Cari Blog Ini

Kamis, 08 September 2011

Fiqh Jinayah

RUANG LINGKUP FIQH JINAYAH

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas matakuliah
Fiqh Jinayah
Yang dibina oleh Bapak Moh. Syuaib, S.Ag.




Oleh:
Mohammad Saad
NIM 2009. 4. 020. 0001. 1. 01077

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ULUWIYAH
MOJOSARI-MOJOKERTO
Februari  2011


DAFTAR ISI


                                                                                                         Halaman
SAMPUL DEPAN
KATA PENGANTAR........................................................................      i    
DAFTAR ISI......................................................................................      ii

      BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.........................................................................      
B.     Batasan Masalah......................................................................    
C.     Tujuan Penulisan......................................................................     

      BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian jinayah....................................................................
B.     Pengertian hudud, macam, dan hikmahnya.............................
C.     Pengertian Qishash, macam, dan hikmahnya..............................
D.    Pengertian Ta’zir, macam, dan hikmahnya..............................

      BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................    
            B.   Saran..........................................................................................   

DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Disisi lain manusia ingin tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Untuk itu, semua muslim wajib mempertimbangkan dengan akal sehat setiap langkah dan perilakunya, sehingga mampu memisahkan antara perilaku yang dibenarkan,( halal ) dengan perbuatan yang disalahkan ( haram ). Di dalam ajaran islam bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif dijelaskan di dalam fiqih Jinayah.
Dalam makalah ini diajukan beberapa hal yang menyangkut pelanggaran dan sangsi sesuai dengan perbuatannya itu. Maka dari itu didalam makalah ini akan dibahas mengenai Qishash, Hudud, Ta’zir “Hukuman-hukuman”. Setelah mengetahu berbagi macam hukuman yang diakibatkan atas pelanggaran seseorang maka diharapkan akan muncul suatu hikmah dan tujuan kenapa hukuman itu ada dan dilaksanakan.

B. Batasan Masalah
.     Dalam upaya menspesifikan masalah dalam makalah ini perlu adanya batasan masalah yang akan diuraikan. Masalah yang akan dibahas adalah apa hikmah dan tujuan hukuman-hukuman (jarimah) dalam pidana. PENGERTIAN, MACAM-MACAM HUKUM SERTA HIKMAHNYA                   

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain :
Mengetahui pengertian jinayah, serta pengertian hudud, qishash, dan ta’zir beserta macam dan hikmahnya.


BAB II
PEMBAHASAN

I.            Pengertian Jinayah
Jinayah adalah tindakan kriminal atau tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan. Secara bahasa kata jinaayaat adalah bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau membayar. Fiqih Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas dalil yang terperinci.
 Tujuan disyari’atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti : Pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan – perbuatan yang terlarang menurut syara’[1]. Selain itu, terdapat fuqaha' yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash –tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan – larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.
Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah ”larangan” karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbutan yang dilarang syara’. Larangan ini timbul karena perbuatan-perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena adanya sanksi , tetapi semta-mata karena ketinggian moralnya –mereka orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukan dimana  pun di dunia ini selalu ada orng-orang yang taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.

 Macam-macam Hukuman
A.      Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak pidana.
Hukuman ditinjau dari segi terdapat atau tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian
.

  1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya.
  2. Hukman yang tidak ada nashnya, hukuiman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, bersaksi palsu.
B.       Ditinjau dari segi hubungan antara suatu hukuman dengan hukuman yang lain, hukuman dapat dibagi menjadi empat yaitu:


  1. Hukuman pokok (al-uqubat al-ashliyah), yaitu hukuman yang sal bagi suatu kejahatan , seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan.
  2. Hukuman pengganti (al-uqubat al- badaliyah), yaitu hukuman yang menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum diyat bagi pembunuh yang sudah di maafkan qishasnya oleh keluarga korban atau hukuman ta’zir apabila karena suatu hal hukuman had tidak dapat dilaksnakan.
  3. Hukuman tambahan (Al-‘Uqubah Al-Thaba’iyah), yaitu: hukuman yang dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta terbunuh.
  4. Hukuman pelengkap (Al-‘Uqubat Al-Takmiliyat), yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan.

Jinayah atau jarimah dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-Quran dan hadist. Atas dasar ini mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu :
a.      jarimah hudud,
b.      jarimah qishash, dan
c.       jarimah ta’zir.

II.            HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ bahasa Arab “hadd”, pada dasarnya hadd berarti pemisah antara dua hal atau yang membedakan antara sesuatu dengan yang lain. Secara bahasa hadd berarti pencegahan. Menurut istilah syara’ hadd adalah memberikan hukuman dalam rangka hak Allah. Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama. Merupakan sutu peraturan yang bersifat membatasi atau mencegah atau undang-undang dari Allah berkenaan dengan hal-hal boleh (halal) dan terlarang (haram) serta hukuman-hukuman yang di jatuhkan kepada pelaku-pelaku kemaksiatan.

Macam-macam hudud dan hukumanya :
1. khamar                                5. mencuri
2. zina                                      6. muharobah
3. qadzaf                                
4. riddah

               i.                                                                             Khamar
Khamar adalah cairan yang di hasilkan dari peragian biji-bijian atau
buah-buahan dan mengubah sari patinya menjadi alcohol dan menggunakan
katalisator (enzim) yang mempunyai kemampuan untuk memisah unsur-unsur tentu yang berubah melalui proses peragian atau Khamr adalah minuman yang memabukkan. Orang yang minum khamr diberi sangsi dengan dicambuk 40 kali (Umar bin Khattab 80 kali). Khamr diharamkan dan diberi sangsi yang berat karena mengganggu kesehatan akal pikiran yang berakibat akan melakukan berbagai tindakan dan perbuatan di luar kontrol yang mungkin akan menimbulkan ekses negatif terhadap lingkungannya.

             ii.                                                                             Zina

Zina adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, baik dilakukan secara sukarela maupun paksaan. Sanksi hukum bagi yang melakukan perzinahan adalah dirajam (dilempari dengan batu sampai mati) bagi pezina mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang telah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah. Atau dicambuk 100 kali bagi pezina ghoiru mukhshan; yaitu perzinahan yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang sah.
Adapun dalil terhadap orang yang tidak muhsan ialah firman Allah Swt:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.”(An-Nur :2)

Sabda Rasulullah Saw.:
perawan dengan bujang yang berzina hendaklah didera seratus kali, dan diasingkan dari negeri itu selama seratus tahun.”(Riwayat Muslim).
            Bahkan tidak hanya zinanya yang haram, melainkan mendekatinyapun haram, sebagaimana firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S al-Isra:32)
Disamping itu, Rasulullah SAW.,bersabda:

 “Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kamu bersepi-sepi dengan seorang perempuan (yang bukan mahram), karena yang ketiga adalah setan.” (HR Bukhari dan Muslim dari ibn Abas).

 Sanksi hukum tersebut baru dapat dijatuhkan apabila sudah terbukti melakukan perzinahan baik dengan pengakuan, 4 orang saksi atau alat bukti.
Perzinahan diharamkan oleh Islam karena : 1) Menghancurkan garis keturunan dan putusnya hak waris. 2) Mengakibatkan kehamilan sehingga anak yang terlahir tersia-sia dari pemeliharaan, pengurusan dan pembinaan pendidikannya. 3) Merupakan salah satu bentuk dari perilaku binatang yang akan menghancurkan kemanusiaan. 4) Menimbulkan penyakit yang berbahaya dan menular.

           iii.                                                                             Qadzaf

            Asal makna qadzaf adalah ramyu melempar, umpamanya dengan batu atau dengan yang lainya. Menurut istilah adalah menuduh orang melakukan zina.
Sangsi hukumnya adalah dicambuk 80 kali. Sangsi ini bisa dijatuhkan apabila tuduhan itu dialamatkan kepada orang Islam, baligh, berakal, dan orang yang senantiasa menjaga diri dari perbuatan dosa besar terutama dosa yang dituduhkan. Namun ia akan terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan 4 orang saksi dan atau bukti yang jelas. Suami yang menuduh isterinya berzina juga dapat terbebas dari sangsi tersebut apabila dapat mengemukakan saksi dan bukti atau meli’an isterinya yang berakibat putusnya hubungan perkawinan sampai hari kiamat.

            iv.                                                                             Riddah

Riddah adalah kembali kejalan asal (setatus sebelumnya). Disini yang di maksud dengan riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dewasa kepada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari oraing lain : baik yang kembali itu laki-laki maupun perempuan.

              v.                                                                             Mencuri
                 
Pencurian adalah mengambil sesuatu milik orang lain secara diam-diam dan rahasia dari tempat penyimpannya yang terjaga dan rapi dengan maksud untuk dimiliki. Pengambilan harta milik orang lain secara terang-terangan tidak termasuk pencurian tetapi Muharobah (perampokan) yang hukumannya lebih berat dari pencurian. Dan Pengambilan harta orang lain tanpa bermaksud memiliki itupun tidak termasuk pencurian tetapi Ghosab (memanfaatkan milik orang lain tanpa izin). Pelaku pencurian diancam hukuman potong tangan dan akan diazab diakherat apabila mati sebelum bertaubat dengan tujuan agar harta terpelihara dari tangan para penjahat, karena dengan hukuman seperti itu pencuri akan jera dan memberikan pelajaran kepada orang lain yang akan melakukan pencurian karena beratnya sanksi hukum sebagai tindakan defensif (pencegahan).       
Hukuman potong tangan dijatuhkan kepada pencuri oleh hakim setelah terbukti bersalah, baik melalui pengakuan, saksi dan alat bukti serta barang yang dicurinya bernilai ekonomis, bisa dikonsumsi dan mencapai nishab, yaitu lebih kurang 93 gram emas.

       vi.                                                                                  Muharobah (berbuat kekacauan)
Muharobah adalah aksi bersenjata dari seseorang atau sekelompok orang untuk menciptakan kekacauan, menumpahkan darah, merampas harta, merusak harta benda, ladang pertanian dan peternakan serta menentang aturan perundang-undangan. Latar belakang aksi ini bisa bermotif ekonomi yang berbentuk perampokan, penodongan baik di dalam maupun diluar rumah atau bermotif politik yang berbentuk perlawanan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melakukan gerakan yang mengacaukan ketentraman dan ketertiban umum. Sangsi hukum pelaku muharobah adalah[2] :
1. Dipotong tangan dan kakinya secara bersilang apabila ia atau mereka hanya     mengambil atau merusak harta benda.
2. Dibunuh atau disalib apabila dalam aksinya itu ia membunuh orang.
3. Dipenjara atau dibuang dari tempat tinggalnya apabila dalam aksinya hanya melakukan kekacauan saja tanpa mengambil atau merusak harta-benda dan tanpa membunuh.
HIKMAH HUDUD
Sejarah telah mebuktikan bahawa hukum HUDUD adalah satu peraturan yg bijaksana, adil, mampu mengawal kebaikan dan telah memberi jalan keluar kpd masalah manusia. Di zaman kegemilangan Islam yg lampau orang kafir pun menerimanya. Bagi orang beriman, hukum HUDUD dirasakan satu anugerah yg mengandungi nikmat. Kerana ia memberi dua faedah yang besar:
1.      Ia seolah-olah pagar yg mengawal tanam-tanaman dari serangan binatang binatang yg hendak memakannya. Yakni HUDUD membersihkan masyarakat daripada orang-orang jahat yg mau mengganggu keselamatan dan kebaikan insaniah dan material yang mereka telah cetuskan.
2.      Bagi orang-orang yg melakukan kejahatan sama ada sengaja atau tidak, mereka diberi jalan keluar untuk lepas dari hukuman Akhirat. yang mana dosa yang sudah dihukum di dunia (secara HUDUD) tidak lagi dihukum di Akhirat.
Diantara hukuman-Nya yang telah ditetapkan tidak boleh berubah-ubah lagi ialah:
1.      Hukuman pancung kepada orang yang tidak sembahyang tiga waktu berturut-turut tanpa uzur syar’i sesudah dinasihatkan.
2.      Hukum qisas yaitu membunuh dibalas bunuh, luka dibalas luka.
3.      Hukuman sebat kepada orang yang membuat fitnah.
4.      Hukuman rotan 100 kali pada penzina yang belum kahwin, dirajam sampai mati pada penzina yg sudah kawin.
5.      Hukuman rotan 80 kali kpd orang yg menuduh orang berzina tanpa bukti yang cukup.
6.      Rotan 80 kali untuk peminum arak
Sebenarnya ‘hudud dunia’ ini lebih kejam. Ada orang ditangkap tanpa dibicara. Hukum hudud bukan bermaksud menyiksa. Ia lebih bermaksud untuk mendidik orang-orang yang tidak terdidik dengan nasihat dan tunjuk ajar. Bila ia sakit, malu dan susah, baru dia faham yg sikapnya itu tidak baik dan tidak patut. Baru dia dapat berfikir tentang perasaan dan keperluan orang lain. Sebagaimana dia tidak sanggup disusahkan, dimalukan dan disakiti, begitulah orang lain. Keinsafan ini hanya akan timbul kalau hukuman yg dikenakan benar-benar menyakitkan dan seimbang.
III.            QISHASH
Qishash adalah hukuman yang setimpal atau sama dengan tindak kejahatan para pelakunya; Membunuh dibunuh lagi, memotong anggota badan dipotong lagi, melukai dilukai lagi; Melukai orang mungkin bisa tidak diqishash dengan dilukai lagi tetapi dengan cara bertanggung jawab atas biaya pengobatan jika dimaafkan oleh korban. Hukuman qishash berlaku bagi orang yang melakukan tanpa alasan yang dibenarkan syara’; Membunuh orang ketika berperang, membunuh orang ketika mempertahankan diri, membunuh orang ketika melaksanakan hukuman qishash seperti para algojo atau regu tembak tidak dikenai hukum qishash.
Firman Allah SWT.:
“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, kekal ia didalamnya, dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta menyediakan azab yang besar baginya.”  (An-Nisa:93)
 Hukuman qishash hanya berlaku bagi pembunuhan yang disengaja itupun apabila keluarga korban tidak memaafkan[3]. Apabila keluarga korban memaafkan maka hukuman qishash tidak dilaksanakan, hanya saja yang bersangkutan wajib membayar diyat (denda) yaitu menyerahkan 100 ekor unta; 40 diantaranya yang sedang bunting kepada keluarga korban atau dengan uang yang senilai dengan itu. Pembunuhan yang tidak sengaja (seperti bermaksud menembak burung tapi mengenai orang sampai mati), sangsinya adalah kaffarah (pada zaman Nabi saw. dalam bentuk pembebasan budak belian, untuk saat ini mungkin bisa dalam bentuk pembebasan orang yang sedang dililit utang, pemberian bea siswa bagi kaum dhu’afa, pemberian jaminan bagi tahanan politik) Dan jika kaffarah ini tidak mampu dilakukan bisa mengambil kaffarah lain yaitu berpuasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin. Disamping kaffarah ia dibebani untuk membayar diyat berupa pemberian 100 ekor unta atau yang senilai dengannya kepada keluarga korban. Pembunuhan semi sengaja atau pembunuhan seperti sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain tanpa bermaksud membunuh tetapi hanya melukai saja karena alat yang digunakan secara biasa tidak akan mengakibatkan kematian, tetapi justru mengakibatkan matinya seseorang, seperti memukul orang dengan kayu, atau menempeleng orang tetapi yang dipukul mati karenanya. Sangsi hukum bagi pembunuh semi sengaja adalah membayar diyat berbentuk penyerahan 100 ekor unta 40 diantaranya yang sedang bunting kepada keluarga korban.
Qishaash dan hikmahnya
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
 “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih[111]. Asbabun nuzul            Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash.  Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Islam hampir disyariatkan, pada jaman Jahiliyah ada dua suku bangsa Arab berperang satu sama lainnya. Di antara mereka ada yang terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka membunuh hamba sahaya dan wanita. Mereka belum sempat membalas dendam karena mereka masuk Islam. Masing-masing menyombongkan dirinya dengan jumlah pasukan dan kekayaannya dan bersumpah tidak ridlo apabila hamba-hamba sahaya yagn terbunuh itu tidak diganti dengan orang merdeka, wanita diganti dengan pria. Maka turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 178) yang menegaskan hukum qishash[4].
Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa[5]. Penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa (hakim) sesuai dengan kemaslahatan menusia itu sendiri.
1. Pengertian Ta’zir
Kata ta’zir berasal dari bahasa Arab “التعزير” yang merupakan bentuk masdar dari kata “يعزر, تعزير” ditinjau dari segi bahasa, kata itu bisa berarti ”التظيم والنصرة” yakni mengagungkan dan membantu. Kata ta’zir dalam bahsa Arab diartikan sebagai “penghinaan”. Sedangkan menurut istilah fiqh, Sayid Sabiq mendefinisikan ta’zir adalah: tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak ada sangsi hadd dan kifaratnya”[6]. Ahmad hanafi menyatakan bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan atas jarimah-jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang ditetapkan oleh syariat yaitu jarimah-jarimah hudud dan qishash-diyat.
2. Macam-macam Ta’zir
Ahmad hanafi menyatakan bahwa hukuman-hukuman tersebut banyak jumlahnyadari mulai yang paling ringan hingga yang paling berat, yaitu hukuman yang dilihat dari keadan jarimah serta diri pelaku hukuman-hukuman ta’zir yaitu[7]:

1. Hukuman Mati
Kebolehan menjatuhkan hukuman mati pada ta’zir terhadap pelaku kejahatan jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau pemeberantasan tidak dapat dilakukan kecuali dengan jalan membunuhnya. Hukuman mati ini hanya diberlakuakn pada jarimah zina, murtad, pemberontakan, pembunuhan sengaja dan gangguan kemanan masyarakat luas (teroris).


2. Hukuman jilid
Jilid merupakan hukuman pokok dalam syari’at islam. Bedanya dengan jarimah hudud sudah tertentu jumlahnya sedangkan jarimah ta’zir tidak tertentu jumlahnya.
3. Hukuman penjara
Hukuman penjara dimulai batas terendah yaitu satu hari sampai batas hukuman seumur hidup. Syafiiyah mengatakan bahwa batas tertinggi adalah satu tahun, dan ulama lainnya menyerahkan kepada penguasa sampai batas mana lama kurungannya.
4. Hukuman pengasingan
Untuk hukuman pengasingan imam ahmad dan syafi’i berpendapat bahwa masa pengasingan tidak lebih dari satu tahun, sedangkan imam hanafi berpendapat bahwa hukuman pengasingan boleh melebihi satu tahun, hukuman ini untuk pelaku kejahtan yang merugukan masyarakat dan khawatir akan menjalar luas.
5. Hukuman salib
Hukuman salib dalam jarimah ta’zir tidak dibarengi atau disertai dengan kematian, melainkan si tersalib disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan dan minum, tidak dilarang melakukan wudhu, tetapi dalam melakukan shalat cukup dengan menggunakan isyarat. Para fuqaha menyebutkan masa penyaliban tidak lebih dari tiga hari.
6. Hukuman denda
Hukuman denda antara lain dikenakan pada pelaku pencurian buah yang masih belum masak, maka dikenakan denda dua kali lipat dari harga buah tersebut. Hukuman denda juga dikenkan untuk orang yang menyembunyikan barang yang hilang.

7. hukuman pengucilan
Pada masa rasulullah pernah rasul menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak mengikuti perang tabuk selam 50 hari tanpa diajak bicara. Mereka adalah: Ka’ab Bin Malik, Miroroh Bin Rubai’ah, dan Hilal Bin Umayyah.
8. Hukuman ancaman (tahdid), teguran (tanbih), dan peringatan (al-Wadh’u)
Ancaman merupakan hukuman yang diharaokan akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Teguran pernah dilakukan oleh rasulullah kepada Abu Dzar yang yang memaki-maki orang lain, dengan menghinakan ibunya. Peringatan juga merupakan bentuk hukman yang diharapkan orang tidak menjalankan kejahatan atau paling tidak mengulanginya lagi.
3.            Orang Yang Berhak Menta’zir[8]
Dilihat dari haknya hukuman ta’zir sepenuhnya berada ditangan hakim, sebab hakimlah yang memegang tampuk pemerintahan kaum muslimin. Dalam kitab subulu salam ditemukan bahwa orang yang berhak melakukan hukman ta’zir adalah pengausa atau imam namun diperkenankan pula untuk:
1.      Ayah; seorang ayah boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepada anaknya yang masih kecil dengan tujuan edukatif. Apabila sudah baligh maka ayah tidak berhak untuk memberi hukuman kepada anaknya meskipun anaknya idiot.
2.      Majikan; seorang majikan boleh menta’zir hambanya baik yang berkaitan dengan hak dirinya maupun hak Allah.
3.      Suami; seorang suami diperbolehkan melakukan ta’zir kepada istrinya. Apbila istrinya melakukan nusyuz.






BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari paparan diatas maka dapat ditarik kesimpulan akan hikmah dan tujuan hukuman dalam tindak pidana dalam hal ini kaitanya jarimah baik itu qishas/hudud, diyat, maupun ta’zir yang diterapkan dalam jinayah Islam. Yaitu sebagai berikut:
1.      Memelihara jiwa
2.      Melindungi keutuhan keluarga yang merupakan unsur utama masyrakat
3.       Menjaga reputasi dan kehormatan manusia
4.      Memelihara kemaslahatan umum dan menegakkan akhlakuk al-karimah.
5.       Membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama manusia dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban masing-masing.
6.      Mencegah terjadinya pelanggaran, sehingga kedamaian akan dirasakan oleh segenap masyarakat.
7.      Tindakan edukatif terhadap orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang yang keluar dari tatanan peraturan.

B.     SARAN
Akhirnya penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini. Baik dari segi kelengkapan materi-materinya dan penulisannya. Kepada para pembaca diharapkan koreksinya dan kritikan yang membangun guna kedepannya pembuatan makalah ini lebih baik.




[1] Jazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayah Ed. 2, cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
[2] http://www.fkip-uninus.org/index.php/artikel-fkip-uninus-bandung/arsip-artikel/70-fiqih-jinayah
[3] Rasjid, Sulaiman.2005.Fiqh islam.Bandung: Sinar Baru algensindo.
[4] Jazuli, H.A. 2000. Fiqh Jinayah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
[5]  Ceramah Materi Kuliah Fiqh Jinayah, Oleh: Enceng Arif Faizal, S.Ag Uin SGD Bandung, Smstr III, 2007
[6] Bakri M.K, “Hukum Pidana Islam”, 1989, Solo:Ramadhani
[7] Abdurrahman Al-Jaziri “Al- Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah Jilid V”, 1989, Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi
[8] Abd, al-Aziz Amir, 1969. Al-Ta’zir fi al-Syariah, Dar al-Fikr al-Arabi, Mesir, cetakan IV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar