisme moderat.
Namun setelah Gereja semakin lemah dalam posisi tawarnya, lahirlah Sekularisme ekstrim. Alih-alih diberi tempat seperti pada masa sekularisme moderat, agama justru sengaja dipinggirkan untuk dihapuskan. Beberapa Negara secara terang-terangan memusuhi agama bahkan memusuhi orang yang beragama. Jerman adalah contoh nyata untuk kasus ini. Filsuf humanis-atheis Jerman, Ludwig Feurbach bersikukuh bahwa agama Masehi harus dihapuskan, digantikan agama baru yaitu 'Politik'. Dasar agama baru ini bukanlah Tuhan ataupun teks agama tapi manusia dan kebutuhannya. Pandangan ini diperkuat oleh Marx dan Engels yang mengusung materialisme historis. Pada masa yang juga disebut Revolusi Sekuler ini agama terus dipojokkan dan sengaja dihilangkan.[39]
Ledwid Feurbach menegaskan bahwa prinsip filsafat bukanlah “substansinya” Spinoza, atau “egonya” Kant dan Fichtze, bukan pula “identitas Absolutnya” Schelling, atau “akal absolutnya” Hegel, dan bukan pula konsep wujud yang abstrak (Tuhan), melainkan realitas wujud yang benar, yaitu “manusia”. Oleh karena itu manusia merupakan prinsip filsafat yang paling tinggi. Sekalipun agama atau teologi menyangkal, namun pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (the religion worship man). Agama sendiri yang menyatakan bahwa tuhan adalah manusia dan manusia adalah tuhan (god is man, man is god). Jadi, agama akan menafikan tuhan bukan manusia. Makna sebenarnya dari agama, kata ferbach, adalah antropologi (the true sense of theology is anthropology). Masih menutut ferbach, agama adalah mimpi akal manusia (religion is the dream of human mind).[40]
Dengan berpendapat demikian, bukan berarti para eksponen ini tersebut menjadi atheis karena masih mempercayai wujud tuhan. Hanya saja, menurut mereka pada zaman modern Tuhan diposisikan di luar urusan kehidupan manusia. Tuhan tidak berhak campur tangan dalam kehidupan manusia. Manusia harus mengatur hidupnya sendiri dengan hukum-hukum yang mereka buat sendiri.[41]
Kesimpulannya, sekularisme bukanlah monopoli masyarakat zaman sekarang. Sebagai falsafah hidup yang mementingkan kekinian dan kedisinian, sekularisme pernah, masih dan akan terus ada penganutnya. Sekularisme di sini tentu bukan sekedar ideology politik yang misahkan urusan agama dari urusan Negara, tetapi juga berarti rumusan keyakinan yang mengingkari adanya kehidupan akhirat, menganggap bahwa dunia inilah kehidupan hakiki, tidak ada hidup sesudah mati dan tidak ada pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.[42]

b.      Liberalisme
Istilah “liberalisme” berasal dari bahasa latin “liber” yang artinya “bebas”, “dermawan” atau “merdeka”.[43] Hingga pengujung abad ke 18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa merdeka semenjak lahir ataupun merdeka setelah dibebaskan, yakni mantan budak (freedman). Dari sinilah muncul istilah “liberalisme art” yang berarti ilmu yang berguna bagi dan sepatutnya dimiliki oleh setiap manusia merdeka, yaitu aretmatika, geomatri, astronomi dan musik (quadrivium) serta gramatika, logika, retorika (trivium).
Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789, kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (Magna Charta) liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa duduk dengan hak asasi, kebebasan, dan harga diri manusia, yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya.  Di sini kita mencium bau shopisme dan relativisme ala falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “manusia adalah ukuran segalanya” (anthropocentris).[44]
Di zaman pencerahan, kaum intelektual dan politisi eropa menggunakan istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai ajektif, kata “liberal” dipakai untuk meunjuk sikap anti feudal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka, berpikir luas dan terbuka (open-minded) dan oleh karena itu hebat (magnanimus).
Dalam ranah politik, liberalisme dimaknai sebagi sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan menentang “mati-mati” sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme. Sementara dalam bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas di mana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi, jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme.
  Dalam bidang agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artunya, konsep amar ma’ruf nahi mungkar bukan saja dinilai tidak relevan, bankan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme (HAM). Asal tidak merugikan pihak lain, oarng yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini.
Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja, namun belakangan wabah liberalisme menyebat di kalangan Katolik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant anatra menginginkan agar pola hubungan antara instuisi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katolik Roma, agar “disesuaikan” dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti Tuhan anmun dianggap benar.
Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis a vis otoritas gereja, dan penghapusan system kependetaan.[45] Kesimpulannya, karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme.

Di sejumlah Gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church”  mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.
Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif;  diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual. [46]
Di dunia Islam, virus liberal juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagi “pembaharu”. Mereke yang menjadi liberal antara lain: Rifa’ah at-Tantawi (1801-11837 M), Qasim Amin (1863-1908 M), dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M) dari Mesir, dan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India. Di Abad ke 20, muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Abu Zayd Hamid (yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia),   Mohammed Shahrour.[47]
Sementara itu, Secara sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran Islam,  yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi  terhadap al-Quran.
Dalam disertasinya di Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Dari disertasi Barton tersebut dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham Pluralisme Agama – yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern –dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.[48]
Dalam bukun “Islam Liberal”, Dr. Adian Husaini mencatut beberapan tokoh Islam yang diidentefikasi terkena virus liberal.
1.       Prof. Dr. Harun Nasution, lulusan Mc Gill dengan bukunya “Islam ditinjau dari Berbagai Aspek”. Buku yang menjadi bacaan pokok  utama mata kuliah Pengantar Studi Islam IAIN seluruh Inonesia ini, dalam Bab I telah “menyerempet-nyerempet” kepersamaan Agama. Lebih lanjut ia mengyatakan—setelah mengutip sebagaian-sebagaian Ayat al-Qur’an--, “Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa agama-agama Yahudi, kristen, dan Islam adalah satu asal. Sejarah menunjukkan bahwa ketigaa agama itu memang mempunyai asal yang satu. Tetapi perkembangan masi-masing dalam sejarah mengambil jurusan berlainan, sehingga timbullah perbedaan di antara ketigan-tiganya”. Namun anehnya, di sini Harun Nasution tidak mengungkapkan penyelewangan-penyelewengan yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashrani.[49]
2.      Prof. Dr. Nurkholis Madjid. Bila Harun Nasution mengembangkan gagasan liberalnya melalui IAIN, maka Nurkholis Madjid mempromosikan ide kontroversialnya ke masyarakat—khususnya kelas menengah ke atas—lewat Paramadinanya. Ke-liberalan Nur Kholis Madjid terekspos pada tahun 1970, tepatnya 03 Januari 1970, ketika berpidato dalam halal bi halal di di Jakarta yang dihadiri aktivis-aktivis penerus Masyumi, HMI, PMII, PII, GPI dan Persami. Nur Kholis Madjid menyampaikan makalahnya dengan judul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Makalah Cak Nur (sebutan akrab Nur Kholis Madjid) itu sempat “menggegerkan”  para kativis Islam saat itu. Karena disitu ia mengajak kea rah liberalisasi dan sekularisasi.[50]
3.      Ulil Abshar Abdalah, lakpesdam NU, Jakarta
4.      Masdar F. Masudi, Pusat Penegmbangan Pesantren dan Masyarakat
5.      Goenawan Mohamad, Majalah Tempo, Jakarta
6.      Djohan Efendi, Deiken University, Australia
7.      Jalaluddi Rahmat, Yayasan Muthahari, dan Yayasan Mizan, Bandung
8.      Nasaruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
9.      Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadinah, Jakarta
10.  Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta
11.  Denni J. A, Universitas Jayabaya, Jakarta
12.  Rizal Malarangeng, CSIS, Jakarta
13.  Budi Munawar Rahman, Yayasan Paramadinah, Jakarta
14.  Taufiq Adnan Amal, IAIN Alauddin, Makassar
15.  Hamid Basayaib, Yayasan aksara, Jakarta
16.  Lutfhi Assyaukanie, Universitas ParamadinaMulya, Jakarta
17.  Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok
18.  Samsurizal Panggabean, UGM, Jogjakarta[51], dan masih banyak lainnya.

c.       Pluralisme (Agama)
Pluralisme agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama.[52] Istilah “Pluralisme Agama” masih sering disalahfahami atau mengandung pengertian kabur, meskipun terminologi ini begitu popular dan tampak disambut begitu hangat secara universal. Yang mengejutkan ialah konsep “Pluralisme Agama” seakan menjadi kesepakatan secara consensus dan final, dan untuk itu taken for granted.
Secara etimologis, ‘pluralisme agama’, berasal darti dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan ‘’al-ta’addudiyyah al-diiniyyah’’ dan dalam bahasa Inggris ‘’religious pluralism’’. Oleh karena istilah pluralisme agama ini berasal dari bahasa Inggris, maka mendefinisikannya secara akurat merujuk kepada bahasa tersebut. ‘’Pluralism’’ berarti ‘’jama’’ atau lebih dari satu. Dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan : i) sebutan untuk orang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, ii) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaa, baik bersifat kegerejaan maupun non-kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis : berarti sebuah sistem pemikiran yang mengaku adanya landasan pemikiran yang mendasar lebih dari satu (ontologis). Ketiga, pengertaian sosio politis : yaitu suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan dalam satu makna, yaitu koeksistensi berbagai kelompok atau keyakinan distu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing.[53]
Menurut Dr. Anis Malik Toha, Untuk mendefinisikan Agama, yang sesuai dengan makna Pluralisme, setidaknya menggunakan tiga pendekatan, yakni ‘fungsi’, ‘instituisi’, dan ‘subtansi’. Menurut ahli sejarah sosial, ‘agama’ diartikan ‘suatu institusi historis—suatu pandangan hidup yang instotusionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenisnya. Misalnya secara alami mudah dibedakan antara Budha dengan Islam dengan hanya meliaht sisi latarbelakang sejarahnya.
Sementara para ahli di bidang sosiologi dan antroplogi cenderung mendefinisikan dari sudut fungsi sosialnya, yaitu : suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial.  Pendapat ini di dukung Durkheim, Robert N. Bellah, dan Thomas Luckman. Sedangkan kebanyakan para teolog, fenomenolog dan ahli sejarah agama mengertikan agama dari segi substansinya yang sangat asasi—yaitu suatu yang sakral. Bila dikaji secara mendalam, ujar Anis, pada hakikatnya ketiga pendekatan itu tidak saling bertentangan, melainkan saling menyempurnakan dan melengkapi.
Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, definisi agama yang paling tepat adalah yang mencakup semua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modern seperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme dan lain-lainnya. Dan jiak “Pluralisme” dirangkai dengan “agama” sebagai predikatnya, maka berdasarkan pemahaman di atas bisa dikatakan bahwa “pluralisme agama” adalah kondisi hidup bersama antar agama (dalam arti luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing.
Sebagai “terminologi khusus”, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna “toleransi”, “saling menghormati” (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai sebuah paham (isme), yang membahas cara pandang terhadapa agama-agama yang ada, istilah “Pluralisme Agama” telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam bidang studi agama-agama (religious studies). [54]
Namun dari segi konteks di mana “pluralsime agama” sering digunakan dalam studi-studi  dan wacana-wacana sosio ilmiah pada era modern ini, istilah ini telah menemukan definisi dirinya yang sangat berbeda dengan yang dimiliki semula. Jhon Hick, misalnya, menegaskan bahwa pluralisme agama adalah suatu gagasan, bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap, Yang Real atau Yang Maha Agung dalam pranata cultural manusia bervariasi; bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nayata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut—dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama.
Dengan kata lain, Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah merupakan “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain".
Sangatlah jelas, rumusan Hick tentang pluralisme agama di atas adalah berangkat dari pendekatan substantive, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan mausia dengan kekuatan sakral yang transcendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu system sosial. Dengan demikian telah terjadi proses penegbirian dan “reduksi” penegrtian agama yang sangat dahsyat. Sesungguhnya, pemahaman agama yang reduksionistik inilah yang merupakan “pangkal permasalahan” sosio-teologis modern yang sangat akut dan kompleks yang tak mungkin diselesaikan dan ditemukan solusinya kecuali dengan mengembalikan konsep agama itu sendiri ke habitat aslinya, ke titik orbit yang sebenarnya, dan kepada pengertian yang benar dan konprehensif.[55] Namun pemahaman yang reduksionistik ini terlanjur diterima dan menjadi popular di  masyarakat, maka pembahasan kali ini-pun berkutat pada pemahaman tersebut.
Oleh karenanya pembahasan pluarlisme agama kali ini pun berfokus pada pemahaman asumsi sebagaimana pengertian reduksionisti diatas, yaitu bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama merupakan persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena kerelativannya, maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya adalah mutlak benar. [56]
Adapun sejarah pemikiran pluarilsme agama muncul pada masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa abad ke-18. Kemunculan pluralisme agama adalah konsekwensi logis dari kemunculan “liberalisme” yang komposisinya sebagaimana uraian di atas meliputi kebebasan, toleransi, persamaan, dan keragaman atau pluralisme. Oleh karena paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab politis, maka melahirkan wacana pluralisme politik, yang kemudian otomatis menetaskan pluralisme agama. Dengan kata lain pluralisme agama adalah produk dari pluralisme politik.[57]
Karena pluralisme agama ini sejalan dengan agenda globalisasi, ia pun masuk kedalam wacana keagamaan agama-agama, termasuk Islam. Ketika paham ini masuk ke dalam pemikiran keagamaan Islam, respon yang timbul hanyalah adopsi ataupun modifikasi dalam takaran yang minimal dan lebih cenderung menjustifikasi. Akhirnya yang terjadi justru peleburan nilai-nilai dan doktrin-doktrin keagamaan Islam kedalam arus pemikiran modernisasi dan globalisasi. Caranya adalah dengan memaknai kembali konsep Ahlul Kitab dengan pendekatan Barat. Jika perlu makna itu di dekonstruksi dengan menggunakan ilmu-ilmu Barat modern. Inilah sebenarnya yang telah dilakukan oleh Mohammad Arkoun. Ia mengusulkan, misalnya, agar pemahaman Islam yang dianggap ortodoks ditinjau kembali dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial histories Barat. Dan dalam kaitannya dengan pluralisme agama ia mencanangkan agar makna Ahl al-Kitab itu didekonstruksi agar lebih kontekstual. Disitu ayat-ayat tentang Ahlul Kitab dijadikan alat justifikasi, meskipun terkadang dieksploitir tanpa memperhatikan konteks historis dan metodologi tafsir standar. Mindset seperti ini jelas sekali telah terhegomoni oleh pemikiran Barat. Inti doktrinnya adalah untuk menghilangkan sifat ekslusif umatberagama, khususnya Islam. Artinya dengan paham ini umat Islam diharapkan tidak lagi bersikap fanatik, merasa benar sendiri dan menganggap agama lain salah.[58]
Para pengusung paham pluralisme ke dalam Islam ini mencoba memelintir beberapa ayat al-Qur’an sebagai justifikasi pendapat mereka, ayat 62 dalam surat al-Baqarah, yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.Q.S. al-Baqarah. 62
 dan ayat 69 dalam surat al-Maidah, artinya
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Q.S. al-Maidah. 69

            Dengan ayat ini mereka mengklaim bahwa “pada mulanya Rosulullah SAW. sendiri beranggapan bahwa orang-orang non muslim tidak masuk surga.” Tapi setelah turun ayat pluralisme tersebut, maka semakin jelas tentang kekuasaan dan kehendak Allah terhadap orang-orang non Muslim. Perbedaan agama tidak menghalangi Allah untuk memberika pahala. “Dengan kata lain, di mana letak keadilan dan kasih sayang Allah jika orang-orang non Muslim yang saleh dan banyak berbuat baik semasa hidupnya kelak dijebloskan ke neraka?.”[59]
            Padahal bila kita mengacu pada tafsir yang ada, hampir semua ahli tafsir baik yang salaf maupun yang khalaf sepakat bahwa ayat 62 surah al-Baqarah tersebut turun berkenaan dengan para sahabat Salman al-Farisi yang belum sempat bertemu Rosulullah saw. Keburu meninggal dunia, sehingga tidak masuk Islam. Dengan demikian, mereka yang teatp memegang teguh ajaran nabi yang terdahulu tanpa ada penyimpangan, serta beramal saleh akan dijamin keselamatan dunia dan akhirat.[60]
            Pada intinya teologi pluralis berujung pada penghancuran agama itu sendiri. Logikanya sangat sederhana. Jika ada orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka logikanya ia tidak yakin akan kebenaran agamanya sendiri, yang pasti bersifat unik. Walhasil, ikatanya dengan ajaran-ajaran agamanya semakin longgar. Dia dapat bertindak semaunya sendiri, menuruti kehendak dan jalan pikirannya sendiri, untuk menentukan apakah suatu itu dianggap baik atau birik.[61]
d.      Relativisme
Makna relativisme seperti yang tertera dalam ensiklopedia Britanica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan, kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. (The doctrin that knowledge, truth, and morality exist in relation to culture, society, or historical context and are not absolute).
Lebih lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa paham relativisme apa yang dikatakan benar atau salah, baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tetapi senantiasa berubah-ubah dan bersifat relative tergantung pada individu, lingkngan maupun kondisi sosial. Pandangan ini telah lama ada sejak Protagoras, tokoh Sophis Yunani terkemuka abad 5 SM, dan di jaman modern ini digunakan sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian sosiologi dan antropologi.  (What is right or wrong good or bad is not absolute but variable and relative, depending on the person, circumstances, or social situation. The view is as ancient as Phrotagoras, a leading greek Shopist of the 5th century BC, and as modern as the scientific apphroaches of sociology and anthropology).[62]
Relativisme menurut Hamid Fahmy Zarkasyi adalah ajaran yang berpegang pada prinsip bahwa kebenaran itu sendiri adalah relatif terhadap (tergantung pada) pendirian subjek yang menentukan.[63] Menurut KH. Qosim Nurseha Dzulhadi bahwa paham relatif melahirkan ‘isme’ baru yang disebut dengan “bingungisme”. Paham seperti ini sudah tak mampu membedakan mana haq dan mana bathil.[64] Faham relativisme kebenaran juga merupakan bagian dari pluralisme agama yang mengatakan bahwa kebenaran pemahaman tentang Tuhan bagi setiap pemeluk agama adalah relatif, karena mereka sama-sama ingin mencari Tuhan, tapi Tuhan bersifat metafisik dan transendental, hingga akhirnya manusia menjadi beragam dalam memahami Tuhan yang absolut tersebut. Pemahaman manusia ini kemudian diwujudkan dengan nama-nama dan simbol-simbol yang saling berbeda antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.[65]
Pemahaman demikian terdapat dalam pemikiran seorang Nurcholis Madjid, sebagaimana yang ia katakana:
“Pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu ‘agama samawi’) dan bukannya hasil suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah ‘agama wahyu’ atau ‘agama samawi’) maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’(seharusnya!) hanya ada pada Tuhan atau berasal ‘dari langit’, sementara yang datang dari manusia itu dari arah bumi (juga seharusnya!) dipandang sebagai relatif belaka.”[66]

Dengan penjelasan Nurcholish Madjid di atas, dapat dipahami bahwa relativis tidak meyakini adanya tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Bagi mereka, di level amaliyah sehari-hari tidak perlu justifikasi benar atau salah. Oleh karena itu, relativis tak mengakui adanya klaim kebenaran.
Pemahaman semacam ini sengaja dipopulerkan oleh kalangan Islam Liberal agar kaum muslimin keluar dari pakem yang sudah ada. Mereka menyebut orang-orang yang masih berpegang pada metode tafsir yang telah dirumuskan oleh generasi terdahulu sebagai kalangan anti pembaruan. Akibatnya mereka banyak mencela para ulama terdahulu semacam Imam asy-Syafi’i yang telah berjasa meletakkan kaidah Ushul Fiqh atau Ibnu Katsir yang merumuskan metode tafsir yang telah dipakai berabad-abad oleh umat Islam. Menurut pemahaman ini tidak ada kebenaran yang bisa diterima oleh semua pihak.
Kaum liberal, sangat lihai dalam memanipulasi ayat-ayat yang menurut mereka mendukung konsep pemikirannya. Untuk permasalahan agama misalnya,mereka memakai Qs. Al-Baqarah [2]: 256  yang artinya Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” selalu dijadikan bamper oleh mereka. Kata ‘laa ikraaha fi al-diin’, senantiasa dijadikan entry-point untuk menusukkan ‘jarum’ relativisme ini. Di sini mereka ingin menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Karena agama itu sama, sama-sama benar. Ia ibarat “jari-jari”: banyak tapi menuju satu titik –tengah—yang satu (Allah). Bahkan ada yang menyatakan bahwa perbedaan agama itu letaknya pada tatara eksoteris saja. Pada tataran esoteris-nya semua agama adalah sama.[67]
Inilah salah satu contoh bentuk aplikasi paham relativisme beragama yang dikampanyekan oleh piahk yang menamakan Islam Liberal, yakni tidak memiliki sikap dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, menurut mereka, tidak ada pemahaman absolut dalam agama; yang ada adalah kebenaran relatif. Karena itulah, mereka tidak bersikap dalam hal kebenaran dan kesalahan.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana dampak paham seperti ini terhadap orang yang beragama. Mereka akan bersikap individual, tidak peduli terhadap kemunkaran yang berlaku di tengah masyarakat, karena mereka menganggap agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan.  Padahal, dalam Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah ajaran yang sangat penting, yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Rasulullah saw menggambarkan orang yang hanya sanggup melawan kemunkaran dengan hatinya, tanpa tindakan apa pun, sebagai ’selemah-lemah iman’ (adh’aful iman).
Jadi, orang yang mengetahui kemunkaran, tetapi tidak berbuat apa-apa, kecuali benci dengan hati, sudah dikategorikan sebagai ’selemah-lemah iman’. Kita bertanya, bagaimana dengan orang yang sudah tidak tahu lagi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar? Bahkan, bagaimana dengan orang yang mengajarkan dan menyebarkan paham bahwa yang ma’ruf sama saja dengan yang munkar, karena manusia tidak berhak mengklaim dirinya benar dan yang lain salah? Tentulah paham seperti ini sangat keliru dan ’keblinger’.
Mungkin tanpa disadari oleh penyebar paham relatvisme beragama, bahwa mereka sudah meruntuhkan satu pilar Islam yang sangat kokoh, yakni keyakinan akan kebenaran Islam dan kewajiban mendakwahkannya. Mungkin ada yang bermaksud, agar kaum Muslim jangan memutlakkan pendapatnya dalam hal-hal furu’iyyah, sehingga tercipta keharmonisan kehidupan umat Islam. Sedangkan dalam hal-hal yang ushul (aqidah), maka tidak ada perbedaan diantara umat Islam.
Jika yang mereka maksudkan adalah semacam ini, yakni kerelativan dalam masalah furu’iyyah, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, faktanya, para pendukung paham relativisme beragama, tidak membatasinya hanya dalam hal furu’iyyah. Dalam semua aspek keagamaan, kata mereka, pemahaman manusia adalah relatif. Mereka senantiasa membedakan antara ’agama’ yang bersifat mutlak dengan ’pemahaman’ atau ’pemikiran terhadap agama’ yang bersifat relatif. [68]

e.      Demokrasi
Secara etimologis “demokrasi”  terdiri atas dua kata “demos” yang berarti rakyat  atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos”  yang berarti kekuasaan, kedaulatan atau pemerintahan. Gabungan dari kedua kata tersebut memiliki arti suatu keadaan Negara dimana  dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Rakyat  berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Sedangkan pengertian demokrasi secara istilah atau terminologi  adalah seperti yang di nyatakan oleh para ahli sebagai berikut: Joseph A. Schmeter  mengatakan demokrasi suatu perencanaan yang institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook mengatakan demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan  pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung di dasarkan kepada mayoritas  yang di berikan secara bebas dari rakyat dewasa.[69]
Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan Negara dan hukum, yang di praktekkan antara abad ke–6 SM sampai dengan abad ke-4 M. demokrasi yang dipraktekan pada masa itu berbentuk demokrasi lagsung (Direct Democracy) yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik di jalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara berdasarkan prosedur mayoritas.
Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada abad pertengahan dimana pada masa ini masyarakat Yunani berubah menjadi masyarakat Feodal. Demokrasi tumbuh kembali di eropa menjelang akhir abad pertengahan, di tandai dengan lahirnya Magna Charta ( Piagam Besar). Magna Charta adalah suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dengan Raja John Inggris. Di dalamnya di tegaskan bahwa Raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Terdapat dua hal yang mendasar pada piagam ini : Pertama adanya pembatasan kekuasaan raja, dan yang Kedua, hak asasi manusia lebih penting dari pada kedaulatan Raja. Momentum lainya yang menandai munculnya kembali demokrasi di Eropa adalah Renaissance (Gerakan Pencerahan) dan Reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno. Gerakan Reformasi juga merupakan penyebab lain kembalinya Demokrasi di Barat, gerakan ini merupakan gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja. Selanjutnya gerkan ini di kenal dengan Protestanisme. Gerakan ini dimotori oleh Martin Luther yang menyerukan kebebasan berfikir dan bertindak.[70]
Menurut Dr. Anis Malik Toha, demokrasi merupakan manifestasi dari humanisme sekular yang membawa nilai-nilai toleransi pluralisme, dimana konsepnya ialah bercirikan antroposentris, yakni menganggap manusia sebagi hakikat sentral kosmos. Dan bila ditelusuri, lagi-lagi akan kembali kepada pemikiran Sophist Protagoras (490-420 SM).[71]
Pada abad pencerahan, August Comte, dengan segala kepiwaiannya berusaha untuk merealisasikan Humanisme sebagai “Agama Humanis” (Religion ofg Humanity). Dalam cetak birunya, Comte berobsesi, ideology humanisme ini  akan dapat memenuhi  tuntutan atau hajat religius/spiritual manusia serta dapat menggantikan kedudukan tuhan.
Demokrasi sebagai system pemerintahan sipil modern merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan. Hal tersebut terjadi karena hidupnya pemerintahan demokratis mengandaikan adanya toleransi dengan persamaan yang penuh—yang adalah merupakan ruhnya demokrasi—antar individu sebuah bangsa, terlepas dari ras, suku, aliran, agama maupun partai, baik dalam hak maupun kewajiban. Sesngguhnya toleransi ini diniscayakan eksistensinya dalam buah system modern ini (pluralisme politik dan agama) bukanlah seperti yang pernah dikenal manusia pada umumnya dari ajaran-ajaran agama mereka, bahkan juga buka seperti yang dipahami Thomas Aquinas (1224-1247 M) dalam bukunya “Summa Theologia”, juga bukan seperti yang dipahami Jhon Locke, peletak teori demokrasi modern dan penganjur toleransi di abad modern.[72] Sebab bentuk toleransi macam ini, menurut pandangan kaum pluralis, sudah out of date dan tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan demikian konsep toleransi berbalik secara diametral.
Maka dari itu, toleransi, menurut Arnold Toynbee, tidak akan memiliki arti ‘’positif’’, bahkan “tidak sempurna dan hakiki, kecuali apabila manifestasinya berubah menjadi kecintaan”.
Hal inilah yang menginspirasi panitia tiga pendiri Negara Amerika (Jhon Adams, Benjamin Franklin, Thomas Jeferson, yang ditugasi untuk mempersiapkan slogan fondasi Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli 1776), untuk memasukkan ruh nilai toleransi ke dalam bodi pemerintahan Negara yang baru lahir ketika memilih sebuah slogan Latin yang berbunyi; “E pluribus unum” (Out of Many, one, yaitu “dari keragaman, muncullah satu”).
Awal berdirinya Amerika serikat ditandai dengan saling bermusuhan antar suku dan ras demi daerah dan kekausaannya. Sedangkan di sisih lain ternyata pihak gereja mandul dalam meletakkan landasan kokoh untuk sebuah negri baru. Sehingga hal ini menjadikan Benjamin Frenklin salah satu pendiri Negara Amerika merasa putus asa terhadap Gereja. Maka pada saat yang sama Frenklin menyerukan pemikirannya dengan “keharusan Public Religion”.  Ia berpendapat, negri baru yang terdiri dari keanekaragaman ras, warna kulit, agama, aliran, suku dan lainnya yang notabene mudah retak setiap saat, tidak akan pernah stabil kecuali bila berlandaskan pada suatu asas yang solid, tapi dapat diterima semua puhak. Jelas asas tersebut dalam pandangannya haruslah terdiri dari perpaduan “elemen-elemen dasar setiap agama”, dan proses atau pengalaman sosial, rasionalitas, tabiat atau prilaku dan wishful thinking serta kesungguhan sejati.[73]
Dari uraian tadi, terbaca dengan jelas bahwa Benjamin Franklin telah mendefinisikan agama Republiknya sebagai alat politis untuk melahirkan sikap loyal dan toleran antar sesama anggota bangsa dan pada gilirannya, untuk menjamin stabilitas sosial.[74] Dan agama republic tersebut hanya bisa diwakili oleh konsep demokrasi.



f.        Feminisme
Istilah femina, feminisme, feminist, berasal dari bahasa Latin fei-minus. Fei artinya iman, minus artinya kurang. Jadi feminus artinya kurang iman. Wanita di Barat, sejarahnya, memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho. Tapi lawan kata feminis, yakni masculine tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering diartikan sebagai strength of sexuality. Maka dari itu dalam agama, wanita Barat itu korban inquisisi dan di masyakarat jadi korban perkosaan laki-laki. Tak pelak lagi agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.[75]
Memang tak dapat dipungkiri, gerakan feminis di Barat merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan ‘sebelah mata’ terhadap perempuan (misoginy) dan berbagai macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka. Semua itu bahkan telah mengejawantah dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik.[76]
Salah satu stereotype adalah pandangan St. Jerome, bahwasannya wanita adalah akar dari segala kejahatan (the root of all evil). Penilaian serupa dinyatakan oleh St. Jhon Chysostom, “Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipoles dengan warna-warna indah. Dan masih banyak pandangan-pandangan negatif yang lain dari tokoh-tokoh gereja pada waktu itu. [77]
Kaum feminis umumnya menganggap Mary Wollstonecraft sebagai nenek-moyang mereka. Lewat bukunya yang terkenal, A Vindication of the Rights of Woman (London, 1792), ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menu  ntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pemilihan umum (suffrage). Gebrakan Wollstonecraft menggema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-tokoh semisal Clara Zetkin (1857-1933) di Jerman, Hélène Brion (1882-1962) di Perancis (penulis selebaran La voie feministe dengan subjudulnya yang terkenal, “Femme: ose être !” (Hai perempuan, beranilah menjadi diri sendiri!), Anna Kuliscioff (1854-1925) di Italy (pendiri liga wanita dan jurnal La Difesa delle Lavoratrici), Carmen de Burgos alias ‘Colombine’ (1878-1932) di Spanyol, Alexandra Kollontai (1873-1952) di Russia, dan Victoria Claflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872.[78]
Pada mulanya feminisme melakukan pembebasan daru kungkungan kaum laki-laki. Mereka menyerukan pentingnya kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan baik dalam segi ekonomi (gaji), politik, dan pendidikan. Namun pada akhirnya merambah pada ranah moral. Di mana kaum feminis radikal mengagendakan revolusi sex, penggalakan lesbianisme, serta menghalalkan aborsi.
Reaksi tajam terhadap radikalisasi feminis datang dari banyak kalangan. Mantan calon Presiden Amerika, Pet Robertson, pernah berkomentar bahwa para feminis itu kerjanya cuma ‘mengompori’ wanita agar meninggalkan suami dan membunuh anak mereka, mengamalkan pedukunan, menjadi lesbian dan meruntuhkan kapitalisme (“Feminists encourage women to leave their husbands, kill their children, practise witchcraft, become lesbians and destroy Capitalism”). Penulis terkenal Susan Jane Gilman pun menangkap kesan serupa. Banyak kaum wanita sekarang ini, keluhnya, menganggap feminisme tidak ketahuan ‘juntrungan’nya dan tidak jelas apa maunya. Sementara kalangan lain menilai wacana feminisme itu elitis, filosofis, ketinggalan zaman, kekanak-kanakkan, dan tidak relevan lagi (“For women today, feminism is often perceived as dreary. As elitist, academic, Victorian, whiny and passé”). [79]
Di kalangan umat Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M). tokoh reformis dari Mesir ini menekankan pentingnys anak-anak perempuan dan kaum wanita Muslimah medapatkan pemdidikan formal di sakolah dan perguruaan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan umat. Kemudian diikuti oleh Hasan al-Turabi dari sudan, Muhammad Syaltut, Sayyid Quthb, Syekh Yusuf al-Qaradawi, dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu pendapat ini didasari dengan ayat-ayat al-Qur’an.
            Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin. Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai ‘Bapak Feminis Arab’. Dalam bukunya yang kontroversial, Tahriru l-Mar’ah (Kairo, 1899) dan al-Mar’ah al-Jadidah (Kairo, 1900), dimana ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami, dan lain sebagainya. [80]
Gagasan-gagasan Qasim Amin mendapat banyak sanggahan dan ditolak keras. Adalah Syekh Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahriru l-Mar’ah fi ‘Ashri r-Risaalah (Kuwait), misalnya menolak dan membongkar tuduhan-tuduhan yang dilayangkan Qasim Amin terhadap ajaran Islam. Bahkan menurut Syekh Abdul Halim, setelah melakukan penelitian studi intensif kepada literatur klasik, justru Islam sangat emansipatoris terhadap wanita. Menurut beliau, kedatangan Islam menyebabkan revolusi gender pada abad ke-7 M.  Abu Syuqqah menemukan bahwa pasca datangnya Islam kaum wanita mulai diakui hak-haknya  sebagai layaknya manusia dan warganegara (bukan komoditi), terjun dan beran aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer.
Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa gerakan emansipasi wanita dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh risalah yang dibawah oleh Nabi Muhammad SAW..[81] Tentunya konsep emansipasi wanita yang diusung oleh Islam berbeda dengan yang dibawah oleh para feminis Barat. Emansipasi waniata dalam Islam mengacu pada hukum dan kodrati wanita yang sesuai dengan fitrahnya. Bukan menembus batas nilai-nilai yang ada. 
Namun sungguh ironis. Pada abad ini di dalam dunia Islam bermunculan gerakan penerus feminis radikal. Sebutlah Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Rifat Hasan dari Mesir, Taslimah Nasreen  dari Bangladesh, Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari Amerika Serikat (yang pernah heboh memimpin sidang Dan Sholat Jum’at di dalam gereja), Zainah Anwar dari Malaysia dan Siti Musda Mulia dari indonesia.[82]
Singkatnya—kalau tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradhawi menyeru orang untuk kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah dalam soal gender, maka kaum feminis radikal malah mengajak orang untuk mengabaikannya.[83]


g.     Kesimpulan
Modernisasi adalah produk perlawanan Barat terhadap pihak Gereja. Ketika Gereja meletakkan kekuaasaan otoriternya, ketika Gereja dengan inquisisinya mengeksekusi setiap yang menjadi “lawannya”, ketika itu pula terjadi Revolusi dalam segala lini, serta reformasi dalam pihak gereja. Dari sinilah kemudian lahir masyarakat modern.
Sentralitas manusia dalam prinsip dan tujuan merupakan ciri paling khas dari revolusi intelektual dan cultural pada zaman modern. Tidak satu wacana pemikiran yang digulirkan pada era modern yang tidak berangkat dari titik ini dan bermuara pada titik ini pula.
Modernitas telah melahirkan dua produk. Pertama, teknologi dan ilmu pengetahuan. Kedua, produk pemikiran. Bila produk yang pertama membawah manfaat, meski tidak sedikit yang mudharat, produk yang kedua, hemat penulis adalah mutlak membawa kemudharatan yang membahayakan keimanan terutama umat Islam. Wallahu A’lam bissawwab




[1] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”, Jakarta, Gema Insani Press, 2005, hlm. xxi
[2] Dadang kahmad, “Sosiologi Agama”, Bandung, Rosdakarya, 2000, hlm. 194-195
[3] Michael H. Hart, “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya,1982, hlm. 104
[4] Dadang kahmad, “Sosiologi …, hlm. 194-195
[5] Asmawi, “Modernitas Dalam Islam”, Mojokerto, Jurnal Uluwiyah, 2008, hlm. 48
[6] Ibid, hlm. 184-185.
[7] JW.Schoorl, Modernisasi, di Indonesiakan oleh RG. Soekadijo, Jakata, Gramedia, 1991, hlm.01.
[8] Syamsuddin arif, “Orintalis dan Diabolisme Pemikiran”, Jakarta, Gemani Insani Press, 2008, hlm. 84-85.
[9] Dadang Kahmad, “sosiologi Agama”…, hlm. 185.
[10] Ibid, hlm. 194
[11] Mulyadhi Kartanegara, “Mengislamkan Nalar, Sebuah Respons Terhadap modernitas”, Jakarta, Erlangga, hlm. 21
[12] Dadang Kahmad, “Sosiologi Agama”…, hlm. 194
[13] Frans Magnis Suseno, "Menalar Tuhan”, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 4445.
[14] Dadang Kahmad, “Sosiologi Agama”…,  hlm 195
[15] Mulyadhi Kartanegara, “Mengislamkan Nalar…, hlm. 44
[16] Jalaluddin dan Abdullah Idi,”Filsafat Pendidikan”, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2009, hlm. 72
[17] Mulyadhi Kartanegara, “Mengislamkan Nalar…, hlm. 44
[18] Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal”, Jakarta, Gema Insani Press, 2003, hlm. 106
[19] Mulyadhi Kartanegara, “Mengislamkan Nalar…, hlm. 44-48
[20] Dadang Kahmad, “Sosiologi Agama”…, hlm. 195-196
[21] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”… hlm. 30-31
[22] Ibid, hlm. 34-35.
[23] Qosim as-Samurai, “Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis”, Jakarta, Gema Insani Press, 1996, hlm. 44.
[24] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”… hlm. 35-36.
[25] Ibid, hlm. 37.
[26] Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hlm. 149.
[27] Ibid, hlm. 41.
[28] Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu…, hlm, 149
[29] Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis…, hlm. 04-03.
[30] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”… hlm. 42
[31] Ahmad Ilham Masduqie, artikel Dialog interaktif “Problematika Bibble”, Pandaan, Majelis Ta’lim Ahlu as-Sunnah al-Bayyinat, 2008, hlm. 01.
[32] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”… hlm. 43.
[33] Adian Husaini, “Wajah Peradaban Barat”… hlm.48-49.
[34] Adian Husaini, “Hendak Kemana (Islam) Indonesia, Surabaya, Media Wacana, 2005, hlm. 125.
[35] Mawardi dan Nur Hidayat, “Ilmu Alam Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Bandung, Pustaka Setia, hlm. 104-105.
[36] Ibid, hlm. 106.
[37] Dadang Kahmad, “Sosiologi Agama”…, hlm. 198.
[38] Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis…, hlm. 09-10.
[39] Kholili Hasib, Artikel “Keniscayaan Skularisasi di Dunia Islam”, 2008, hlm. 01.
[40] Adnin Armas, “Pengaruh Kristen-Orientalis…, hlm. 05.
[41] Ibid, hlm. 06.
[42] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme…, hlm. 86.
[43] Adi Gunawan, “Kamus Praktis Ilmiah Popular”, Surabaya, Kartika, 2002, hlm. 289.
[44] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme…, hlm. 76.
[45] Ibid, hlm. 77-78
[46] Adian  Husaini, “Liberalisasi Islam di Indonesia”, http://www.insistnet.com, hlm. 08.
[47] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme…, hlm. 78
[48] Adian  Husaini, “Liberalisasi Islam…, hlm. 11-17.
[49] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal” Jakarta, Gema Insani Press, hlm. 26-27
[50] Ibid, hlm. 30
[51] Ibid, hlm. 05.
[52] Adian Husaini,“Pluralisme Agama, Musuh Agama-Agama’’, http://www.adianhusaini.com, hlm. 01
[53] Anis Malik Toha, “Tren Pluralisme Agama”, Jakarta, Perspektif, hlm, 11-12.
[54] Adian Husaini,“Pluralisme Agama..., hlm. 01.
[55] Anis Malik Toha, “Tren Pluralisme…, hlm. 15-16
[56] Adian Husaini,“Pluralisme Agama..., hlm. 01.
[57] Anis Malik Toha, “Tren Pluralisme…, hlm. 17. Muhammad Legen hausen juga berpendapat sama, bahwasannya munculnya liberalisme politik di Eropa pada abad 18, sebagaian besar di dorong oleh kondisi masyarakat yang carut-marut akibat memuncaknya sikap intoleran dan konflik-konflik etnis dan sektarian yang pada akhirnya menyeret pada pertumpahan darah antar etnik, ras, sekte dan mazhab. Kemudian libealisme politik menawarkan paham pluralisme politik, yang di dalamnya termasuk ada  pluralisme agama, sebagai wasit pendamai diantara konflik yang ada.
[58] Muhammad Nurdin Sarim, Makalah “Telaah Kritis Pluralisme Agama”, KISDI, Gontor,
[59] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme…, hlm. 153.
[60] Ibid, hlm. 166. Penjelasan tersebut dapat ditemui dalam tafsir imam al-Tabari, tafsir imam al-Qurtubi, tafsir imam an-Nasafi, tafsir imam al-Baydhawi, tafsir Ibnu Taymiyyah, dan masih banyak lainnya. Bahkan dalam ulama’ ahli tafsir versi Syi’ah-pun berpendapat demikian, seperti dalam tafsir al-Allamah at-Thabathaba. Sebagi contoh: dalam tafsir Ibnu katsir  sehubungan dengan ayat tersebut menjelaskan “Bahwa setiap orang menikuti ajaran Rasulullah SAW, maka baginya kebahagiaan abadi (kullu man ittiba’a r-rasul an-abiyy al-ummiyy fa-lahu s-sa’adah al-abadiyyah) dan tidak perlu takut atau merana kelak. Ibnu Katsir kemudian mengutip dua ayat di surah lain demi menjelaskan ciri-ciri mereka yang mereka yang terpu takut dan tak akan berduka diakhirat nanti : yakni mereka yang beriman dan bertakwa (Yunus: 62-63)  dan mereka yang menuhankan Allah dan konsisten (Fushshilat:30). Beliau juga menyebutkan kisah Salman al-Farisi berkenaan sahabat-sahabat Nasraninya yang belum sempat masuk Islam (riwayat Ibnu hatim dari Mujahid dan Sa’id ibn Jubayyr, dan riwayat as-Suddi)
[61] Adian Husaini dan Nuim Hidayat, “Islam Liberal..,hlm. 123
[62] Henry Salahudin, “Bahaya RelativismeTerhadap Keimanan”, http://.www.islamia.com
[63] Hamid Fahmi Zarkasy, “Liberalisme Pemikiran Islam”, Ponorogo, CIOS, hlm. 89
[64] Qosim Nursheha Dzulhadi, “Menolak Relativisme Iman dan Kufur”, http://www.hidayatullah.com/kajian-a-ibrah/735-menolak-relativisme-iman -dan-kufur, hlm. 01.
[65] Zarnuzi Ghufron, “Soal Kebenaran, Benarkah relatif”, http://www.hidayatullah.com/opini/pemikiran/11058-soal-kebenaran-benarkah-relatif
[66] Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina, 2008, 143  

[67] Qosim Nursheha Dzulhadi, “Menolak Relativisme…, hlm. 01.
[68] Adian Husaini, “Relativisme Beragama”, Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini,  http://www.hidayatullah.com
[69] Dwi Prasetyo, Makalah “Demokrasi, Teori dan Aksi”, http://dwiprastyo.blogspot.com, diakses, 04/04/2010.
[70] Muhammad Saad, ‘’Rangkuman Pendidikan Kewarganegaraan’’, STIT Uluwiyah, 2009.
[71] Anis Malik Toha, “Tren Pluralisme…, hlm. 51.
[72] Jhon Locke merupakan propagandis toleransi abad ke-17. namun menurut Arnold Toynbee seorang sejarawan ternama berkebangsaaan Ingris, bahwa toleransi yang dimaksud Jhon Locke merupakan toleransi “pasif” bukanlah “aktif”. Hal ini dikarenakan Locke berangkat dari pandangannya sebagai seorang guru Kristen, melihat intoleransi sebagi etika dari non-Kristen. Bahkan E. C. Dewick mengatakan bahwa Locke benar-benar jauh untuk dikatakan sebagi seorang yang toleran dikarenakan dia berpendapat bahwa, berangkat dari agamanya yang Protestan, kaum atheis dan Katolik harus dikeluarkan dari toleransi. (Lihat Dewick, The Christian Attitude to Other Religion, Cambridge University Press, 1953, hlm. 160)
[73] Pemikiran ini sebetulnya mirip, kalu tidak malah identik, dengan pemikiran seorang tokoh Prancis yang hidup sezamannya, Jean Jacques Rousseau (1712-1778 M) dalam salah satu bukunya The Social Contract and the Discourses tentang agama yang dinamakan “Agama Madani” ( Civil Religion).
[74] Anis Malik Toha, “Tren Pluralisme…, hlm. 55-58
[75] Hamid Fahmi Zarkasyi, “Fe-Minus”,http://hidayatullah.com, hlm. 01.
[76] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme”…, hlm. 103
[77] Ibid, hlm.104
[78] Syamsudin Arif, “Menyikapi Feminisme dan Isu Gender”, http://www.insistsnet.com
[79] Ibid
[80] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme”…, hlm. 110
[81] Ibid, hlm. 111-112
[82] Syamsudin Arif, “Menyikapi Feminisme dan…, hlm. 04.  Musdah Muliah adalah seorang proffesor yang sering kali mengeluarkan statemen  yang  kontradiktif. Diantara statemen tersebut adalah termuat dalam Counter Legal Draft (CLG) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide “Aneh” yang tercantum dalam CLG-KHI tersebut. Misalnya, ide mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, menghalalkan kawin kontrka (mut’ah), dan sebagainya.  Pendapat terakhir yang menyengat telinga adalah dukungan secara terbuka terhadap perkawinan sesame jenis (homoseksual dan lesbian). Argument dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini, sebagimana yang terlampir dalam makalah ringkasnya “Islam Rahmatan bagi Alam Semesta”: “Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada prilaku seksualnya, bukan orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara itu prilaku seksual bersifat konstruksi manusia…Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay maupun lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi , maka hubungan demikian dapat diterima” (Uraian lebih lanjut, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)
[83] Syamsuddin Arif, “Orintalis dan Diabolisme”…, hlm. 112


1 komentar:

  1. Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.

    BalasHapus